CakNun.com

Etik, Politik, dan Poetics dalam Kesusastraan Emha Ainun Nadjib1

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 21 menit

Lintasan sejarah Emha dan KiaiKanjeng menunjukkan tiga hal. Pertama, pemahaman akan kesastraan dan kesenian cenderung mencair, melintasi batas-batas di antara keduanya, yang oleh Emha disebut sebagai perjodohan. Kedua, pembebasan sastra bukan untuk dirinya sendiri, melainkan ditujukan kepada manusia.

Persambungan poin pertama dan kedua mendorong format ketiga, yakni sinau bareng yang tidak hanya forum tegur-sapa antara pembicara dan audiens, tetapi juga upaya bersama dalam menemukan jalan tengah, sebuah resolusi konflik dari pihak yang berseteru.

Dengan demikian, posisi intermedialitas yang dibicarakan bukan sekadar merambah masalah alih wahana demi mencapai perubahan lintas-media, melainkan juga memiliki kecendeurngan implikasi sosial. Atau dalam ungkapan lain:

Emha dan KiaiKanjeng mendayagunakan intermedialitas sebagai medium interaksi serta komunikasi kepada masyarakat yang mengarah kepada kemanfaatan: resolusi konflik lintas agama/kepercayaan, membesarkan hati rakyat yang terpinggirkan, penengah bagi mereka yang berseteru, dan seterusnya.

Sastra dengan Sensibilitas Politik

Pekan akhir, tanggal 24, bulan April tahun 1982 Emha diundang ceramah akademik dalam Peringatan Hari Charil Anwar di Fakultas Sastra, UGM. Di hadapan civitas akademia kampus Bulaksumur Emha menyiarkan makalah bertajuk Sastra Independen. Ia mengawali titik pijak sejarah perpuisian Indonesia modern pasca-penyair yang terkenal dengan penggalan sajak Aku Ini Binatang Jalang itu.

Menurut Emha, terdapat tiga tonggak penting setelah Chairil. Pertama, pembebasan dari konvensi puisi klasik sejak era Pujangga Baru. Kedua, pembebasan dari turbulensi politik dalam kesusastraan. Ketiga, penegakan kemerdekaan kreativitas. Yang terakhir ini, disebut Emha, “… di kedua sayapnya berkibar dua bendera yang agak kontradiktif, yakni pemasyarakatan puisi di satu sayap, dan di sayap lain pembebasan kata dari makna.”

Di luar arus utama sejarah perpusian Indonesia kontemporer itu, lebih lanjut, Emha mewedarkan suatu kerangka struktural yang lebih luas. Ia menyodorkan pertanyaan analitis: apakah arah puisi (kesusastraan) di Indonesia menentukan atau ditentukan — dari dan oleh — kondisi kemasyarakatan? Dengan ungkapan lain Emha menyebut, “Apakah kesusastraan kita ini independen ataukah dependen? Dan apakah makna sosial dari dependensi atau independensi itu?”

Bila membaca gagasan Emha dalam “kertas kerja” itu, ia sesungguhnya menghindari dikotomi kesusastraan ala Lekra atau Manikebu. Ia mengindari “frame persepsi” sayap kiri atau kanan, yang pada era 60–an bersitegang, baik secara ideologis maupun politis. Emha menolak simplifikasi yang kala itu beredar di kalangan seniman atau penyair, yakni puncak seni Orde Lama ditandai oleh kemunculan Lekra, sementara Orde Baru difigurkan oleh Sutardji. Demikian pula penyederhanaan semacam Lekra itu seni-komunis, sedangkan Sutardji cs seni-kapitalis.

Emha, lebih lanjut, mempersoalkan bahwa acap kali kemerdekaan kreatif seorang seniman maupun sastrawan diletakan dalam konteks eksternal. Sementara konteks internal cenderung diabaikan. Ia menelusuri lebih mendalam dan subtil betapa konteks internal dapat diteropong dari sisi personal: seberapa jauh seorang pekerja kreatif merdeka dari latar belakang yang membentuk atau mengondisikannya.

“Dengan bahasa populer, apakah seorang sastrawan bisa berbuat untuk lingkungannya, ataukah justru diperbuat. Kesusastraan yang independen bukan terutama bahwa ia merdeka untuk mengekspresikan diri, melainkan bahwa sumber kreativitasnya itu sendiri merdeka.”

Pokok utama buah pena Emha dalam makalah ini ialah mengupayakan suatu paradigma alternatif berupa sastra independen. Bebas dari ketergantungan eksternal, sebagaimana ditandaskan Emha, hendaknya disertai dengan “mandiri di tengah berbagai proses masyarakat dan negara, atmosfernya dan ramuan-ramuan kondisinya.” Bagaimana mehamparkan kemerdekaan kreativitas dalam dimensi internal dan eksternal itu? Emha menawarkan dua pendekatan: konsistensi terhadap introspeksi dan ekstropeksi.

