Jimat
Tepat jam setengah tujuh pagi hari, kawanku Aji, lengkapnya Gandung Pusoko Aji, datang menjumputku. Sepatu, celana dan kaos rapi. Kemudian topi, Honda bebek merah, kemudian tas besar menimpa punggungnya. Aji nampak gagah.
“Siap?” sapanya.
“Siap dong,” jawabku.
Kami akan ke Trowulan. Mojokerto. Jawa Timur. Tempat peninggalan lama, bekas Balairung kerajaan Majapahit, ingatkan? Bukan untuk plesir. Ini perjalanan serius. Kawanku Aji ini akan menemui roh Maha Patih Gajah Mada. Ia akan menjalankan program besar dalam hidupnya: mendirikan koran untuk mana Sang Maha Patih Majapahit dimohon sudi menemani usahanya. Alhasil jelas ini bukan proyek main-main. Tidak hanya melibatkan perencanaan yang matang, penentuan dasar policy, modal besar dan tenaga-tenaga, melainkan juga sebuah roh.
Aku sendiri terus terang sebenarnya tak punya missi apa-apa. Aku hanya punya kesenangan melancong, dan tiba-tiba kawanku ini mengajak pergi jauh keluar kota sekaligus menanggung segala biaya, maka tak mungkin kutolak. Ia hanya membutuhkan tustelku dan kemampuanku memfoto. Untukku jelas tak ada keberatan apa-apa, bahkan aku bisa cari obyek-obyek lain yang belum pernah kujamah. Ini kesempatan besar dan aku tak peduli apakah aku memiliki kepercayaan atau tidak perihal proyek roh si Aji.
“Tapi kita musti mampir ke Pak Sampan dulu,” kata Aji, “Aku janji ke sana jam setengah delapan.”
“Okey,” kataku.
Pak Sampan adalah dukun Aji. Ah, mungkin bukan dukun. Minimal ia adalah lelaki menjelang tua yang amat dikagumi oleh Aji. Syahdan ia pintar mengobati, mengerti lapisan-lapisan kenyataan yang tak bisa ditembus oleh nalar orang biasa, mampu menembus dunia supra, kemudian yang jelas ia suka mendiagnose keadaan bagian-bagian dalam dari rohani manusia. Umpamanya Si Dayino ini kadar intelektualitasnya 75% dan kadar emosionalitasnya 25%. Si Diran kadar kejujurannya hanya 35%, punya masa silam yang kacau dan hari depan yang kelabu. Gadis Tining yang kelaki-lakian ini disugesti oleh roh seorang pemuda Budha yang dulu terkubur di bawah rumah yang didiaminya. Kemudian kalau Pak Kadis memang ingin sembuh dari sakitnya yang tak jelas itu, ia musti pindah rumah. Sebab di situlah dulu terkubur mayat para pejuang Republik di zaman door-stoot: roh mereka bergetar-getar memvigrasikan keinginan membalas dendam. Siapa pun yang mendiami tempat itu akan terkena vibranya. Itu semua gambaran sekilas tentang Pak Sampan. Syahdan begitulah.
Kami berangkat. Aji mengendarai sepeda motornya seperti seorang senopati perang dengan kuda istimewanya. Demikian gagah dan mantap. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar menyapu wajahku. Kadang terselip di mataku sehingga pedas.
“Sudah beli film?” tanya Aji.
“Belum.”
“Kita beli dulu?”
“Okey,” aku tersenyum.
Beberapa menit kemudian, sesudah berhenti beli film, kami sampai di rumah Pak Sampan. Memang nyaman di sini. Jalan di pinggir sawah, masuk sedikit, pohon-pohon rindang, kemudian rumah bambu yang sederhana.
Pagi begini sudah banyak tamu. Pak Sampan rupanya terkenal. Banyak orang minta penyembuhan kepadanya. Kami masuk. Aji kelihatan amat terbiasa dengan rumah ini. Ia kemudian duduk santai di salah satu kursi. Kami harus menunggu giliran.
“Rokok?” Aji menyodorkan kretek.
Aku tersenyum.
“Hidup Pak Sampan amat sederhana,” kata Aji lagi, “Ia tidak pernah memungut bayaran, kecuali menerima tanda terima kasih ikhlas dari orang. Ia hampir tiap hari puasa. Ia punya stamina dan ketahanan luar biasa. Ia pernah tidak tidur selama lebih dari empat bulan. Bayangkan.”
