Kaum Muda Mendaras Belantara Zaman
Pandangan kota dan desa yang didudukkan Emha dalam esainya memperlihatkan kesan ketergerusan nilai tradisional dan spiritual Timur. Biang keroknya adalah modernitas yang pada gilirannya melahirkan perilaku konsumeristik.
Pendek kata, Emha mengajukan masalah mentalitas kaum muda dalam menghadapi gempuran modernitas ala Barat.
“Jadi, ada persoalan spiritual yang mulai tergeser dengan adanya modernisme itu. Kemudian bagaimana kita salah kaprah memahami modern itu dengan hanya menjadi konsumen dari produk-produk teknologi modern. Tanpa melihat bahwa sesungguhnya produk itu dihasilkan oleh sebuah mentalitas tertentu,” tegas Simon HT.
Mengambil contoh figur heroik seperti Gadjah Mada, Simon HT melanjutkan, memperlihatkan adanya pergeseran atau bahkan cara pandang dekaden seseorang dalam memandang masa silam. Sumpah Palapa besutan Gadjah Mada itu menegaskan kehendak penyatuan Nusantara. Itu terjadi ratusan tahun lalu.
Sebaliknya, jika seseorang menganggap sosok tersebut telah ketinggalan zaman, sementara hari ini orang cenderung mengelukan tonggak-tonggak kemajuan di balik wacana modernitas, siapa yang sebenarnya berwawasan kemajuan atau kemunduran?
“Setelah melihat dan mempertanyakan, sesungguhnya mana yang kita sebut modern dan tradisional itu. Jangan-jangan sebetulnya yang kita sebut kolot kuno dan segala macam itu lebih modern daripada apa yang kita lakukan sekarang gitu,” jawab Simon HT.
Gejala lawas tapi masih menyembul relevansinya sampai sekarang adalah berkisar pula soal pemilihan jurusan untuk naik status sosial. Dulu, ungkap Simon HT, Fakultas Kedokteran berada di papan atas dan calon mahasiswa — termasuk orang tua — menganjurkan masuk ke sana. Gengsi jurusan ini berujung pada pemerolehan cuan seusai lulus. Ia digandrungi karena memberikan status ekonomi berlebih ketimbang, misalnya, program studi kesusastraan, filsafat, atau jalur humaniora lainnya.
“Mudah-mudahan, teman-teman yang hadir di sini tidak bagian dari yang seperti itu,” harap Simon HT. Kaum intelektual modern, katanya lebih lanjut, terbentuk oleh suatu mentalitas yang mendambakan capaian yang secara kasat mata menguntungkan diri sendiri. Jika keadaan demikian yang dielu-elukan kaum muda maka sebenarnya ia masih memanggul hutang kebudayaan.
“Oleh karena itulah, kemudian Cak Nun mempertanyakan sebagai anak muda sebetulnya orientasi kamu itu ke mana. Itulah yang disebut Cak Nun itu revolusi mental. Dan yang tadinya kamu hanya menjadi konsumen maka coba sekarang kamu renungkan kehidupan ini. Lalu hutang-hutang kebudayaan seperti apa yang mesti kamu bayar agar kehidupan di masa depan bisa menjadi lebih baik,” ujar Simon HT memungkasi paparannya.
Gejala Global
Toto Rahardjo, yang mendampingi Simon HT, memperkuat paparan Simon HT. Menurutnya, gejala modernisasi segala lini berikut kemunculan gaya hidup konsumtif itu merupakan bagian dari orkestrasi global. Sebagai orkestrasi, tren kaum muda yang dijadikan subjek perbincangan malam itu setemali dengan kemunculan aparatus modernisasi di berbagai belahan dunia. Pada usia muda Emha telah menangkap problem sosial tersebut.
“(Pada waktu itu) belum terlalu banyak orang bisa menangkap problem-problem modernisasi. Nah, tapi di usia 25 tahun Cak Nun sudah menangkap fenomena ini yang saya pikir sekarang ini bahkan sudah pada puncaknya,” ungkapnya. Senada dengan Simon HT, ia berharap kaum muda yang sebagian besar mengikuti SastraEmha membikin lingkaran kecil. Dari lingkaran kecil itu diharapkan tumbuh diskusi produktif.
