CakNun.com

Dari Puisi: Melebur Bingkai Kesenian ke Bingkai Kehidupan

Diambil dari buku Emha Ainun Nadjib, Sastra yang Membebaskan: Sikap terhadap Struktur dan Anutan Seni Modern Indonesia, PLP2M, 1984, hal. 5-24. Sebelumnya, tulisan ini merupakan Makalah dalam Seminar Ilmu, Seni dan Masyarakat yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM Yogya 11-13 Agustus 1981.
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 16 menit
Dok. Progress

Kita sementara itu tentu saja berkepentingan dengan kedua-duanya: baik komunikasi sosialnya, maupun inovasi seninya. Sintesa antara keduanya adalah bahwa pertumbuhan pola pemanggungan puisi itu hanyalah usaha agar selalu ada dinamika dan kesegaran dalam keberadaan puisi.

Kemungkinan jangkauan komunikasinya juga berbeda. Pemanggungan puisi penetrasinya meluas. Penampilan penyair lebih menukik. Kuantita “massa”nya juga berbeda, karena harus ‘dibayar’ secara berbeda pula — dengan kepolosan pada satunya, dan dengan keterbagian pada lainnya. Pemanggungan puisi menghadirkan ‘massa’ yang merebut sebagian keleluasaan penyair. Pada penampilan penyair person-person lebih dijamin kehadirannya. Kedua-duanya, saya kira, sama pentingnya.

Dalam prakteknya ada juga dua kategori yang berbeda: Pemanggungan Puisi dan Penampilan Penyair. Sama-sama mengkomunikasikan puisi, tapi tekanannya berbeda. Pada pemanggungan puisi, aksentuasinya pada puisi. Pada pe- nampilan penyair, aksentuasinya penyair. Penampilan penyair (manusianya, seutuhnya) biasanya hanya dalam lingkaran audience yang tertentu dan terbatas. Dengan begitu bisa dicapai intimitas personal, di mana penyair hadir lebih leluasa. Pada pemanggungan puisi (sebutlah demikian) karakternya adalah karakter pertunjukan, performance, panggung, dengan segala tuntutan dan resikonya. Pada penampilan penyair, justru dihindarkan karakter ini. Ia lebih merupakan kehadiran polos seorang manusia.

Trend Musikalisasi Puisi

Trend musikalisasi puisi cukup tajam pertumbuhannya dalam khazanah komunikasi puisi Indonesia. Banyak sekali contoh bisa kita sebut di sini. Umbu Landu Paranggi, Untung Basuki, Deded R. Moerad, Taufiq Ismail dengan Bimbo, Ebiet Gaffar Ade, Gombloh, Leo Imam Sukarno — dan kalau mau, deretan ini bisa sangat panjang. Sebab garis kriteria untuk mengidentifikasi musikalisasi puisi di sini tidak cukup tegas. Guruh, Iwan Fals, Ully Sigar Rosadi, Naniel, bahkan kalau perlu Rinto Harahap dan A. Riyanto juga berhak menyebut karyanya itu sebagai musikalisasi puisi. Meskipun jelas bisa dibedakan dalam hal ini mana puisi yang bagus dan yang jelek.

Tidak ada garis batas yang tajam yang membedakan antara puisi dengan yang dalam lagu-lagu pop disebut lirik. Bentuk/wujud/tubuh antara keduanya tak berbeda, meskipun bisa dikatakan bahwa puisi memiliki batasan yang lebih kualitatif sifatnya. Keadaan begini menjadi lebih ‘tidak menguntungkan’ karena secara auditif, yang disebut musikalisasi puisi itu hampir tak berbeda dengan pada umumnya lagu-lagu pop. Dari Bimbo, Ebiet sampai Gombloh, tidak dicapai suatu indikator auditif yang bisa membedakannya dengan lagu-lagu pada umumnya. Biasanya yang menjadi identitas bahwa itu musikalisasi puisi adalah nama penulis lirik/puisinya. Taufiq Ismail atau Wing Karjo. Atau biasanya juga ‘statement’ yang menyertai sebuah karya. Bisa saja lis Sugianto merekam lagu pop tapi dengan label musikalisasi puisi. Guruh pun menulis puisi, bahkan pakai Bahasa Sansekerta segala. Di mana-mana, anak-anak pada pinter main gitar serta bikin puisi dan lagunya dan syah saja untuk mengklaim bahwa itu musikalisasi puisi.