Aku mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Pak Sampan yang sibuk melayani beberapa tamu pasien. Satu tangannya sibuk dengan ‘besi intuisi’ yang ia pergunakan untuk mengetahui segala sesuatu yang diperlukan dalam proses pengobatan. Misalnya sakit apa, penyebabnya apa, obatnya apa dan kemungkinannya bagaimana. Segalanya terasa gaib, tapi berjalan seperti angin lewat saja. Tetapi aku sendiri tak punya pendapat apa-apa, sebab memang tahu apa aku tentang Pak Sampan.
Akhirnya giliran kami tiba. Aji menyeretku mendekati Pak Sampan. Aku tunduk, menaruh kedua tangan di atas paha, dan berusaha bersikap seramah mungkin.
“Jadi berangkat?”
“Jadi Pak,” jawab Aji.
“Sepanjang perjalanan, dari sini sampai menginjak gerbang Trowulan, tidak ada sepatah kata pun terucap. Sebenarnya roh si Mada sudah ikut denganmu,” kata Pak Sampan dengan tersenyum.
“He?” Aji kaget. Wajahnya terangkat.
“Ya.” Ia ada di stang sepeda motormu”
“O…. o ya? Tapi….” Aji agak tergagap, “Tapi sepeda motor itu tidak saya bawa ke Trowulan Pak. Kami. Kami naik bus.”
“O begitu. Tapi tidak soal. Ia nanti segera pindah ke tangan kirimu.”
Aji diam. Matanya berkedip-kedip saja memandang Pak Sampan. Aku sendiri tak mengerti dan agak kurang peduli.
“Sudah. Silahkan berangkat sekarang.”
“Ya ya Pak, ya….,” Aji gagap dan dengan tergopoh-gopoh berdiri dan berlalu. Pak Sampan langsung sibuk kembali dengan besinya, memanggil pasien berikutnya tanpa memandangnya.
Kami keluar. Aji mengambil sepeda motornya. Kami berangkat. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Juga aku. Aku penuh solidaritas. Syukur rokoknya saja jangan berhenti.
Setelah menyimpan sepeda motornya di rumah kosnya, kami ke terminal. Tak sepatah kata pun. Tapi di Bus, kemudian lebih dari itu. Aji kaku sekali geraknya. Penampilannya serba hati-hati. Aku tahan saja tak usah ngomong berjam-jam di bus. Aku bisa melamun lebih dari berjam-jam. Apalagi dengan rokok. Dan sekarang ada pemandangan yang menarik untuk kuamati. Aji tak bisa tidur. Wajahnya seperti orang berpikir. Sering mulutnya komat-kamit dan matanya memejam-mejam bagaikan orang sembahyang. Yang paling menarik adalah tangan kirinya. Tangan itu seperti sebuah benda berharga yang gampang pecah, sehingga Aji meletakkannya sedemikian di atas pahanya dan menjaganya dari setiap sentuhan. Tangan itu hampir tak digerakkan dan nampak menjadi sedemikian berharganya, seakan lebih dari Aji sendiri. Tentu saja aku belum lupa: roh Gajah Mada sedang duduk di atas tangan itu, sehingga sang tangan menjadi kaku. Atau paling sedikit karena Aji merasa roh itu berada di tangan kirinya, maka ia amat berhati-hati menjaganya. Aji sangatlah percaya pada Pak Sampan, yang memberitahu hal itu.
Kami dapat tempat di kursi paling depan. Di sisi kanan sana, Pak Sopir. Rasanya kami bagaikan yang punya bus. Bebas, pandangan luas ke depan, dan bisa acuh pada keributan penumpang yang naik turun di belakang. Mungkin saja mereka heran kenapa kami tidak bercakap-cakap sama sekali. Aku saja yang sekali-sekali berkata sepotong dua potong kepada orang lain, tapi Aji diam dan tegang. Sekali-sekali aku meliriknya, tapi lebih banyak suntuk merokok. Jika berhenti di jalan, sekali waktu, aku mencari obyek yang bisa kuambil gambar. Beberapa kali juga, wajah Aji yang serius dan khusyuk, kuabadikan, dengan seting kaca jendela bus, pohon-pohon di luar, pesawahan yang menghampar, gunung dan langit. Aji pun kelihatannya siap untuk sewaktu-waktu kuambil fotonya. Ia tampil dan bersikap sedemikian rupa. Dan aku senang menikmatinya. Aku suka gambar-gambar yang menarik.
