CakNun.com

Gondhelan Jubahipun Kanjeng Nabi

Agus Wibowo
Waktu baca ± 5 menit

Tema ini sudah menjadi term familiar di kalangan Maiyah. Tema yang dipilih sebagai pengiring bulan Maulud 1445H oleh Majlis Gugurgunung. Saya berandai-andai, jika saya tidak sejaman dengan Mbah Nun, atau saya termasuk orang yang tidak dipertemukan dengan beliau meskipun satu jaman, atau saya orang yang enggan dengan beliau, maka ada beberapa hal yang sangat penting dalam hidup saya ini yang sulit untuk saya gapai, saya cecap, saya resapi. Hal penting itu adalah bangunan cinta kepada Rasulullah.

Pertama kali bermuwajahah dengan Mbah Nun pada saat beliau hadir di kampus sebagai narasumber pada 03 Agustus tahun 2003an, dua dasa warsa silam. Saya anggap itu sebagai hadiah ulang tahun saya yang spesial. Jauh sebelumnya, sejak masih SMP, saya merasa telah rekat dengan kehangatan beliau tebarkan melalui beberapa tulisan di media cetak, seperti tabloid, majalah, dan koran kala itu. Saya juga sangat merasa wajib mengikuti acara Gardu beberapa tahun setelahnya di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Ketika saya masih beraktivitas di Jakarta, buku “Surat Kepada Kanjeng Nabi” yang berisi kumpulan essai beliau adalah bacaan utama yang mempengaruhi sisi jiwa maupun bathin, pandangan dan cara berfikir. Saya menjadi lebih punya alasan dekat kepada Kanjeng Nabi, bukan karena saya telah berakhlak karimah namun karena beliau Rasulullah adalah teladan terbaik dan memiliki jiwa kepenampungan atas orang-orang yang masih belepotan seperti saya. Pertumbuhan pemikiran ini dibangun oleh uraian-uraian Mbah Nun yang tajam, jeli, detail, reasonable, dan lezat pula dalam kualitas susastranya. Hingga suatu ketika ketika hijrah ke Yogyakarta, saya beruntung berkenalan dengan Cak Zaky yang menjadi pembuka pintu gerbang keterlibatan diri untuk berkesempatan belajar lebih kepada Mbah Nun dan keluarga beliau.

Mbah Nun menjadi inspirator saya dalam hal pengimplementasian cinta kepada Rasulullah. Sebab Mbah Nun bukan hanya ngudhal piwulang melalui tulisan, namun juga melalui perilaku dan karya-karya yang lain. Setiap karya Mbah Nun adalah kombinasi Segitiga Cinta; Mbah Nun – Rasulullah SAW – Allah SWT. Mbah Nun tidak pernah melewatkan ungkapan pujian kepada Kanjeng Nabi dan kepada Gusti Allah melalui jutaan cabang dan ranting kearifan yang beliau uraikan. Maturnuwun saja belum cukup, berbakti saja belum sempurna, mencontoh beliau dengan mengambil porsi 0,02 % nya saja tidak mampu. Saya hanya baru mampu ingin selalu dekat dan ngrepoti beliau, sebuah kemampuan lemah yang setiap orang pun bisa. Di bulan Maulud ini, saya hendak lebih nguri-uri wejangan Mbah Nun, mempertebal kualitas cinta saya kepada Rasulullah, ingin mempertautkan juga dengan keluarga Maiyah agar kelemahan diri ini berkesempatan menumbuh kukuh. Surasanan ini saya ungkapkan dengan modal seserepan segitiga cinta yang saya dan Anda telah sama-sama menerima suapannya dari Mbah Nun.