Alhasil tak ada substansi atau setidaknya tanda baru dari musikalisasi puisi, sejak Taufiq, Bimbo sampai pun Gombloh. Atau batas kriteria itu memang tak seharusnya ada. Selalu akan bercampur antara kualita dan kuantita, dan itu barangkali memang sekedar pertarungan antara kualita dan kuantita. Ebiet umpamanya, sayang sekali kalau puisinya makin ‘mencair’. Sebab meski hanya dalam wujud lagu pop saja pun, musikalisasi puisi itu sudah suatu peranan yang tak kecil. Syukur kalau ada fenomen auditif yang baru yang membantu menegaskan trend musikalisasi puisi ini.

Latar Kebahasaan

Ada kemungkinan komunikasi puisi Indonesia moderen, ada lanskap lain yang penting, menyangkut latar penyair-penyairnya maupun warna masyarakatnya itu sendiri. Heterogenitas sosial budaya masyarakat Indonesia menyodorkan problem-problem, handikap, keterbatasan, sekaligus juga kekayaan dan dinamik untuk puisi Indonesia yang berbahasa Indonesia ini.

Kecuali satu dua, hampir tak ada penyair Indonesia yang bersyair dengan bahasa-ibunya. Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua mereka. Penyair yang menulis dengan Bahasa Bugis disebut penyair Bugis, bukan penyair Indonesia. Pada batas tertentu, kesusastraan Indonesia bisa disebut orang sebagai kesastraan terjemahan. Minimal tidak seutuhnya berangkat dari naluri akar kebahasaannya.

Ini barangkali soal sederhana saja. Kita merasa tak ada soal ‘serius’ dengannya. Kita menulis puisi baik-baik saja adanya meskipun dalam Bahasa Indonesia. Tetapi misalnya, tidakkah ini karena dalam ‘keterpencilan puisi Indonesia’ ini kita memang kurang bertemu dengan daerah masyarakat luas yang memberi tantangan-tantangan kebahasaan?

Dalam dunia interpersonal penyair, hal yang bukan bahasa ibu ini mempersyarati suatu proses penyatuan, pemilikan, pen-diri-an bahasa kedua (Indonesia) tersebut Lebih dari sekedar penguasaan atasnya, tapi juga penyatuannya dengan naluri, spontanitas, karakter serta unsur-unsur kejiwaan lainnya yang menentukan lahirnya puisi. Ambil misalnya Bahasa Jawa yang lebih merupakan bahasa roso, bahasa seni, dan Bahasa Indonesia yang lebih ‘dipersiapkan’ menjadi bahasa intelektual. Bagi penyair asal suku Jawa tak mustahil keadaan ini merupakan tantangan yang memerlukan waktu (di dalam dan di luar dirinya) buat dijawab. Ini bukan soal yang se ‘smooth’ yang bisa dibayangkan. Kalau tidak, aneh rasanya kalau Darmanto atau Linus berpuisi makin men-Jawa. Si Bangsat itu pernah memberi reasoning tentang men-Jawa itu bahwa ia memang belum Indonesia betul. Kebetulan bahasa memang bukan sekedar deretan huruf dan kata-kata. Ia satu dengan keseluruhan manusia itu sendiri. Ia kultural. Tak gampang-gampang mengalihkannya. Ini semua memberi batasan-batasan, tidak saja bagi lahirnya puisi itu sendiri, tapi juga apalagi bagi proses komunikasi sosialnya.

Pada sudut masyarakat, yang menjadi sasaran komunikasi puisi, masalahnya juga sama besar. Dari data ilmiah tentang Buta Huruf dan Buta Bahasa Indonesia saja sudah bisa kita lihat keterbatasan jangkauan yang bisa digapai komunikasi puisi Indonesia. Kemudian seperti umumnya penyair, masyarakat kita pun pada umumnya berbahasa Indonesia sebagai bahasa yang kedua. Kita tidak bisa persis membayangkan bagaimana hasil komunikasi Darmanto kalau baca puisi-puisi men-Jawanya di depan penonton Indonesia yang bukan Jawa. Sebab meskipun peralatan puisi adalah bahasa, ia lebih dari sekedar bahasa. Ia juga lahir dari tradisi-tradisi etnis tertentu, filsafat kedaerahan yang khusus, yang sedikit banyak harus diketahui oleh konsumen puisi.

Dalam keadaan ini mungkin saja seorang penyair dituntut untuk memilih atau menggunakan indikator, transformator, atau tema dan substansi tertentu yang ‘nasional’ sifatnya, agar ia bisa menguak pula jaringan yang nasional, yang Indonesia. Lepas dari apakah ini adalah kerepotan yang akan bikin penyair angkat bahu, tapi demikianlah heterogenitas kita. Salahnya Indonesia tidak membagi saja suku-suku menjadi bangsa-bangsa sendiri-sendiri.

Lainnya

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Exit mobile version