Di terminal Madiun, karena bus berhenti agak lama, kami turun untuk makan. Kami berbicara dengan isyarat, atau kalau tidak, aku toh cukup mengikuti saja ke mana Aji melangkah. Waktu makan ini pun Aji tak menggunakan tangan kirinya untuk apa pun. Ditaruh saja di atas meja secara amat manja. Terkadang tiba-tiba saja aku ingin tertawa, bukan menghina, tetapi memang terasa lucu. Aku tidak merencanakan sesuatu untuk menjadi lucu, agar kutertawakan. Tapi tidak. Aku segera tahu diri.
Sehabis makan, Aji mengajakku ke kamar belakang. Sebenarnya aku khawatir bus akan segera berangkat, tapi Aji langsung saja melangkah. Aku ikut saja. Ternyata ke WC. Ia menaruh jaketnya di luar dan itu berarti aku musti menunggunya. Tetapi begitu ia masuk, seperti mendadak sinting, aku tertawa sendirian. Tak sampai berbunyi, tapi bentuk bulatan bibirku pasti kelihatan. Soalnya aku membayangkan apa yang dilakukan oleh Aji dengan beraknya itu. Apakah ia akan cebok dengan tangan kirinya, tangan roh Gajah Mada? Mungkin terpaksa pakai tangan kanan.
Waktu ia selesai dan keluar, rasa tertawaku sudah berhasil kuredakan. Setidaknya aku tetap pura-pura mengusap-usap bibirku sambil mengisap-isap udara dengan hidungku.
Bus berangkat lagi. Tak sepatah kata lagi. Hanya melamun, dan rokok. Berbatang-batang rokok.
Hampir senja, sampai kami di Mojoagung, beberapa menit kemudian masuk Trowulan. Kami hentikan Bus. Kami turun. Bus melaju lagi. Kami tak langsung masuk daerah peninggalan itu, tapi Aji mengajakku duduk saja di seberang. Aku nurut saja. Ia duduk bersila. Tetap dengan tangan kakunya itu. Lama sekali ia dalam sikap itu. Akhirnya aku merasa harus berfungsi. Maka tustel kusiapkan. Dari berbagai sudut, dengan berbagai latar, kuambil sosok Aji.
Akhirnya proses pertapaan itu selesai juga. Aji berdiri dan berjalan menuju rumah peninggalan. Aku mengikutinya. Nampaknya Aji sedang berada dalam suasana batin yang khusus, dan aku menyaksikannya saja. Aku tidak tahu apa-apa tentang Gajah Mada, kecuali dari buku sejarah di sekolah dulu.
Begitu kakinya menginjak di bagian dalam pintu gerbang, Aji berhenti. Ia menghembuskan nafas panjang sambil sedikit menggeliat. Wajahnya menengadah ke atas. Entah apa yang diucapkannya. Mungkin saja omong-omongan, tegur sapa dengan Gajah Mada, atau mungkin doa yang biasa saja kepada Tuhan. Kemudian ia memandangku. Aku ganti memandangnya. Ia tersenyum. Aku tersenyum.
“Hebat!” desisnya, “latihan ketahanan!”
Aku mengangguk-angguk. Tustel siap sewaktu-waktu kubidikkan. Mungkin momen ketika Aji pertama kali boleh bicara, artinya: berbuka puasa perlu diabadikan? Tentu. Aku mundur, mencari ruang. Berputar, Aji dengan latar bekas Balairung, kuambil.
“Trims!” katanya, “kau rupanya juga sangat tahan.”
Aku tertawa. “Di kandang kambing aku mengembik. Di kandang kambing bisu, aku pun membisu!”
Aji ikut tertawa.
Dua orang turis, melintas di sisi kami. Rupanya banyak juga pengunjung. Bule maupun coklat. Dari luar maupun domestik. Tapi aku yakin semuanya hanya pelancong. Pasti tak seorang pun yang sebelah tangannya kaku karena roh Gajah Mada, orang kuat yang dulu menguasai tempat ini.