Jubah Risalah

Hidup di masa kini, merupakan era di ujung waktu, beberapa Hadist tentang tanda-tanda akhir jaman telah banyak merealita saat ini. Terjangan yang menghantam benteng kemanusiaan semakin gencar, terpaan untuk terlena semakin keras, dan tiupan dan tipuan semakin deras. Manusia jaman sekarang butuh berpegangan teguh pada nilai yang dianjurkan Rasulullah, baik melalui perbuatan, perkataan, perilaku yang telah diteladankan. Ajaran yang telah melangkah seribu empat ratusan tahun lebih yang silam ini, seolah kini hanya tampak kelebatan ujung jubahnya. Ujung itu seakan-akan dijulurkan sejauh-jauhnya untuk menyentuh dan menjadi pegangan manusia akhir jaman yang terombang-ambing keadaan. Inilah jubah kanjeng Nabi. Yang berpegangan bukan tangan, melainkan hati. Jubah risalah yang direntangkan oleh Rasulullah hingga akhir jaman melambai-lambai memberi peluang bagi siapa pun yang mau meraih dan menggenggamnya.

Junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, dilahirkan sebagai Ahmad bin Abdullah. Sang ibundanya bernama Aminah. Masa sebelum kerasulannya mendapat julukan Al Amin, sebab terbukti dapat dipercaya. Kejujuran beliau diakui oleh semua kabilah tanpa pertentangan. Pada usia 40 beliau mendapat wahyu sebagai Nabi terakhir, nabi pamungkas. Biografi kilat ini pada dasarnya telah diketahui oleh setiap muslim. Sementara, pada kilatan singkat tadi akan terus terkenang selama masih ada orang tetap mencintainya. Cinta yang tumbuh dari kerontangnya hati yang merindukan basah. Sebagai dua pihak dimana pihak yang satu kering dan merindukan tetesan lembut (qothrota luthfi Muhammadin) , dan pihak yang satunya lagi adalah tetesan lembut yang setiap tetesnya mampu membasahi hamparan bathin yang gersang dan menyejukkan sanubari yang kering. Pertemuan dan bangunan cinta ini kemudian menyatu sebagai tanaman subur dan rindang.

Ahmad

Tiap-tiap ruhani muslim adalah ‘Ahmad’ yang lahir dari perpaduan dari benih jiwa pengabdian yang tunduk, dan kandungan jiwa kekhalifahan yang murni. Ruhani kita tumbuh dari ‘nasab’ Abdullah yang lahir dari Rahim kedamaian yang terpercaya dan aman, Aminah. Maka lahirlah ruhani-ruhani Ahmad yang ditiupkan pada setiap janin yang diwadagi oleh zahir yang berbeda. Para ‘ahmad’ ini jika saling bergandengan hati akan membangun kerjasama yang terpuji (hamiid), dengan memuji Allah yang Robbil ‘Alamin (alhamdulillahi robbil ‘alamiin). Gabungan itu Insya Allah mencahaya menjelma lipatan dan gumpalan sifat terpujinya-terpuji (Muhammad). Lidahnya Tahmid, genggaman dan langkahnya terpuji Mahmud. Pandangan dan penglihatannya terpuji (basyiron bi hamdihi), pendengarannya terpuji (sami’un bi hamdihi), penciumannya, rabaan lahir bathinnya terpuji, berpakaiannya, perkataannya, makan dan makanannya, belajarnya, pikirannya, akalnya terpuji. Hatinya, jasadnya, hidupnya, ruhaninya terpuji (Qolbi, Ruhi, Jasadi, Hayyati bi hamdihi). Rasulullah adalah sosok jangkep yang mampu menggapai kemenyeluruhannya dalam setiap sendi perbuatannya, menjadi jubah yang menyelimutinya. Sedangkan apabila seseorang memperkenankan dirinya untuk mencontoh satu hal dari keseluruhan itu, saya berkeyakinan bahwa orang tersebut berhak menjadi pihak yang boleh menyentuh dan menggenggam jubah kanjeng Nabi. Oleh sebab demikian banyak pihak yang sesungguhnya salah duga dan membangun jarak bahkan banteng dari risalah yang dibawa Nabi Muhammad, justru pada akhirnya berketetapan hati untuk memeluk dan menjadikannya genggaman hidup. Bisa jadi, sebelum menerima ia memang berburuk sangka namun bukan lantaran ia tahu, justru karena ketidak-tahuannya. Sedangkan ia tetap berusaha berteguh hati melakukan satu unsur perbuatan terpuji. Yang mana sikap terpuji ini secara lembut terpantau oleh Allah yang memilik Arsy yang Agung sebagai tanda bahwa insan ini sesungguhnya punya bobot yang patut berkeluarga dalam kedamaian Islam, maka kelebatan jubah sang Nabi dengan berbagai cara yang kadang tak terjangkau oleh nalar manusia tetap menerpa hatinya.