Emha secara kritis mempreteli bagaimana struktur vertikal tatanan kepenyairan maupun perpuisian sampai pada tataran mapan. Ia dimapankan oleh status-quo yang telah menggurita — Emha menyebutnya sebagai “para penghuni tentakel-tentakel kelas atas. Itu kenapa kemudian lahir elite yang elitis dan elite yang populistis dalam struktur kepenyairan kala itu.

Argumentasi Emha tersebut memperlihatkan pola yang sebetulnya senada mengenai teori patron-klien dalam disiplin ilmu politik, sosiologi, dan antropologi. Seorang antropolog Amerika Serikat, James C. Scott, mewedarkan hubungan patron-klien dalam konteks kehidupan petani.

Secara garis besar, patron-klien menegaskan relasi individu atau sekelompok orang yang memiliki status sosio-ekonomi “tinggi” dalam “memberdayakan” individu atau sekelompok orang yang “rendah” statusnya. Dengan kata lain, pihak yang berstatus sosio-ekonomi “tinggi” memiliki kekuatan untuk melakukan kebijakan hegemonik terhadap pihak yang berstatus sosio-ekonomi “rendah”.

Dalam konteks jagat kesusastraan nasional kala itu, Jakarta yang direpresentasikan TIM seakan-akan menjadi patron, suatu poros yang memiliki otoritas untuk menentukan tinggi atau rendahnya kualitas sastra. W.S. Rendra pernah menyebut kaum elite itu “berumah di atas angin” yang sekonyong-konyong mewacanakan karya sastra jauh dari “permukaan bumi”.

Menanggapi fenomena elitisme itu Emha mencatat, “ …[mereka] sebaiknya menyempatkan diri juga menengok ke bawah. Syukur mau turun betul dan mengalami bawah. Sebab dalam struktur kerucut yang puncaknya adalah idea kualitas ini, maka para ‘atasan’lah yang selalu dianggap memiliki kompetensi dan keabsahan untuk berbicara tentang segala yang terjadi di atas maupun di bawah.”

Emha sesungguhnya berpendapat agar atmosfer kesusastraan dipraksiskan secara demokratis yang berbasiskan pada keterbukaan. Apa yang sebaiknya terbuka dan demokratis? Emha menguraiakan, “keterbukaan terhadap berbagai macam kemungkinan nilai puisi. Lebih luas lagi turun ke bawah itu adalah keterlibatan lebih jauh ke dalam kehidupan sosial pada lapisan-lapisan yang paling membutuhkan komitmen, yang bukan sekedar dunia rekaan belaka.”

Terhadap sastra yang dianggap fiktif semata, Emha sengaja mengkritik pandangan Sapardi Djoko Damono manakala berbicara dalam Forum Penyair Muda Jakarta. Profesor Sastra Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa puisi itu hanyalah dunia rekaan. Konteks tuturan Sapardi menyasar pada penyair muda yang pada akhirnya terjebak di dunia riil di sekitarnya.

Dunia riil yang dimaksudkan adalah terdapat sajak yang menyebut nama seorang penyair atau menteri, sehingga bagi Sapardi itu merupakan “ … tak setia kepada puisi sebagai dunia rekaan.” Sapardi di sini seolah-olah menentang konstruksi puisi yang kerap membawa konten-konten politik. Sapardi secara implisit melawan pandangan Lekra yang terjebak pada kredo Politik sebagai Panglima.

Berseberangan dengan pandangan Sapardi, Emha bersilang pendapat bahwa sastra bukan sebatas dunia rekaan. Demikian pula bentuk karya seni lain. Terlalu serampangan dan banal bila menyebut sastra sebagai produk imajiner semata. Emha mempungkasi makalahnya itu dengan penutup tangkas.

“Seorang penyair lebih dari sekedar seorang tukang reka-reka. Ia adalah seseorang, sepenuhnya. Kalau tidak, tak perlu ada sebutan penyair, tak perlu terbit buku puisi, tak perlu panggung poetry reading. Pembaca dan penonton bukan kawula-kawula yang membayarkan uang hanya untuk mendengarkan rekaan subjektif-eksklusif.”

Kalau begitu, apakah Emha berkredo sastra sebagai medium komunikasi kepada masyarakat saja? Atau sastra semestinya memuat refleksi-kritis atas segala persoalan sosio-kemasyarakatan yang ada?

Lainnya

Ber-SASTRA EMHA di KENDURI CINTA

Ber-SASTRA EMHA di KENDURI CINTA

Memasuki bulan November, cuaca masih belum menentu. Perubahan drastis bisa terjadi dalam hitungan jam saja.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Intermedialitas Karya-Karya Cak Nun

Intermedialitas Karya-Karya Cak Nun

Eksplorasi multi-perjodohan kesenian itu bisa melibatkan dunia gerak, dunia fragmen teater, serta kemungkinan-kemungkinan lain.

Rony K. Pratama
Rony K.P.