“Kita kesana yo!”
Aji melangkah. Kuikuti.
“Kita selalu diperhatikan orang.” katanya.
“O ya?” aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada benarnya juga. Perhatian mata mereka pada kami lebih besar dari yang semestinya. Di dunia ini aku memang agak sial. Siapa pun boleh periksa: aku ini laki-laki normal! Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dari pangkal sampai pucuk jiwa. Aku laki-laki normal. Bahkan cukup gagah dan cukup punya keberanian untuk berkelahi, jika sekali waktu dipaksa untuk itu. Tetapi pada penglihatan sekilas yang pertama, hampir setiap orang mengira aku perempuan. Rambutku memang panjang, kumisku malas tumbuh, wajahku klimis, dan keseluruhan sosokku menurut beberapa kawan memang sosok perempuan, meskipun lagak laguku sepenuhnya laki-laki. Sudah beberapa orang jatuh cinta dari kejauhan dan nyengir begitu mendekat. Di suatu acara kalangan orang beragama, setiap lelaki tidak bersalaman denganku karena ternyata dikiranya aku ini wanita. Se- karang ini tentu juga begitu. Para pelancong ini pasti sedang bertanya-tanya, lelaki atau perempuankah gerangan aku ini!
“Di bus tadi pun kita terlalu diperhatikan orang,” sambung Aji. “sekarang aku yakin roh Gajah Mada memang benar-benar bersama kita!”
“O, ya?” Lain pula rupanya kesimpulan sahabatku ini. Tapi, jika benar demikian, syukurlah. Jadi aku tak usah merasa risi dan kesal pada diriku sendiri.
Kami berkeliling-keliling. Kini kami ngobrol sampai ke segala yang teringat dan yang mendadak nyrocos dari mulut. Tapi, sudah kubayangkan. Aji lebih banyak bercerita perihal Pak Sampan. Sejak sebelum berangkat aku sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pendengar yang baik dari kisah dukun itu. Perihal kepandaiannya. Kewaskitaannya. Kemampuan penyembuhannya atas berbagai macam penyakit, bahkan yang Dokter tak mampu berbuat apa-apa. Juga tentang sekian handai-tolan yang di tempat jauh, tapi bisa disembuhkan olehnya. Berapa kawan yang sudah dinasehati Aji agar berobat pada Pak Sampan, dan hasilnya gemilang ternyata. Aji bercerita juga perihal sakitnya sendiri. Rumah Sakit merawatnya dan Dokter-dokter memutuskan untuk mengoperasinya. Tapi oleh Pak Sampan cukup diobati dengan beberapa dedaunan untuk menjadikan Aji sembuh sama sekali. Pengetahuan Pak Sampan tentang berbagai hal gaib juga bukan main. Misalnya tentang pusaka, keris, hantu, jin atau leluhur. Kuburan di desa asal Aji kata orang ada simpanan keris pusaka. Sudah beratus orang mencoba memilikinya. Gagal, sinting atau meninggal. Aji ingin mencobanya. Lapor sama Pak Sampan. Tapi beliau ini mencegah maksud Aji. Aji katanya tak cukup punya nyali untuk memiliki keris dengan dua pusaka penjaga itu. Maka dengan segala kesadaran, Aji undur diri. Itu semua contoh dan gambaran sekilas saja tentang Pak Sampan. Masih amat banyak hal-hal lain yang serba mentakjubkan. Pada pokoknya Pak Sampan hampir mendekati Yang Maha. Ia mengetahui segala sesuatu yang orang biasa membayangkan itu hanya mungkin diketahui oleh Tuhan Yang Maha.
Makan minum kami senja itu cukup di warung kecil yang ada. Malamnya kami tidak tidur sekejap pun. Memang itulah tujuan utama Aji datang ke sini. Melekan dan meditasi di wilayah riil asal-muasal Gajah Mada. Sebagai pertanda permohonannya atas bantuan sang roh Maha Patih.
“Kau boleh tidur,” kata Aji kepadaku, “tapi aku tidak. Cuma aku minta kau membuat beberapa foto. Momen-momen terpenting saja dariku. Kemudian tempat-tempat dan benda-benda terpenting di sini. “Gampanglah itu,” sahutku.
