“Jalan Puisi” Potret Manusia Sejati
Ibarat padasan, nama-nama yang telah melegenda itu masih mengucurkan mata air puisi. Para penyair Yogya kelahiran 1950-an ini menghasilkan antologi. Meneguhkan keakraban, reriungan, dan suasana nostalgia.
Di halaman Museum Sandi, bilangan Kota Baru, puluhan penyair Yogyakarta kelahiran 1950-an bertemu. Mereka berjabat tangan, pelukan, dan mengobrol kecil. Terasa suasana melepas kangen. Berpuluh tahun tak jumpa, terlebih kondisi pandemi, makin membatasi kemungkinan ketemu kawan penyair berusia 60-an itu.
Sabtu sore (17/06) para penyair ini menghadiri peluncuran antologi Jalan Puisi. Bertepatan dengan Sastra Bulan Purnama edisi ke-141, Jalan Puisi menandai rekam jejak kepenyairan suatu generasi yang pada era 70-an telah produktif menulis puisi. Lika-liku jalan mereka lewati, tetapi jalan puisi tak pernah mereka tinggalkan.
Ons Untoro, pengelola Sastra Bulan Purnama, melekatkan kata padasan kepada para penyair sepuh itu. Awal bulan Mei lalu dirinya mengontak sejumlah penyair Yogya kelahiran 1950-an. Ia berencana menerbitkan antologi puisi. Gayung bersambut, dua sampai tiga hari kemudian, penyair yang kini telah berusia 60-an tersebut mengirimkan puluhan puisi.
“Para penyair Yogya ini bagaikan padasan yang penuh puisi,” kata Ons, “sehingga ketika diminta mengirim puisi, hanya dalam hitungan hari, puisi-puisinya segera mengalir. Begitulah penyair, selalu menyediakan puisi dalam dirinya.”
Cak Nun menceritakan, ketika menyambut undangan Ons, ia tak hanya mengirimkan puisi lawas. Walau diminta mengirimkan 10 sampai 15 puisi, Cak Nun menulis 17 puisi dengan rentang penulisan 12 Mei – 1 Juni 2023. Di tengah sambutan para penyair membuka acara, Cak Nun menuturkan terdapat tiga kecenderungan manusia mengapa masih menulis puisi.
“Yang pertama edan, lalu kesepian, atau manusia sejati,” ujarnya mengundang tepuk tangan hadirin. Di zaman citra kehilangan esensi atau tanda kehilangan makna itu maka menulis puisi menjadi bentuk kesungguhan. Menurut Cak Nun, memegang keyakinan dan menuangkan pada setiap pilihan kata, membuat puisi membersitkan ungkapan kejujuran. “Jadi, setiap kata yang kita pilih di puisi adalah hasil dari output yang tidak mudah,” imbuhnya.
Cak Nun mengapresiasi inisiatif Ons Untoro atas penerbitan Jalan Puisi. Di balik dapur penyusunan antologi puisi, Cak Nun menilai Ons tepat menemukan formula pemilihan yang bebas dari bias dan tanpa persyaratan aneh-aneh sehingga tak mengundang kontroversi. Kecuali regulasinya sekadar penyair kelahiran tahun 1950-an.
“Puisi itu ungkapan manusia yang merenungi secara sungguh-sungguh,” ungkap Cak Nun.
***
Pada halaman gedung bersejarah bekas gedung Kementerian Luar Negeri (1947-1948) — tempat Agus Salim berkantor dahulu — ini para penyair Yogya yang sebagian besar jebolan Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi tak luput saling berbagi kenangan semasa ‘menggelandang’ di Malioboro.
Mustofa W. Hasyim teringat masa itu. Ia mengatakan bahwa penciptaan puisi ibarat perang dengan bekal peluru kata-kata. Sementara penyairnya, Mustofa melanjutkan, harus punya kecakapan ‘silat’, sebab bila tak punya sejumlah jurus, ia akan terkapar di palagan kepenyairan. “Kalau punya jurus maka baru menjelajahi makna,” terang Mustofa.
Memori ‘menggelandang’ di Malioboro yang telah lewat setengah dasawarsa itu juga sedikit menancap di benak Simon HT. Bedanya ia tak bersentuhan dengan Umbu. Sebab, katanya, saat dirinya berada di Yogya, penyair asal Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, itu sudah kabur ke Bali.
“Jadinya saya banyak ngobrolnya sama Cak Nun. Sama Cak Nun ini dulu kami menggelandang. Ke mana-mana jalan kaki. Berkilo-kilo. Juga sama Warno (Suwarno Pragolapati) ke Pakualaman, Halim HD, dan Linus Suryadi. Cuma itu yang saya ingat,” kenang Simon HT.
Krishna Mihardja, Sutirman Eka Ardhana, Suminto A. Sayuti, dan penyair sepuh lain yang datang tidak ketinggalan berbagi kisah. Sebagian besar berfokus pada cara Umbu mengasuh proses kreatif penyair muda itu. Cara Umbu yang sesekali memberikan komentar pada bakal puisi, mengajak anak muda jalan kaki tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, memunculkan ‘memori fotografis’ sore itu. “Kalau di Yogya dulu nggak ada Umbu, apa bisa kita ketemuan seperti ini,” celetuk salah satu penyair.
***
Menjelang surup, gerimis memecah suasana syahdu pembacaan dan musikalisasi puisi. Gerimis kecil itu tak menghentikan acara malam minggu itu. Fauzi Absal membaca puisi Kodok Ngorek, Enes Pribadi Kata-Kata, Wadie Maharief Tari Topeng, Krishna Mihardja Balada Dua Gelas Kaca.
Ada pula pembaca tamu yang tampil mengesankan seperti Laretna Trisnantari Adhisakti (arsitek dan guru besar UGM). Ia mendaras puisi Di Celah-Celah Perbukitan La Savoir karangan Darwis Khudori. Selanjutnya, seorang guru bernama Wicahyanti Rejeki membaca puisi Suminto A. Sayuti bertajuk Sesobek Tiket ke Kotamu.
Penampilan Joko Kamto yang membacakan puisi Cak Nun pun memuncaki acara. Langgam pembacaan Pak Jokam yang mengundang decak kagum penonton turut memungkasi acara. Tepat sebelum adzan magrib berkumandang, acara peluncuran Jalan Puisi selesai berikut menyisakan kesan sesrawungan para sastrawan, seniman, dan bahkan lintas-generasi.