CakNun.com
Tadabbur Hari ini (12)

HAM, Hak Artifisial Manusia

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ

(Al-Fatihah: 4-5)

Sampai-sampai, saking maha berkuasanya Tuhan, dan sedemikian sadar, hati-hati dan waspadanya sebuah bangsa di suatu negeri — mereka mencanangkan pedoman hidup yang mengacu pada ketergantungan mereka terhadap kemaha-berdaulatan Tuhan.

PATRAP LIMA:

  1. Menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengabdi kepada kebersamaan.
  2. Bangsa Manusia Beradab.
  3. Kesatuan Seluruh Rakyat sebagai satu Bangsa.
  4. Musyawarah Perwakilan Yang Bijaksana.
  5. Keadilan Menyeluruh.

Kesadaran utama dan paling mendasar adalah bahwa sebagai manusia maupun sebagai bangsa termasuk tanah airnya adalah ciptaan Tuhan, berasal dari Tuhan sehingga kesadaran kembali kepada Tuhan adalah landasan langkah, perilaku pembangunannya.

Andaikan mau diambil sifat Tuhan, dengan narasi “Ketuhanan”, maka substansinya bukan Tuhan sebagai maha subyek, melainkan sifat-Nya. Itu pun sifat Tuhan yang disadari paling utama bukanlah ke-Esa-annya, melainkan kekuasaan-Nya.

Landasannya bahwa selain Ia, semua makhluk-Nya, bangsa manapun, hanyalah memiliki kekuasaan artifisial, pinjaman. Haknya adalah Hak Artifisial Manusia. Yang punya hak dalam posisi asasi hanya Tuhan. Maka manusia tidak punya hak asasi. Jadi Hak Asasi Manusia “la burhana bihi”, tidak ada nalarnya. Ini bisa dijelaskan dengan puluhan, ratusan atau ribuan kalimat.

Juga bangsa tersebut mengambil dan menerapkan Demokrasi, tapi menyadari demokrasi di tangan manusia bukanlah hulu nilainya. Manusia tidak “qiyamuhu binafsihi”, tidak mengadakan atau melahirkan dirinya sendiri. Manusia tidaklah otentik dan tidak pula permanen. Maka Demokrasi adalah “hak pakai terbatas”. Manusia bukan “Maliki Yaumiddin” sama sekali. Manusia terlalu lemah, terlalu bodoh dan terlalu palsu untuk itu.

Tuhan memiliki kekuasaan dan penguasaan untuk menentukan setiap “hilir”nya. Sebab Tuhan itu Maha, sementara semua manusia dan bangsa penuh keterbatasan. Tuhan maha absolut, bangsa itu berdiri dan berada dalam habitat relativitas atau kenisbian.

Bangsa tersebut berikhtiar maksimal untuk mendemokratisasikan kehidupannya tetapi dalam batas keterikatan yang disediakan dan diperkenankan oleh keabsolutan Tuhan.

Itulah sebabnya Patrap-1 adalah Menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia tidak berkuasa, selain sebatas yang di-acc atau diregulasi oleh Maha Penciptanya.

Demikian juga Patrap-2, 3, 4 maupun 5, dengan landasan Patrap-1 — menjadi bisa dan mudah dijelaskan, diuraikan dan dipetakan, serta didesain penerapannya secara sederhana, lebih jernih, akurat dan terang eksplorasi serta batas-batasnya.

Bagi penduduk di antara bangsa itu yang beragama Islam, dengan pijakan keabsolutan kedaulatan Tuhan, “Maha Maliki Yaumiddin”, mereka senantiasa memposisikan diri, sebagai individu, kelompok, pemerintahan maupun seluruh penghuni Negaranya — di semesta pengharapan kepada Tuhan “Ihdinash shirathal mustaqim”. Karena hakiki manusia hanya impian, harapan dan kayakinan. Sedangkan ranah kepastian, hanyalah milik Tuhan.

Tuhan sendiri bahkan mem-breakdown-nya secara ilmiah dan akademis dengan narasi “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdlubi ‘alaihim waladhdhallin”. Di setiap langkah sejarahnya, Bangsa ini selalu bisa ber”muhasabah” memverifikasi perkembangan mereka di antara rentang kategori “an’amta ‘alaihim” dengan “maghdlubi ‘alaihim” dan “waladhdhollin”.

Kalau bisa “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”, masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo yang diperjuangkan dan dicapai tergolong dalam “an’amta ‘alaihim”. Jangan sampai ternyata mengandung potensi “maghdlubi ‘alaihim” dan “waladhdhollin”. Itulah sebabnya Patrap-4 menyebut “Musyawarah Perwakilan yang Bijaksana”. Perwakilannya ya bijaksana, musyawarahnya juga bijaksana. Bijaksana itu memenuhi semua muatan syarat kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam kesatuan dan kebersamaan Bangsanya.

Emha Ainun Nadjib
10 Mei 2023.

Lainnya

Ilmu Berwadah Kesucian

Ilmu Berwadah Kesucian

Apakah Allah menganugerahkan ilmu hanya kepada hamba yang suci? Apakah ilmu berkompatibilitas dan berelevansi dengan kondisi suci? Dengan kadar dan gradasi yang berbeda-beda?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version