CakNun.com

Dinamika Kosa Kata ‘Pro Rezim’ dan ‘Agen Sistem’ Mau Hidup Lagi

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Jon Tyson on Unsplash

Dalam lintasan sejarah politik Indonesia, terdapat dua kosa kata yang seolah menjadi simbol stigma atau penghinaan pada masa Orde Baru (ORBA): “pro rezim” dan “agen sistem”. Dua frasa ini tidak hanya merupakan kata-kata, melainkan senjata retorika yang digunakan untuk mencemarkan reputasi dan mengisolasi individu atau kelompok tertentu, khususnya di kalangan aktivis. Pada masa ORBA, keduanya dianggap sebagai cap buruk yang, jika melekat pada seseorang, akan menjadi beban seumur hidup.

Namun, dengan pergantian rezim dan masuknya era kepemimpinan Jokowi, paradigma terhadap dua kosa kata tersebut berubah secara drastis. Mereka yang menyandang predikat “pro rezim” atau “agen sistem” tidak lagi mendapat penolakan dan pandangan sinis. Sebaliknya, ada kelompok aktivis dan seniman yang dengan bangga mengidentifikasi diri mereka sebagai pendukung rezim Jokowi, merasa bahwa mereka adalah agen perubahan yang positif.

Pergeseran ini, bagaimanapun, tidak bersifat abadi. Fenomena Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi pemicu potensi kembalinya dua kosa kata tersebut ke dalam perbincangan sehari-hari. Keputusan ini membangkitkan kesadaran bahwa kekuasaan, jika tidak dijaga dengan baik, dapat dengan mudah menjadi instrumen ketidakadilan.

“Pro rezim” sendiri mengacu pada individu atau kelompok yang mendukung atau memihak rezim yang sedang berkuasa. Untuk memahami lebih dalam, kita perlu memahami apa itu rezim dalam konteks politik. Rezim bukan hanya merujuk pada bentuk pemerintahan, tetapi juga pada seperangkat aturan, norma budaya, dan sosial yang mengatur operasi pemerintah dan interaksinya dengan masyarakat. Jenis rezim bisa bervariasi, mulai dari otoriter hingga demokratis.

Di sisi lain, “agen sistem” dalam konteks bisnis adalah perantara antara produsen dan konsumen. Namun, jika kita menghubungkannya dengan kecerdasan buatan, istilah ini dapat merujuk pada “agen cerdas”, yaitu sistem komputer yang dapat bertindak secara otomatis sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.

Ketika kita berbicara tentang agen sosialisasi politik, kita melibatkan individu, kelompok, atau institusi yang mempengaruhi proses sosialisasi politik. Ini termasuk keluarga, sekolah, dan peristiwa politik. Sosialisasi politik memegang peran penting dalam mencerdaskan masyarakat dan membangun partisipasi aktif dalam sistem politik.

Seiring waktu, kosa kata memiliki kekuatan untuk mencerminkan dinamika masyarakat dan politik. “Pro rezim” dan “agen sistem” adalah contoh nyata bagaimana makna dan konotasi kata-kata dapat berubah seiring perubahan keadaan politik dan sosial. Meskipun kini mungkin meredup, namun perubahan situasi politik dapat dengan cepat membangkitkan kembali makna dan stigma yang melekat pada dua kosa kata tersebut. Sejarah politik Indonesia adalah panggung di mana kosa kata ini bermain, dan terus berubah seiring alur perjalanan sejarah itu sendiri.

Maka dari itu, lebih baik kita kembali pro rakyat dan menjadi agen suara penderitaan rakyat” mencerminkan semangat untuk kembali mengarahkan perhatian kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Melalui pendekatan ini, kita menggeser fokus dari politik yang terpusat pada rezim atau penguasa ke arah pelayanan dan representasi kepentingan rakyat.

Menjadi “pro rakyat” artinya mendukung dan memperjuangkan kepentingan serta kesejahteraan rakyat. Ini bisa melibatkan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada lapisan masyarakat yang lebih luas dan memperjuangkan hak-hak mereka. Penting untuk memastikan bahwa suara penderitaan rakyat didengar dan diwakili dalam proses kebijakan.

“Menjadi agen suara penderitaan rakyat” menggambarkan peran aktif dalam membawa keluh kesah dan tantangan yang dihadapi oleh rakyat kepada pusat kebijakan. Sebagai agen, seseorang atau kelompok dapat menjadi perantara yang mewakili aspirasi dan kebutuhan masyarakat kepada pihak berwenang.

Pendekatan ini mencerminkan pemahaman bahwa kekuasaan dan kebijakan seharusnya melayani kepentingan rakyat secara adil dan berkeadilan. Menjadi pro rakyat dan agen suara penderitaan rakyat adalah langkah positif dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Pada intinya, ini mengajak untuk kembali fokus pada esensi pelayanan publik dan keadilan sosial.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:
Exit mobile version