Ilmu Berwadah Kesucian
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Berabad-abad jauh sebelum Al-Qur`an dan Kitab-kitab lainnya difirmankan. Jauh sebelum ada interaksi budaya antar manusia, alam dan makhluk-makhluk lainnya yang memproduksi kata, Adam As. diajari Allah nama benda-benda semuanya. (Yang benar “nama benda-benda” ataukah “nama-nama benda”?). Kemudian Adam menuturkannya kepada para Malaikat dan Allah menyuruh para Malaikat “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar dan bersungguh-sungguh”. Dan para Malaikat menjawab:
قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 32)
Atas kesadaran dan konsep yang bagaimana yang membuat para Malaikat menyatakan pengakuannya “la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana” didahului dengan pernyataan “subhanaKa”? Kemudian Allah sendiri meng-ujung-i ayat firman-Nya itu dengan penegasan bahwa Ia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana?
Sudah pasti tidak mungkin tidak ada kaitan konsep dan makna antara dan dalam urutan sejumlah potongan narasi firman itu. Apakah mungkin itu berarti limpahan ilmu dari Allah kepada hamba-Nya diniscayakan atau dipersyaratkan oleh kesucian? Apakah Allah menganugerahkan ilmu hanya kepada hamba yang suci? Apakah ilmu berkompatibilitas dan berelevansi dengan kondisi suci? Dengan kadar dan gradasi yang berbeda-beda?
Tentu juga suci dan kesucian dalam arti yang hakiki dan substansial pada pandangan Allah. Tidak terbatas pada kesucian fiqhiyah, secara hukum atau syar’iyah, di mana hadats kecil dinetralisir dengan wudlu dan hadats besar dibatalkan dengan mandi besar.
Kesucian yang dimaksud mungkin mengacu kepada kondisi kejiwaan dan sikap hidup. Dengan orisinalitas kemahlukan dan otensitas perilaku kebudayaan manusia. Sedemikian luas kemungkinannya. Kesucian yang dimaksud bisa secara sederhana dipahami sebagai kejujuran diri, sikap apa adanya, tidak ada yang dipalsukan, tidak ditutupi dengan kemunafikan kultural, atau mungkin bahkan tidak dibumbui, tidak dihias, diwangi-wangikan, diindah-indahkan dengan “gimmicks” misalnya. Manusia berpakaian bukanlah dengan maksud menutup-nutupi tubuhnya. Wanita mengoleskan make-up karena ia ingin memperindah tampakannya, tidak berarti ia memalsukan orisinalitas ciptaan Allah. Kecuali wanita yang pakai make-up lantas meyakini bahwa yang tampak dengan make-up itulah wajahnya yang asli, bukan yang dilapisi dengan make-up.
Wallahu a’lamu bis-shawab. Tidak ada produk tafsir atau tadabbur yang persis dengan apa yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Dalam nuansa ayat itu, kemahasucian Allah diteguhkan untuk menjadi landasan kejadian dan peristiwa di mana Allah melimpahkan ilmu kepada hamba-Nya, baik Malaikat atau Manusia atau Jin. Dan aturan itu dipagari oleh “Allah Maha Mengetahui” tapi juga dimerdekakan dengan “Allah Maha Bijaksana”.
“Innaka Antal ‘Alimul Hakim”. ‘Alim dulu baru Hakim. Pengejawantahannya ke kesadaran kita mungkin manusia menyadari batasan dirinya dan keterbatasan kehidupan, baru melangkahkan kemerdekaan. Prinsip dan filosofi kependidikan di keluarga maupun di Sekolah pertama-tama mengajarkan pengetahuan dan kesadaran tentang batas dan keterbatasan manusia, baru kemudian pintu kemerdekaan dibuka.
Karena yang maha tahu hanya Allah, sedangkan kita hanya tahu sangat terbatas. Maka setiap ilmu dan gerakan kebudayaan di muka dalam kehidupan manusia, jangan keburu bernafsu dengan kemerdekaan, sebelum mematangkan pengetahuan dan kesadaran tentang batasan dan keterbatasan.
Kalau kembali kepada pen-dunung-an di atas, bahwa ilmu dari Allah berkompatibiltas atau diperjodohkan hanya dengan kesucian manusia, maka kadarnya pastilah kesucian dalam batasan diri manusia dan keterbatasan kehidupan.
Kesucian maksimal yang bisa dicapai oleh makhluk Allah mungkin bisa digali dari pernyataan para Malaikat ketika bertanya tentang pengangkatan Adam dan keturunannya menjadi Khalifah di Bumi:
قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ
وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ
قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah: 30)
Perjuangan menuju kondisi suci itu misalnya “Padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau”.
Atau yang lebih menuju sempurna adalah sifat Malaikat yang dirumuskan oleh firman Allah:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوۡقِهِمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan hanya apa yang diperintahkan.” (An-Nahl: 50)
Ada macam-macam kemungkinan sikap dan perilaku makhluk. Ada yang mengerjakan hanya yang diperintahkan. Ada yang tidak mengerjakan kecuali yang diperintahkan. Ada yang mengerjakan apa saja kecuali yang dilarang oleh Tuhan. Bahkan mungkin ada yang mengerjakan justru yang dilarang dan tidak mengerjakan yang diperintahkan.
Itu di luar etos peradaban manusia modern “do whatever you want to do” yang diperkuat oleh jargon “freewill”.
Para Malaikat “mengerjakan hanya apa yang diperintahkan oleh Allah”. Malaikat tidak dianugerahi enaknya hidup sebagaimana manusia, yang dikasih lima opsi: Wajib (mutlak harus dikerjakan), Sunnah (dianjurkan untuk dikerjakan), Mubah atau Halal (boleh dikerjakan atau tidak), Makruh (dianjurkan untuk tidak dilakukan), Haram (mutlak dilarang untuk dikerjakan).
Adapun kita yang orang biasa dan awam, merespons itu semua secara bersahaja juga. Yang penting langkah kita sebagai manusia kita upayakan semaksimal mungkin lebih mendekat menuju Allah dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya. Bagaimana menjalani hidup yang lebih baik, lebih benar, lebih indah, lebih tepat, lebih bijaksana, syukur mendekat ke kesucian, supaya bisa membangun frekuensi jiwa yang berjodoh dengan ilmu, hidayah dan tuntunan Allah. Semoga meskipun kadarnya tidak tinggi, tapi pencapaian kesucian kita membuat jiwa kita diperkenankan untuk menjadi wadah ilmu dari Allah.
Emha Ainun Nadjib
2 Juli 2023.