CakNun.com

Kaum Muda Mendaras Belantara Zaman

Redaksi
Waktu baca ± 6 menit

Kalender berganti tetapi hutang kebudayaan tak segera terlunasi. Antara dorongan moral dan intelektual, hutang kebudayaan meringkus kaum muda. SastraEmha menguak dilema kelompok inteligensia akhir 70-an.

Hampir setengah abad silam. Seorang pemuda berusia 25 tahun membaca zaman. Pemuda itu bernama Emha Ainun Nadjib. Ia menulis Hutang-Hutang Kebudayaan: dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda. Diterbitkan di Majalah Pustaka, Perpustakaan Salman ITB Bandung tarikh 1978, Emha menyuarakan tanggung jawab moral kaum muda. Tanggung jawab bernuansa kritis atas idealisme dan orientasi kaum muda.

Begitulah, Simon Hasiholan Tambunan, pembicara kunci SastraEmha, memberi pengantar (22/06) di selasar SyiniKopi, Rumah Maiyah, Kadipiro. Panggilan akrab Simon HT ini melengkapi situasi zaman kelahiran esai. Menurutnya, rezim pada tahun 1978 tengah memberlakukan depolitisasi massal gerakan mahasiswa. Depolitisasi itu diteken melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK).

“Kira-kira waktu itu kehidupan mahasiswa mau diatur,” ucap Simon HT.

Mendisiplinkan organisasi mahasiswa tak pelak menuai protes di banyak tempat. Militer menyisir berbagai sudut kampus, memampatkan segenap detak dan denyut kehidupan mahasiswa. Makin ditekan tak semakin menyurutkan nyali kaum muda melakukan pemberontakan.

Walau, seperti dikenang Simon HT, ekspresi protes kaum muda lebih disalurkan pada saluran obrolan di kolong meja dan mesin tik. Juga kantong seni pertunjukan. Teater, deklamasi, dan monolog.

Sebelum Revolusi Mental acap dipidatokan, tulisan Emha itu sudah menyebut dua kata itu. “Nah, tulisan ini sudah menyebut pentingnya Revolusi Mental. Jadi, kenapa panitia memilih artikel ini saya kira karena isinya masih sangat relevan pada situasi kehidupan kita saat ini,” imbuhnya.

Sembari membolak-balik poin catatan atas esai Emha, sejurus kemudian Simon HT mengajak audiens untuk turut mengaksesnya di CakNun.com. Ia mengimbau mereka agar membikin lingkaran kecil. Barang empat sampai enam orang. Lantas mendiskusikan, merefleksikan, serta menarik benang merah situasi akhir 70-an dengan keadaan hari ini.

“Hutang kebudayaan,” Simon HT menegaskan, “apa yang sepertinya dikerjakan tetapi tidak dikerjakan.” Ia melanjutkan, bagi kaum muda, hutang kebudayaan merupakan ongkos moral. Bila tak dikerjakan, terus-menerus ia akan terundung beban masa depan. Sementara kebudayaan, Simon HT menjumput pengertian di esai itu, identik dengan gerak yang senantiasa terhubung dengan peristiwa sebelumnya.

Dari frasa hutang kebudayaan inilah Simon HT memberikan contoh. “Pada waktu sekitar tahun 1978 itu ada gejala di mana banyak sekali teknologi baru yang berkembang di masyarakat,” tuturnya. Teknologi ini menandai modernitas. Kehidupan modern membungkus gaya hidup mewah. Dus, bersamaan dengan itu eskalasi kelas menengah melonjak.

“Nah, di sini kemudian Cak Nun mempertanyakan opo yo ngono yang kita maksud dengan modern. Apa dengan kalau kita pakai jam tangan yang mahal, pakaian yang bagus-bagus, bermerek, itu kemudian kita sudah modern. Ya kan gitu toh,” papar Simon HT.

Nahasnya, gejala macam begitu meluber pada kehidupan sekarang. Minus teknologi digital, gejala modernitas penghujung 70-an punya wajah serupa dengan era Data Raya (Big Data) saat ini. Selain kesamaan corak kebijakan pembangunan, langgam serupa di ranah pendidikan juga ditangkap Simon HT. Misalnya, soal eksklusivisme profesi.

“Banyak orang tua ingin sekali anaknya menjadi dokter dan insinyur. Pokoknya pekerjaan-pekerjaan yang bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tekun pada pekerjaan itu dan mengabaikan hal yang lain. Nah, di sini Cak Nun juga melihat bahwa yang seperti ini juga perlu kita tanyakan karena budaya itu pada dasarnya menganjurkan suatu integritas,” terangnya.

Profesi ini mengkotak-kotakkan. Atas nama profesionalisme, ia mengkerangkeng manusia terhadap berbagai bidang lain.

Manusia modern, antara di lingkup kota dan desa, menarik perhatian Emha. Menurut Simon HT, waktu itu stereotipe orang desa dan kota mengerucut — orang desa cenderung lugu, tradisional, dan kuno; sedangkan orang kota modern, progresif, dan berpendidikan. Pandangan sepintas lalu ini terbantah.

“Kita, sebagai manusia budaya, kehidupan yang punya nilai-nilai kesetiaan, harmonisasi, dan kedamaian dengan sesama dan sebagainya itu justru lebih banyak dilakukan oleh teman-teman yang berada di pedesaan,” sanggah Simon HT. Melalui pembacaannya, orang kota cenderung jadi konsumen dari produk modernitas.

Lainnya

Topik