Aji memilih tempat di pojok barat. Katanya, kuburan Gajah Mada yang jelas kurang diketahui, karena itu bisa saja memilih tempat tertentu. Yang penting kekhusyukan iktikad dan konsentrasi sukma kita. Demikian menurut Aji.
Malam pun merangkak makin jauh. Aji bersila, dengan tangan kiri dimuliakannya. Aku berkeliaran. Memotret apa-apa yang dipesan Aji. Cuma terus terang aku memang agak ragu-ragu. Tustelku ini baru. Kubeli mahal, bisa menghasilkan potretan lebih bagus, tapi ruwet penguasaan teknisnya. Aku belum sepenuhnya menguasai. Terutama untuk saat gelap. Kalau siang, lebih gampang urusannya.
Aku tidak tahu persis apa yang terjadi dengan Aji sepanjang malam itu. Ketemukah ia dengan Gajah Mada, jelas aku tak tahu. Kadang-kadang Aji terpejam. Begitu suntuknya. Aku sungguh tak berani berpendapat bahwa terkadang ia telah tertidur. Lebih baik aku tak meningkatkan sangkaan menjadi kesimpulan.
Akhirnya pagi pun tiba. Aji berdiri. Sedikit berubah tubuh. Ia kelihatan cukup letih, tapi pancaran wajahnya kelihatan berbahagia. Ia tersenyum kepadaku tetapi tak mengucapkan kata-kata apa pun. Dan aku juga tak menanyakan apa-apa. Yang jelas aku melihat tangan kirinya tetap berposisi sama dengan semalam. Kaku dan dimuliakan.
Kami pulang. Aji kali ini lebih meriah dan santai. Kami ke Surabaya dulu. Melihat-lihat pasar, jalan-jalan protokol dan mampir ke tempat beberapa teman. Di mana-mana Aji riuh bercerita tentang pengobatan Pak Sampan dan memancing-mancing apa ada kiranya yang sakit di antara mereka. Kalau Dokter tak sanggup, siapa tahu Aji bisa menolongnya. Pak Sampan itu bisa tahu apa penyakit orang tanpa orang itu datang kepadanya. Cukup sebutkan nama dan alamat, segalanya beres. Usaha Aji ini tentu saja, dari segi pertolongan atas sesama manusia, sangat baik. Aji tidak peduli disebut orang sebagai makelar dukun yang merasa berjasa lebih dari dukunnya, jika seseorang berhasil disembuhkan.
Ketika akhirnya kami tiba kembali di rumah, Aji makin meriah. Ia berkisah kepada beberapa kawan yang kebetulan ketemu perihal petualangannya. Tentang roh di tangan kirinya. Tentang semua orang yang terserap perhatiannya kepada kami, berkat ikutnya roh itu. Kemudian foto-fotoku yang banyak tak jadi, kabur, buram atau hitam sama sekali karena kekurangan penguasaan teknisku atas tustel baruku itu, dikatakan oleh Aji bahwa tempat-tempat itu memang tidak mungkin bisa diabadikan dengan foto. Itu keramat dan sebenarnya termasuk dimensi metafisik. Teman-teman ada yang mengangguk-angguk sementara ada juga yang sedikit membantah.
“Ji, Ji,” tanya seorang teman. “Kamu tahu bahwa roh Gajah Mada nangkring di tanganmu itu oleh usaha pengetahuanmu sendiri, atau dikasih tahu oleh Pak Sampan?”
“Yaa, memang dikasih tahu. Aku saat ini belum waktunya mengetahui keadaan semacam itu.”
Jawaban Aji agak kurang melegakan. Tapi teman ini memang agak keterlaluan. Masak Gajah Mada dibilang nangkring di tangan Aji. Dan apakah Aji tahu sendiri atau dikasih tahu, itu kan pokoknya keyakinannya, tak bisa dipersoalkan Bung.
“Tapi Ji,” kata teman itu lagi, “daripada kamu setengah mati mengagumi dan tunduk pada Pak Sampan, mending kamu belajar saja untuk bisa menyamainya. Kalau perlu melebihinya. Dan kamu jadi dukun. Kami bisa mencarikan order….”
