“Gua” Alfatihah
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Kebanyakan manusia melihat sesuatu, misalnya buah mangga, tidak membuatnya takjub, sehingga juga tidak menerbitkan rasa syukur. Karena ia melihat dan memakannya dengan pikiran statis dan mono-awareness.
Ia tidak sekaligus ingat hal-hal lain yang terkait dengan adanya mangga itu. Misalnya bumi dan kebun tempat tumbuhnya, petani yang menanamnya, batang pohon mangga itu, dahan dan rantingnya, daun dan bunganya.
Apalagi sampai sejarah hulu hilir penciptaannya, serta berbagai realitas dan konteks yang menyertai mangga itu namun tidak tampak secara fisik, biologis dan materiil bersama buah mangga itu. Karena keberadaannya adalah di dalam pengetahuan dan kesadaran manusia yang memakan mangga itu.
Demikian juga melafalkan Alfatihah, kita sekedar melafalkannya begitu saja. Seringkali, bahkan mungkin tidak pernah, menyertainya dengan urutan atau kerumunan berbagai konteks yang lain. Sebuah mangga bukan sekedar sebuah mangga. Alfatihah dengan bukan sekedar deretan kata, kalimat dan ayat yang berjumlah tujuh. Ia realitas multi-dimensional, bergantung pada pemaknaan dan imajinasi kita, pada kadar dan pencapaian apresiasi dan cinta kita kepadanya.
Sebabnya antara lain karena untuk menghayati sesuatu, manusia memerlukan niat dan ikhtiar khusus. Kebanyakan manusia tidak punya spontanitas untuk berimajinasi. Melihat, mendengar, merasakan apapun datar-datar saja. Karena merasa sudah pernah bahkan sering mengalaminya.
Orang tidak otomatis menemukan pijakan atas realitas sesuatu hal. Padahal apa saja ada sejarahnya, ada asal usulnya, ada hulu hilirnya. Kita bengong saja duduk di hilir dan tidak merasakan apa-apa. Kita tidak serta merta kagum bagaimana mangga itu dulu asal usulnya. Bagaimana “pelok” bisa bersemi, bekerjasama dengan tanah untuk tumbuh. Menjadi pohon dengan batang, dahan, ranting dan kembangnya. Kemudian “pentil”. Berkembang pelan-pelan selama sekian bulan sampai akhirnya menjadi mangga mentah, “kemampo” kemudian matang.
Ia berkembang, sel-selnya melipatganda, itu sudah sangat ajaib. Belum lagi otentisitas penciptaan rasa mangga, yang berbeda dengan “kuweni”, yang tidak bisa ditemukan atau direplikasi “taste”nya oleh ilmu kimia manusia.
Pertanian manusia bisa memenuhi separo Bumi dengan perkebunan mangga. Tetapi mangga terasa mangga dan tetap menjadi mangga bukanlah karya manusia. Padahal ada jutaan macam buah lainnya. Dan mangga di jaman Nabi Adam rasanya insyaallah persis sama dengan mangga yang tadi kita beli di pasar.
Sebagaimana udara dan air yang pertama dipakai oleh Nabi Adam dan Ibunda Hawa untuk cuci muka dan mandi, adalah juga udara dan air yang sekarang kita pakai untuk bikin perusahaan air minum. Mungkin mereka semua kelak turut hadir di hadapan Malaikat tentang apa yang mereka persaksikan dari perilaku kapitalisme dan konsumtivisme kita.
Satu cc udara bisa memiliki catatan tentang milyaran manusia. Setetes air bisa tersenyum-senyum melihat kelakuan yang mirip atau justru sangat berbeda antara kita dengan nenek moyang kita. Bahkan setiap penggal waktu dan secakup ruang tertawa terbahak-bahak mempersaksikan dusta dan maksiat kita dan banyak manusia yang penghayatannya stagnan, yang kesadarannya begitu-begitu melulu dari zaman ke zaman. Bumi dan alam semesta memiliki bahan kesaksian sangat empirik, langsung dan otentik mengenai melimpah-limpahnya “asfala safilin” kita semua dan sangat sedikit “ahsanu taqwim” kita. Termasuk resikonya untuk “an’amta” atau menjadi “maghdlub” dan “dhollin”.
Itulah gua makna Alfatihah. Itulah kandungan rahasia “Gua” yang Kanjeng Nabi bertapa di dalamnya hingga memperoleh limpahan firman Alfatihah.
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali-Imran: 190).
Tidak berarti peradaban-peradaban yang dicapai oleh manusia hingga abad 21 ini tidak mencerminkan “tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. Manusia terutama di era modern ini sangat pandai dan tangguh. Mungkin melebihi yang bisa dibayangkan atau diperhitungkan.
Hanya saja seluruh kepandaian dan kecanggihan intelektual dan teknologis mereka seperti sengaja menghindarkannya dari keterkaitan dengan sejarah penciptaan oleh Allah, serta dengan tanggung jawab logis terhadap jasa-jasa Allah.
Emha Ainun Nadjib
22 Mei 2023.