Sementara itu, keran pasar bebas di Indonesia akhir 1970-an sedang menghangat. Presiden Soeharto, menurut Toto Rahardjo, baru memparaf letter of intent (LOI) yang berakibat pada pembukaan pasar bebas. Globalisasi, modernisasi, dan pasar bebas adalah paket lengkap yang dijalankan atas nama pembangunanisme. Akibatnya, modernisasi pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain menjadi keniscayaan.
“Nah, sekarang ini sudah puncaknya. Memang misinya globalisasi adalah membawa manusia sedunia untuk cukuplah jadi konsumen,” jelasnya. Pembacaan keadaan sosial waktu itu, hemat Toto Rahardjo, membuktikan kekritisan Emha di usia muda. Cara berpikir kritis ini berbeda dengan ‘vokal’. Kekritisan itu mempertanyakan atas ketidakadilan yang mengekang struktur relasi kuasa sehingga secara moral membawa kaum muda mengemban ‘hutang budaya’.
“Itu berpikir kritis. Beda dengan vokal. Makanya dalam band itu disebut vokalis. Mergo sing paling seru omongannya. Tapi itu belum tentu kritis. Tetapi beda dengan kritis rumah sakit ya,” celetuk Toto Rahardjo mengundang tawa hadirin.
Merayakan Puisi
Bukan SastraEmha namanya kalau tak ada perayaan puisi. Seperti bulan-bulan sebelumnya, perayaan puisi SastraEmha kali ini dideklamasikan oleh Joko Kamto (Doa Syukur Sawah Ladang, Menertawakan Diri sendiri, dan Tuhan Kukuhkan Pundaknya), Seteng Agus Yuniawan (Dirimu di Alam dan Syair Penjual Kacang), Eko Winardi (Menghisap Klembak Menyan), dan audiens lainnya.
Pada kesempatan SastraEmha edisi Juni ini juga hadir mantan kapten Timnas U-19 Evan Dimas yang malam itu sowan kepada Cak Nun untuk meminta nasihat dan saran-saran sesudah sebelum menemui Cak Nun di Mojokerto beberapa waktu lalu. Evan datang bersama keluarga dan manajer Arema Wiebie Dwi Andriyas. Evan dan rombongan turut menikmati suasana pembahasan esai dan pembacaan puisi-puisi karya Cak Nun di Kafe SyiniKopi.
Salah satu karakteristik karya Emha adalah enak ‘dibaca’ dan ‘dibacakan’. Impresi demikian dirasakan betul oleh Pak Seteng. Menurutnya, membaca itu peristiwa personal. Antara teks dan diri sendiri. Sedangkan membacakan mengandaikan adanya audiens. “Maka teks yang untuk dibacakan itu bertransformasi menjadi lebih ke suara,” ucapnya.
Sebagai seorang aktor teater atau film, Pak Seteng merasakan bahwa karya “Pak Emha” bisa ditransformasikan pada dua wahana. Wahana pertama sebagai teks itu sendiri. Sementara wahana kedua sebagai teks yang dibacakan sehingga bernuansa audial.
“Sering kita menjumpai tulisan yang enak dibaca as a text gitu ya. Tapi ketika dibacakan belum tentu. Nah, Pak Emha ini ampuhnya adalah tulisan-tulisan dia itu tidak hanya enak dibaca, tapi juga enak dibacakan karena saya pembaca. Ya, saya berharap kawan-kawan yang di sini itu tidak hanya orang yang mendengar betul. Tapi juga betul-betul mendengarkan,” papar Pak Seteng.
Pada penghujung acara, Mbah Nun ikut merespons topik diskusi dan pembacaan puisi sebelumnya. Selain mempertajam pokok pembahasan mengenai gejala modernisasi di era 70-an dan mengaitkannya dengan keadaan terakhir, Mbah Nun angkat topi terhadap ‘malam perjamuan puisi’ tersebut.
“Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menulis puisi seperti itu. (Puisi ini) mempengaruhi saya saiki. Saya akan menerbitkan puisi-puisi lagi. Saya berterima kasih kepada semuanya di malam ini. Masterpiece semua,” tutur Mbah Nun.