Sudah barang tentu merah muka Aji. Tapi Aji diam. Ia tidak marah. Juga ketika teman yang lain menanyakan apakah soal pemfotoan tadi bukan hanya karena tukang potretnya yang kurang beres, serta soal perhatian orang yang terserap, apakah bukan oleh wajah dan penampilanku yang seperti perempuan. Aji diam saja. Tak menanyakannya padaku. Dan aku diam saja.
Aji segera mengajakku pergi. Kebetulan waktu itu ia memang tergesa harus segera laporan ke Pak Sampan. Akú berangkat ikut dia. Kami ambil sepeda motor dulu, kemudian baru ke sana.
Tidak banyak yang diomongkan Pak Sampan kepada Aji. Ia hanya memberikan cincin, dengan akik kegelap-gelapan, untuk Aji. Aji menerimanya dengan bergelora. Kemudian kami pulang dan Aji menjalankan Hondanya seperti diterbangkan angin.
Terus terang sebenarnya aku memang selalu khawatir setiap kali diboncengkan dia. Aji agak kurang mantap memegang kemudi. Keterampilan teknisnya pun masih kurang bisa memadai, meskipun setiap hari ia bergaul dengan motornya. Di dalam melatakan motor di tengah derap lalulintas, ia juga kurang punya kepekaan. Kapan musti ngerem, kapan bebas ngegas, kapan nyalip kendaraan di depannya. Refleksnya kebetulan juga agak lamban. Terhitung sudah dua kali aku mengalami kecelakaan kecil diboncengnya. Pertama kurang beres Aji menembus simpang siur perempatan. Kedua slip di jalan becek karena terlalu cepat mengendarai. Memang hanya luka sedikit, tapi cukup memelihara kekhawatiranku.
“Jangan terlalu kencang Ji,” kataku. Aji tertawa.
“Nyawaku jangan dilepaskan di tengah jalan,” kataku lagi, “aku ingin mati minimal di losmen.” Aji tetap tertawa dan tak mengurangi kecepatan.
“Asal aku sudah pakai akik ini, jangan khawatir. Aku tidak akan kecelakaan motor lagi. Ini jimat!” katanya.
Aku nyengir. Aku tak bisa membantahnya secara frontal. Dan siapa tahu akik Aji ini memang jimatnya. Aku tak mengerti. Aku sendiri memang punya jimat, tapi tidak berujud benda. Kalau dalam berkendaraan, jimatku ialah keterampilan mengendarai dan kehati-hatian. Di dalam hidup sehari-hari, jimatku ialah kesetiaan dan ketahanan serta kemampuan menjaga diri. Jadi jimatku tidak kucari umpamanya di gunung Kawi, melainkan kubangun sendiri perlahan-lahan. Apakah jimatku ampuh atau tidak, bukan tergantung seorang dukun atau malaikat, tapi ditentukan oleh pemeliharaanku sendiri atas diriku sendiri. Tak lain. Tapi kalau orang lain, misalnya Aji ini, punya jimat lain dan ia meyakininya sepenuh hati pikiran, maka apa pula gunanya kubantah. Dulu memang aku pernah sedikit ragu akan Pak Sampan. Soalnya tenaga dan keringatku pernah berurusan dengannya. Sakit Aji diobati olehnya, dan sembuh. Tapi beberapa hari kemudian kambuh lagi Aji mengajakku ke Pak Sampan lagi. Diberi obat, dan sembuh lagi. Sesudah itu sepanjang jalan lagi-lagi aku harus menjadi pendengar dari “novel” Aji perihal kehebatan sang dukun. Tapi baru saja sampai di rumah, dan aku sendiri pulang ke rumahku, ada susulan: Aji sudah terkapar di Rumah Sakit. Kudatangi ke sana. Ia sedang meraung-raung oleh sakitnya mengimplikasi ke pinggang. Nah, aku mengganjalnya dengan tangan untuk mengurangi rasa sakitnya. Payah tangan, ganti kaki. Sampai akhirnya aku sendiri tak kalah tersiksanya, sambil mengingat-ingat: “Lha, ini Pak Sampan bagaimana!” Namun sesudah itu aku tak peduli lagi. Ia sembuh lagi dan berkawan lagi denganku seperti tak pernah ada apa-apa. Aku tak peduli apakah aku sebenarnya mempercayai Pak Sampan atau tidak. Dan sekarang ini, laju kencang Hondanya, persoalanku bukan percaya atau tidak terhadap akik jimatnya. Tetapi kecepatan yang berlebih dari sepeda motor, bisa menyebabkan ia lebih tak terkendali. Risikonya pada nyawa. Dan kalau toh Aji pakai akik jimat sepuluh biji, kalau ia benturkan motornya ke batu, kami akan ambyar juga.
