CakNun.com
Tadabbur Hari ini (17)

Jangan Ikut Abu Nawas Masuk Nerakakakaka…

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 6-7)

Kita menawari teman “Ikut cikar saya aja”. Ketika dia naik Mercy EQS kita, dia manggut-manggut kagum kepada cikar atau gerobag kita. Besoknya dia berdebat dengan temannya yang bilang itu EQS Mercy, dia bersikeras itu gerobak atau cikar, bahkan gledekan.

Di tahun 70-80an teman saya penulis omong kepada teman lain yang juga penulis: “Kamu kok pelit sih?”. Maksudnya adalah temannya itu pikirannya pendek, analisisnya sempit, wacananya tidak mencukupi, dan imajinasi kesastraannya sangat terbatas. Bukan pelit mental dalam arti tidak nyah-nyoh. Untungnya teman itu agak setengah mengerti sindiran itu.

Ternyata makin banyak orang sekarang yang kalau ia meletakkan jarinya di depan matanya yang mengarah ke rembulan, ia berkesimpulan bahwa volume rembulan kalah besar dibanding jari-jarinya.

Kalau kita bilang bahwa kita hanya rakyat kecil atau orang tataran bawah, lantas mereka memperlakukan kita benar-benar sebagai wong cilik dan berkasta rendah.

Rupanya sekarang ini kalau kita kaya harus bilang bahwa kita kaya, karena responden kita tidak punya parameter untuk menandai kita kaya atau tidak. Semakin banyak orang yang tidak mengerti bedanya rendah hati dengan rendah diri. Kalau kita bilang bahwa kita tidak sekolah, mereka langsung berpikir kita orang bodoh. Kalau Abu Nawas bilang “Lastu lil-Firdausi ahla”, “aku bukan penghuni Sorga”, orang berkesimpulan bahwa Abu Nawas masuk neraka.

Abu Nawas bilang “Dzunubi mitslu a’dadir rimali”. Orang menyimpulkan dosanya Abu Nawas seperti hamparan pasir di padang sahara. Ya nggak lah. Itu Bahasa kerendahan hati kepada Allah.

Abu Nawas “fa in tathrud faman narju siwaka”, terus kita kabari teman-teman bahwa Abu Nawas diusir oleh Allah. Gak ngunu Dul. Itu retorika tawadldlu’. Dan Allah tidak mengusir siapapun keluar bumi dan alam semesta-Nya. Semua makhluk ciptaan-Nya di hilir waktu kelak dihimpun di sorga atau neraka.

Kalau kita dipukul, semua orang menunggu kita mengaduh-aduh supaya orang tahu bahwa kita merasa kesakitan. Di tahun 1960-an bersama senior penyair Darmanto Jt saya pijat releksi di Ajibarang. Mas Dar mengaduh-aduh setiap ditekan oleh jari si pemijit. Dan teriakan Mas Dar itu memuaskan hati disi pemijit.

Ketika saya dipijit, saya saya tidak berteriak, tidak menunjukkan muka kesakitan atau “athaooow-athaoow”. Itu hanya soal deaktivasi bagian saraf tertentu, sehingga membuat saya bisa menghentikan alur rasa sakit. Rasa sakit itu menjadi “di sana”, tidak sampai “di sini”. Tapi itu membuat si pemijit tampak kecewa. Maka kemudian saya juga pura-pura berteriak mengaduh, demi menghibur si pemijit yang sudah bekerja menyayangi saya.

Sahabat saya Markesot di Balikpapan era 1980-an dipukul orang dalam suatu peristiwa. Ia mengaduh-aduh. Pertimbangannya: kasihan kepada si pemukul kalau ia tidak tampak kesakitan. Tetapi karena kemudian yang memukul itu terlampau bangga dan berbesar kepala melihat Markesot mengaduh, lantas Markesot memintanya agar memukulnya sekali lagi. Kalau bisa yang agak lebih keras.

Orang itu tidak mengerti sehingga Markesot membentaknya untuk memaksanya memukul lagi. Ketika orang itu menonjokkan tangannya, Markesot menangkap tangan itu kemudian dipakai untuk membantingnya ke tanah. Kemudian dalam posisi taken down itu Markesot menungganginya dan satu tangannya mencekik lehernya dan tangan lainnya menekuk tangan lain orang itu dalam posisi arm-bar. Maka kemudian orang itu mengaduh, dan sungguh-sungguh mengaduh-aduh. Bahkan mendayu-dayu minta ampun.

Semakin banyak orang yang tidak mengerti sindiran, tak paham di-bombong, di-lulu, di-gunggung. Padahal hanya oleh kita sesama manusia. Bagaimana bisa mencerdasi “istidraj” Allah.

Tentu membuat kita jengkel dan merasa menemukan situasi “maghdlub”. Tapi seringkali itu pun tak cukup, karena karakter mental kenaifan pemahaman akal serta budaya banyak orang ternyata sudah level “dhollin”.

Kita tidak bisa apa-apa. Hanya meniru solusi dari Allah untuk menyampaikan “Salamun ‘alaikum la nabtaghil jahilin”. Itu pun saya tidak tega mengartikannya. Ya udah ini saja:

لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡۖ
لَا حُجَّةَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُۖ ٱللَّهُ يَجۡمَعُ
بَيۡنَنَاۖ وَإِلَيۡهِ ٱلۡمَصِيرُ

Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada perdebatan antara kami dengan kamu. Allah mengumpulkan kita semua dan kepada-Nya mau tidak mau kita kembali”. (Ash-Shura : 15)

Emha Ainun Nadjib
15 Mei 2023
.

Lainnya

Hikmah Lombok dan Kearifan Lokal

Hikmah Lombok
dan Kearifan Lokal

Kemungkinan lain andaikan kita yang mengalaminya: pucuk Lombok hitam busuk itu bisa saja membuat kita membenci dan menolak seluruh batang Lombok itu, bahkan bisa juga menganggap seluruh makanan di piring itu busuk.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik