Dari Puisi: Melebur Bingkai Kesenian ke Bingkai Kehidupan
Dunia dalam itu berbeda. Ia adalah kekekalan yang tak membutuhkan gerak. Karena ia mengandung gerak yang sesungguhnya, ialah rangkuman atas waktu. Siapakah kita? Deretan kesementaraan itu, ataukah kediaman yang merangkum gerak itu?
Tetapi jelas kita amat menyayangi puisi, barang mainan itu. Kita harubiru, kita elus dan pertengkarkan. Berlangsunglah kesibukan di dua tempat. Di pabrik barang mainan itu, serta di ruang mainan besar kehidupan. Pabrik riuh rendah, sementara di luar diiklankan bahwa barang mainan itu begitu amat pentingnya buat mainan besar kehidupan meskipun ada juga yang bilang bahwa tanpa mainan itu, sang mainan besar hidup tetap berlangsung baik-baik. Manakah yang lebih perlu, barang mainan itu sendirian ataukah keberadaannya di tengah mainan besar kehidupan?
Tetapi demikianlah, dengan serius kita bermain, sampai kalau perlu kita tinggalkan anak istri dan tetangga. Permainan kita terkadang menjadi sedemikian absurd, tapi terasa riil, ketika kita bertengkar apakah barang ini kita sebut ketapel atau pistol. Dan permainan itu menjadi kenes, tatkala seorang pembikin ketapel bersikap demikian serius terhadap nama dan statusnya sebagai pembikin ketapel. Baik ia sebagai pedagang komoditi ketapel, maupun prestasi dan prestise keketapelannya. Status itu kalau bisa dipertahankan, mungkin dengan cara apa pun. Karena memang demikianlah permainan. Demikianlah cinta kasih, keasyikan, kekhusyukan, kenikmatan, dibuktikan secara ruang, dipertahankan secara waktu, dihiasi dengan segala kemungkinan dinamika, perbuatan, kecemburuan, kemunafikan yang jujur, kejujuran yang munafik, tertawa yang melotot, serta melotot yang tertawa.
Puisi ialah dongeng yang indah tentang keindahan, kisah yang hangat tentang kehangatan. Ia dongeng, seperti juga AC, motor si peminum bensin, senjata nuklir atau gelar Doktor untuk ilmu anggrek, adalah dongeng yarıg menggiurkan tentang kemajuan, kisah yang menitikkan air liur tentang perkembangan peradaban. Dongeng itu kita yakini benar firmannya, dan kita hendak mengembara ke segenap pelosok dunia untuk mengumumkan bahwa setiap orang seyogyanya juga meyakini dongeng itu.
Kita berada di dongeng-dongeng. Tapi puisi yang sesungguhnya bukanlah deretan dongeng kesementaraan. Kita sebut itu puisi, tapi ia hanya bayangannya. Bukan tubuhnya yang sebenarnya, melainkan bayangan, dongeng asosiasi tentang tubuhnya. Tapi kita berada dan bersibuk di dongeng itu, dan untuk maksud menyampaikan dongeng itu kepada orang lain, kita butuh dongeng yang baru. Ialah ”dongeng tentang dongeng”. Seberapa mampukah penyair mendongengkan dunia dalamnya? Seberapa mampukah apresiant atau kritikus mendongengkan dongeng itu?
Roll Peragawati, Bingkai Tata Nilai, Sendat Komunikasi
Sejauh ini tata nilai kesenian (pun puisi) cenderung meletakkan karya seni berhenti sebagai kesenian. Kesenian sebagai satu otonomi yang ketat bingkainya, memiliki dirinya sendiri, menggenggam keutuhannya sendiri yang eksklusif. Diri dan keutuhannya itu tidak dengan sendirinya paralel dan satu dasar dengan sistem keutuhan manusia atau kehidupan. la suatu kualitas tersendiri yang tidak otomatis berperspektif sama dengan kerangka, kualitas manusia. Sulit memperbincangkan kesenian dengan menyentuhkan atau mempertemukan faktor-faktor kesenian itu dengan bobot yang utuh dari manusia dan kebudayaan. Kesenian di situ berarti suatu sistem-ungkap tertentu yang dilahirkan oleh manusia untuk menyatakan dirinya, tetapi dalam praktek kulturalnya, ia tidak dengan sendirinya bisa (boleh) dihubungkan dengan sistem ungkap lain dari manusia. Kesenian kita dalam banyak hal masih dihadapi secara estetika belaka. Kesenian yang ada itu sendiri sejauh ini tidak demikian. Ia hadir dengan arti kehidupan, karena memang ia lahir dari dan untuk kehidupan. Tata nilai yang ‘mengurus’nya mustinya mampu menangkap kehadiran arti itu, tidak malah memberi arti yang lebih menyempit.
Kesenian memang (antara lain) berada di panggung. Tetapi nilainya, artinya, ber-ruang di semua orang, di kebudayaan, di kehidupan nyata. Tapi sejauh ini dalam banyak hal ia memang masih lebih diletakkan di panggung. Sehingga ia hanya menjadi dunia panggung. Tersendiri. Eksklusif. Bak dunia fashion show. Dunia peran. Peran di atas peran. Ada garis cukup tajam yang membatasinya dengan ruang nyata manusia dan kebudayaan. Membatasi atau memisahkan (sebagian atau seluruhnya) dengan sistem nilainya. Membedakan (bahkan mungkin) dasar kodratnya.
Bagi seorang peragawati, tidaklah penting (baginya maupun bagi sekalian orang) apakah Jeans yang diperagakannya adalah memang pakaian yang dipilihnya dan dipakainya sehari-hari. Artinya realitas keperagawatiannya tidak merupakan bagian yang harus konsisten dengan realitas dirinya yang sesungguhnya. Demikian pun kalau penyair memperagakan keluhuran, keadilan, kejujuran, kebajikan. Ia hanyalah peraga. Peragawati adalah peraga pakaian. Seniman adalah peraga ide, wawasan, kualitas, nilai-nilai. Tak penting apakah ia adalah memang manusia yang utuh dengan nilai-nilai itu. Tak jadi soal apakah biduan yang yang menyanyikan lagu dakwah Islam itu, atau aktor yang memerankan Hamzah paman Muhammad itu, orang Katholik atau Budha. Ia hanya aktor, yang penting kemampuan aktingnya. Ia hanya peragawati, yang penting lenggak-lenggoknya. Ia hanya penyair, yang penting greget puisinya. Eksistensi penyair adalah pada puisinya… kata orang. Manusianya, soal lain. Karena itu ia disebut penyair, rekannya pematung, keponakannya pelukis. Status ini mengatasi status ‘manusia’nya. Jadilah ia pagar. Lingkaran pagar itu yang menjadi tempat pemusatan segala nilai hidupnya. Titik berat pemusatan ini yang ikut melatari eksklusivisme, di mana seorang manusia menumpahkan keseluruhan dirinya ke dalam suatu sistiem eksistensi. Satu wadah. Peran dan integritas hidupnya diwakilkan kepada wadah itu. Bukannya ia sendiri yang mewadahi nilai-nilai.
Kenyataannya mungkin tak setajam itu, tetapi demikianlah tata nilai yang ada ‘memperlakukan’nya. Membingkainya. Serta kemudian menyebabkan sendat komunikasinya.
Ternyata tak gampang menjadi ‘manusia yang manusia saja’, apapun pisau yang dipegangnya, apapun status yang disandangnya, apapun embel-embel yang menyertainya. Padahal biasanya penyair itu paling lihay berteori tentang ‘menjadi manusia’.
Tapi itulah faktor dasar yang sangat turut menentukan jawaban bagi problem komunikasi puisi maupun seni pada umumnya.
Pagar itu musti dilebur.
*) Tulisan ini merupakan Makalah dalam Seminar Ilmu, Seni dan Masyarakat yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM Yogya 11-13 Agustus 1981.