“Aji, Aji,” rontaku lagi, “ingat nasib Indonesia Ji! Kalau sampai aku lenyap, masa depan negara bisa gawat.”
Ia tetap tertawa saja.
Motor digas Aji di atas angin.
“Ingat kau belum sempat kawin lho Ji!”
“Aku bersumpah tidak akan kawin.”
“Seumur hidup?” “Seumur hidup!”
“Kenapa rupanya?”
“Kata Pak Sampan typeku tak butuh lambang. Istri hanyalah lambang. Aku tak memerlukannya. Segalanya yang dari Tuhan, langsung mengilham kepada diriku, tanpa melewati apa pun!”
“Hebat juga! Tapi kalau motor kita masuk sungai, kita betul-betul mengilham ke bumi!”
Aji tertawa ngakak.
“Jadi, tolong agak pelan.”
“Ah, kau kurang punya iman padaku. Percaya sajalah.”
“Iman?”
“Ya.”
“Kepadamu?”
“Ya.”
Aku terdiam.
“Kau tahu dengan siapa dan dengan apa hidupku kini?”
Aku tetap diam. Berdebar-debar aku sepanjang jalan. Takut dan was-was. Tapi ternyata tak sesuatu pun terjadi. Kurang jelas, apakah ini ada hubungannya dengan jimat Aji, atau justru dengan kemurah-hatian. Atau kedua-duanya itu bukan sesuatu yang berbeda.
Aji membelokkan motornya ke rumah Bakar. Pikirku tentu ini berhubungan dengan program Aji mau bikin koran itu. Sependengaranku si Bakar ini yang menjanjikan modal untuk keperluan itu. Eh, bukan menjanjikan, tapi mencarikan.
Dengan gagah aji meletakkan motornya. Bakar berdiri di beranda. “Hallo! Hallo!” mereka saling bersapaan. Bakar mempersilahkan. Kami duduk Langsung riuh ngobrol.
Tapi begitu sampai ke pasal mendirikan koran, Bakar menyandarkan punggungnya. Kepalanya terkulai, “susah Ji,” katanya, “modal bisa diusahakan. Tapi STT tak mungkin keluar. Kemudian satu hal penting: si pemberi modal! Tidak bisa kita elakkan kemauannya agar kita menuruti selera perkoranan dia….”
Aji pun lemas. “Di negeri ini hanya koran militer, koran penjilat dan malah porno, dan cukong-cukong tahunya cuma berdagang…..,” ia menggerutu.
Lha, kalau cukong tahunya tak cuma dagang, itu namanya cukong sinting. Tapi kasihan Aji. Dan ia paling buruk dipandang kalau sedang murung dan mangkel. Salahnya sendiri ia begitu percaya pada Bakar. Aku tahu ia laki-laki pemimpi. Hidupnya diabdikan untuk rencana dan ide-ide besar, tetapi tidak untuk merealisirnya. Aku pun, dan mungkin sekian puluh kawan juga ditawari bikin koran sendiri. Jadi itu yang bikin Aji mengajakku tirakatan ke Trowulan.
“Ayolah!” kata Aji. Ia berdiri.
“Pulang kita?”
Aji tak menjawab. Tapi mimiknya jelas. “ya.”
Kami berangkat. Aji menancap motornya tak tanggung-tanggung. Di belokan ke kiri, di jalan yang tak begitu besar ini, mendadak saja ada anak kecil berlari melintas. Aji tergeregap. Langsung ngerem dan setengah banting ke kiri. Si anak tetap kena dan terjatuh. Motor nabrak pagar kayu dan kami terjungkel. Tiba-tiba aku bangun dan mengambil anak itu. Pingsan. Aji pun bangun dari motornya yang terkapar. Darah mengalir dari tangannya. Antara ibu jari dan telunjuk sobek. Orang-orang kampung berlari-lari dan mulai berkerumun.