CakNun.com

“Dokter Pribadi” Cak Nun

Munzir Madjid
Waktu baca ± 3 menit
"Kedokteran Barat sedang gelisah kepada dirinya sendiri apakah yang mereka lakukan selama ini benar", ungkap dr. Eddot di Mocopat Syafaat. (17/11)
Mocopat Syafaat 17 Desember 2017 (Foto: Adin. Dok. Progress)

PANGGILANNYA Eddot, rumahnya di jalan Bantul, dari bangjo Jokteng Kulon sekitar 1 kilo meter. Untuk sopan santunnya, di sini saya memanggilnya Mas Eddot. Meski dalam keseharian jika bertemu Mas Eddot selalu menyapa “Jid” dan saya jawab “Ya Dot.”

Hal ini terulang tatkala tak sengaja kepethuk 7 bulan lalu di Menturo, Jombang, Jumat malam, Januari 2023. Kami bersalaman, berbasa-basi, kemudian ujarnya, “Iki aku langsung balik Yogya, Jid…

Mas Eddot ini, saya mengenalnya sebagai penyiar radio, kerennya disebut sebagai announcer. Salah satu radio yang digandrungi anak-anak muda di Yogyakarta, yang rata-rata adalah pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah yang merantau di kota ini. Sebutlah nama radio “Geronimo FM”, orang Yogya akan menyatakan sebagai radio yang keren, ngetop dan bergengsi.

Pagi itu, di Rumah Patangpuluhan, sepulang dari Jakarta Cak Nun meriang. Seluruh badan bilur-bilur merah. Orang Jawa menyebut biduren. Selain terkena alergi, perut juga mulas. Berulang hilir mudik ke kamar kecil untuk buang air. Diare.

Panggilen Eddot!

Nggeh Cak.”

Saya sudah ngeh, Mas Eddot wis dadi dokter. Saya pun sudah tahu dimana alamat Mas Eddot. Tanpa ba bi bu saya jalankan sepeda motor yang ada di halaman, meluncur ke arah jalan Bantul. Di teras rumah terpasang di tembok plang berwarna putih: DOKTER EDDY SUPRIYADI.

Ooo, jebul nama aslinya Eddy tho?

Pergaulan Cak Nun teramat luas, tidak hanya di kalangan seniman, dunia tulis menulis, atau pentas kesenian dari panggung ke panggung, namun bergaul juga dengan kawan-kawan yang beraktifitas di bidang lain. Hampir semua penyiar radio di tempatnya Mas Eddot bekerja mengenal secara dekat. Kang Sapto Rahardjo salah satunya (Allah Yarham), seorang pemusik kontemporer yang sangat disegani di Kota Yogyakarta (mengenai Kang Sapto, beberapa kali disebut dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya).

Beberapa kali saya diajak Cak Nun ke Radio Geronimo di Jalan Gayam Yogyakarta. Kemudian keluar mengajak Mas Eddot dan beberapa kawan penyiar untuk sekedar ngobrol sambil makan minum di warung pinggir jalan.

Saya sendiri tidak tahu sejak kapan Mas Eddot saling mengenal dengan Cak Nun, dalam momentum apa dan di mana. Pergaulan mereka berdua, saya sebut sebagai persahabatan yang indah, setia, langgeng sampai di hari ini. Saling menyayangi, berbagi nasehat. Benar-benar contoh nyata sebagaimana yang diterakan dalam QS Al Asr: Illalladziina aamanuu wa’amilus shalihaati watawa saubil haqqi watawaa saubis shabr.

Ketika Cak Nun dikabarkan sakit dan masuk Rumah Sakit Sardjito, tidak heran Mas Eddot lah, sahabat kental, seorang dokter; yang selalu menjaga dan mendampingi dalam proses penyembuhan Cak Nun.

Ikhwal sakitnya Cak Nun menjadi berita besar. Media mainstream, online, televisi, radio, sosial media, saling berebut, agar disebut paling update memberitakan berita terkini, sehingga banyak yang tidak terkontrol, tidak valid, menjurus ke hoax. Hal ini karena kecerobohan reporter menggali sumber berita yang kurang kompeten.

Ketika media berebut paling update menginformasikan tentang Cak Nun, mulai dari sakit, kemudian masuk RS dan semakin membaik perkembangan kesembuhannya, membuktikan bahwa ucapan Cak Zakki benar. “Fiks, Cak Nun adalah aset bangsa yang sangat penting.”

Dalam berita-berita di media, ada hal yang menggelitik hati saya, atau bisa jadi bagi semua yang mengenal Cak Nun, anak cucu Jamaah Maiyah, sejak kapan Cak Nun punya Dokter Pribadi?

Alhamdulillah, sangat menggembirakan, informasi ter-update dari “Dokter Pribadi” dr. Eddy Supriyadi, bahwa hasil evaluasi tim dokter dari hari ke hari menunjukkan perbaikan kondisi kesembuhan Cak Nun.

Di akhir tulisan ini. Asa dan doa saya di setiap tarikan nafas, dan tentu doa anak-anak dan cucu-cucu Mbah Nun, atau siapapun yang membaca catatan ini, semoga Allah mengabulkan, mengijabahi, Mbah Nun sehat kembali.

Lainnya

Indonesia Cabang Belanda

Indonesia Cabang Belanda

“Markesot bertutur bahwa orang berhak hidup dengan pandangannya sendiri sepanjang dia sanggup menjaga jarak, tenggang rasa, dan toleran terhadap pandangan lain di sekitarnya.” Kalimat ini saya temukan pada halaman 94 buku Markesot Bertutur karya Mbah Nun Edisi keempat, cetakan I bulan Juni tahun 2019 yang sedang saya baca saat ini.

Ericka Irana
Ericka Irana
Exit mobile version