Ahmaq

Perbuatan terpuji ini bukan ditargetkan untuk mendapatkan pujian, namun di -etos kerja- kan ke dalam perbuatan1. Dirahasiakan dalam dapur kebaikan dan kebenaran, dan ditampilkan dalam gelaran keindahan solah bawa, tindak tanduk, perbuatan. Sebab, hal utamanya bukan mendapat pujian orang lain, namun gairah pertanggung-jawaban atas terpimpinnya diri sendiri dalam lingkup titah penghambaan kepada Allah Yang Maha Terpuji. Jika perbuatan terpuji ini kemudian ditakar sendiri, diukur dengan pikiran dan seleranya sendiri, tidak hendak ditautkan kepada kanjeng Nabi dan bahkan berani bersaing dan bertanding pada kualitas terpuji, inilah yang lantas menjelma Ahmaq. Keras hatinya, merasa benar, bebal dalam mengintrospeksi diri, tidak menaruh sikap hormat pada para kekasih Allah.

Setiap muslim adalah saudara, fitrah muslim adalah rahmatan lil ‘alamiin, ruhani _rahmatan lil ‘alamiin_ adalah Ahmad, setiap unsur Ahmad berkeluarga agar menjelma Muhammad. Ketika interaksi Ummat telah menjelma Muhammad, maka berpadulah dan menyatu kepada Rasulullah Muhammad SAW, tidak bersaing, tidak bertanding. Sikap terpuji adalah genggaman yang harus terus dimiliki oleh setiap muslim agar tergolong sebagai keluarga terpuji dan pandai memuji. Alhamdulillah, Al mutahabbina fillah. Semogalah keluarga Maiyah dalam keluarga besar Ummat Muhammad akhir jaman ini menjadi pihak yang telah disebut oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya, sebagai Ummat yang diceluk sebagai saudara, dirindukan dan ditunggu beliau di telaga.

Berseminya Kesadaran – Rabī’ul Awwal

Ujung Jubah Kanjeng Nabi bisa ditemukan dalam berbagai muatan kemuliaan dan bisa diraih dengan bermacam cara sesuai dengan minat utama yang bersemi dalam hatinya. Ada yang hatinya berkonsentrasi dan ingin meneladani pada sikap ketidak-tegaan beliau (aziizun). Ada yang tergerak dari sikap Sidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah-nya beliau. Ada yang terpikat dari Akhlakul Karimah-nya beliau. Ada yang terinspirasi dari kasih sayangnya beliau (ro’uufur rohiim). Ada yang takjub pada jiwa keibuan beliau (muannats). Ada pula yang hendak mengukir perbuatan dengan inspirasi sikap kejujuran beliau (al Amin). Dari ujung mana saja, nantinya akan saling melengkapi dan saling mengutuhkan. Genggaman ini sebagai aji-aji (nilai andalan) diri. Sebagai pemupuk jiwa insaniah agar tetap sesuai fitrah. Alat karimal akhlak yang membuat seseorang menjadi Aji (bernilai), karena pandai ngajeni (memuliakan, memberi nilai, apresiasi, menghormati) pada hal kecil apalagi pada hal besar. Santun kepada hal-hal yang di-ajeni (dihormati) oleh Rasulullah dan bersikap tegas pada hal-hal yang ditentang oleh Rasulullah.

Ungaran, Rabbiul Awwal 1445 H

Lainnya