CakNun.com

Etik, Politik, dan Poetics dalam Kesusastraan Emha Ainun Nadjib1

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 21 menit

Kita tak dapat mengatakan keseluruhan puisi yang terhimpun dalam “M” Frustrasi! merepresentasikan kecenderungan romantik seperti sekilas pandang di atas. Kategori ini mungkin juga dapat diabaikan kalau kita menanggalkan pembacaan teoretis. Membaca dan menikmati puisi sangat mungkin tanpa motif apa pun kecuali sekadar menyelami apa adanya. Kendati menyelami tanpa pendekatan apa pun, toh juga merupakan cara pandang.

“M” Frustrasi! terbuka bagi kemungkinan penafsiran dalam bentuk apa pun, bahkan termasuk pembacaan dengan pola tadabbur sebagaimana kita akrabi selama ini.

Menurut Seno dalam kata pengantarnya berjudul Emha dalam Konstruksi Yogya, kumpulan puisi “M” Frustrasi! waktu itu berada di tengah iklim berkesenian antara kubu estetisme versus kontekstualisme. Emha tidak condong pada keduanya. Kata Seno, ia memiliki jalan kreatifnya sendiri, yakni spiritualisme. Namun, menurut pembacaan saya, spiritualisme di situ tidak dalam pengertian sufistik “eksistensial” hanya dengan mengurusi diri dan Tuhan eksklusifnya.

Spiritualisme dalam puisinya itu cenderung berada di tengah perbatasan: bertindak dan berpuisi.

Antara Etik dan Politik: Menyublim pada Gagasan Sastra yang Membebaskan

Pada usia 31 tahun Emha menerbitkan buku bertajuk Sastra yang Membebaskan: Sikap terhadap Struktur dan Anutan Seni Moderen Indonesia (PLP2M, 1984). Buku itu dapat dikatakan menggambarkan sikap Emha terhadap sastra (dan seni pada umumnya) dalam konteks keterhubungannya dengan medium kesenian lain.

Garis besar buku itu antara lain memperlihatkan sikap Emha dalam memandang kedudukan puisi. Ia mendorong agar penulisan puisi meninggalkan ke-“bisu”-annya dan menjajaki wilayah puisi yang berkesadaran sosial. Dengan kata lain, Emha menilai bahwa karya sastra, terutama puisi, kurang atau bahkan nihil terhadap tema-tema sosial di sekitar masyarakat. Penyair dan karangannya dalam ungkapan sinis Rendra disebut sekadar “…penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan.”

Kecenderungan karya sastra yang asosial dan ahistoris digugat Emha dalam bukunya itu. Itulah sebabnya, ia merambah pokok masalah serupa lain seperti karya seyogianya tidak sekadar dinilai berdasarkan “teknik-estetis” tetapi juga lebih penting menitikberatkan kepada “…mampu menangkap kesenian dalam kanvas kehidupan, bukan hanya dalam kanvas kesenian.”

Bagi Emha, sastra yang membebaskan bermakna apa saja. Ia merupakan dimensi luas yang memerlukan, umpamanya, cakupan spesifik agar pembicaraan sastra yang membebaskan memasuki koridor secara operasional. Kesepakatan itu memerlukan pertanyaan apakah yang dimaksud dengan sastra. Apakah yang disebut sastra adalah susunan kata-katanya atau keindahan yang dimuatnya (hlm. 264)2. Kedua terakhir ini Emha imbuhkan sebuah analogi. “Kalau pakai amsal: manis itu rasanya atau gulanya?”

Emha lebih kepada pemahaman di tengah. Ia memakai ungkapan “kalau kau bertanya pastinya sastra itu komposisi kata atau muatan estetikanya, aku berpendapat pada denyut di antara keduanya” (hlm. 265). Cakupan sastra, bagi Emha, meluas sampai medium apa pun, yang tidak sekadar ditandai oleh kata verbal, tetapi juga medium “kesenian” lain yang mengandung efek “sastrawi”.

Pemahaman itu kemudian membawa kepada intermedialitas sebagai keniscayaan, sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dalam praktik kebudayaan. Sikap itu cukup berseberangan dengan intermedialitas dalam cakupan pengertian di atas, yang tiap media satu dengan lainnya berbeda secara konvensional. Sementara itu, Emha lebih lekat dengan anasir setiap media yang di satu pihak dependen, sedangkan di pihak lain “perjodohan” satu sama lain merupakan bentuk pembawaan sastra ke mana saja.

Kalau diamati lebih detail, pembawaan sastra ke mana saja merupakan rekam jejak kepengarangan Emha empat dasawarsa belakangan. Periode menulis puisi ia rambahkan ke musikalisasi puisi era Karawitan Dinasti dan dilanjutkan sampai praktik-praktik kesenian KiaiKanjeng. Langgam sastra yang dibawa ke mana saja, dengan demikian, merupakan bukti intermedialitas Emha sejauh ini. Ia mengistilahkan “perjodohan” untuk menyebut lintas-media.

“Evolusi kreativitas di KiaiKanjeng mengembarai dua spektrum. Pertama, tidak terbatas hanya penjodohan puisi dengan musik, tetapi merambah juga berbagai kemungkinan kreatif lainnya yang lebih luas dalam bingkai kesenian. Eksplorasi multi-perjodohan kesenian itu bisa melibatkan dunia gerak, dunia fragmen teater, serta kemungkinan-kemungkinan lain” (hlm. 269).

Selain “spektrum pertama” di atas, dimensi kedua berikutnya meliputi pelebaran secara sosial di masyarakat. Cakupan ini menegaskan “mempergaulkan semua kemungkinan di dalam kebudayaan” yang antara lain ditandai bagaimana Emha dan KiaiKanjeng menengahi sejumlah konflik di akar rumput.

Konflik ini bisa berupa upaya rekonsiliasi atas perpecahan lintas umat beragama maupun menengahi secara fisik karena faktor ekonomi dan politik. Perjalanan di Belanda merupakan contoh empiris mengurai benang kusut “kekeruhan konflik” yang dilakukan Emha dan KiaiKanjeng. Demikian pula di dalam negeri manakala meredam konflik antara Dayak dan Madura di Kalimantan sampai anggota KiaiKanjeng menyisir ke lokasi-lokasi pedalaman di sana (hlm. 271).

Lainnya

Ber-SASTRA EMHA di KENDURI CINTA

Ber-SASTRA EMHA di KENDURI CINTA

Memasuki bulan November, cuaca masih belum menentu. Perubahan drastis bisa terjadi dalam hitungan jam saja.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Intermedialitas Karya-Karya Cak Nun

Intermedialitas Karya-Karya Cak Nun

Eksplorasi multi-perjodohan kesenian itu bisa melibatkan dunia gerak, dunia fragmen teater, serta kemungkinan-kemungkinan lain.

Rony K. Pratama
Rony K.P.

Topik