Dari Puisi: Melebur Bingkai Kesenian ke Bingkai Kehidupan
Analog ke problem komunikasinya, apakah yang hendak ‘disampaikan’ itu terutama ‘puisi-sistem ungkap itu ataukah lebih luas dari itu? Sebagai bandingan sederhana misalnya, apakah kau akan mendakwahkan identitas/bendera Agamamu, ataukah kualitas yang dikandungnya — lepas dari apa pun bentuk kuantitatifnya?
Baiklah. Kita jawab: kedua-duanya. Kita dakwahkan puisi sistem-ungkap (bendera) itu, tapi toh untuk kualitas hidup itu sendiri pada akhirnya. (Catatan kaki: apa betul demikian?).
Puisi ditulis, kemudian dikomunikasikan dengan (1) cukup tulisan itu sendiri, dan (2) dengan lisan. Dua media komunikasi yang merupakan ‘dua dunia’ yang amat berbeda. Puisi tulisan (kumpulan, antologi, rubrik koran, surat cinta dan seterusnya) menelusup ke dalam diri seseorang secara lebih personal, lebih khusus dan intim. Puisi dengan lisan (deklamasi, poetry reading, panggung, dan seterusnya) berlangsung dalam alam komunikasi yang lebih kolektif sifatnya. Hukumnya lebih merupakan hukum massa. Dalam menggapai sasarannya, komunikasi lisan umumnya lebih luas jangkauan kuantitatifnya. Tapi secara kualitatif komunikasi tulisan bisa lebih ‘unggul’.
Komunikasi tulisan pada umumnya lebih pasif. Terutama karena ia hanya bergantung pada tingkat permintaan di pasaran, dan puisi bukanlah ‘bibit unggul’ sebagai komoditi. Penerbitan buku puisi adalah penerbitan ‘perjuangan’. Seret lakunya. Majalah ‘Horison’ terbata-bata, dan kumpulan puisi tak jarang cukup dibagi-bagi antar kawan. Wajar saja, tentunya.
Komunikasi lisan sementara itu memiliki kemungkinan yang lebih luas untuk ‘kampanye’, meskipun dengan keterbatasan yang lain. Sambil kita catat tradisi Mocopatan atau pantun-patun Gayung bersambut, atau juga misalnya Teater Bertutur, sejarah komunikasi puisi lisan ini untuk ‘Indonesia baru’ dimulai dengan populernya deklamasi, kemudian poetry reading, kemudian berbagai fenomen ditempuh: poetry singing atau musikalisasi puisi, puisi gerak, teaterikalisasi puisi, pu-kis (puisi lukis) serta berbagai macam gado-gado lain.
Aksentuasi Person dan Aksentuasi Massa
Berbagai modus yang ditempuh oleh komunikasi puisi lisan itu tentu saja dengan menggunakan unsur-unsur lain yang ‘bukan sastra’. Dengan demikian ia bergeser dari hukum kesastraan ke lingkaran yang lebih luas, yakni hukum panggung. Ia tidak saja terikat oleh hukum panggung, tapi dengan begitu ia mesti memperhitungkan dan tak mengabaikannya. Anda baca sajak di panggung, tentu tidak untuk mengharapkan suatu dialog seperti kalau puisi anda dibawa pulang oleh seseorang dan ditekuninya di kamarnya. Di kamar itu bertemu person dengan person. Tapi di panggung anda bertemu dengan person-person yang separo alamnya berkarakter massa.
Ini mengandung resiko-resiko, keuntungan tapi juga kerugian. Di pertemuan mahasiswa anda tak bisa frontal saja membacakan sajak “Dingin Tak Tercatat”nya Goenawan Mohamad, supaya anda tidak menjadi Menteri yang berpidato ilmiah di depan layar TV orang desa selatan Trenggalek. Alam kualitas yang bisa dikomunikasikan berbeda. Karena itu hampir bisa dikatakan bahwa komunikasi puisi tulisan dengan lisan adalah dua jaringan yang sama sekali berbeda. Bahkan hampir dua dunia yang berbeda.
Ini yang membikin (misalnya, maaf) saya sering merasa ‘kesepian’ sebagai tukang bikin puisi. Dalam pengalaman yang belum banyak, saya ketemu banyak orang untuk ‘urusan puisi’, merasa sering baca puisi di depan macam-macam orang dan kalangan, tapi puisi-puisi saya ‘yang sesungguhnya’ sering tak bisa saya hadirkan kepada mereka. Para handai tolan itu kenal saya karena lihat saya baca puisi, bukan karena mereka pernah menekuni puisi saya di biliknya. Tetapi kadang-kadang rasa kesepian itu mengeras, atau justru lenyap, karena di antara kawan-kawan tukang dan ahli puisi pun begitu sering tidak saling ‘mudeng’. Tapi resiko itu harus diambil. Saya adalah seorang ‘kompromis’ dalam arti bahwa saya tidak mau pakai sepatu putih lux dalam kerja bakti kampung di got-got, meskipun saya bisa omong-omong dengan bahasa mereka tentang segala macam dan akhirnya sampai juga ke sepatu lux itu. Karena itu saya melihat soal komunikasi puisi itu paralel saja dengan ‘sesrawungan’ biasa. Berproses untuk saling memahami dan dipahami. Saya bikin puisi-puisi ‘sengaja’, di samping lahir puisi-puisi ‘tak sengaja. Saya tulis puisi-puisi ‘pertukangan’ untuk srawung itu, di samping muncul puisi-puisi ‘yang sesungguhnya’. Perlahan-lahan, dan mungkin sepele jadinya. Tapi demikianlah selalu sifat komunikasi orang banyak.
Munculnya puisi ‘yang sesungguhnya’ itu serem kayak orang mau melahirkan. Tapi bikin puisi ‘pertukangan’ itu mengasyikkan. Itung-itung untuk belajar bergaul, menanggapi kenyataan. Ada mahasiswa, ada pelajar, ada pengantin, ada muda-mudi berpesta, ada hostess dan pelanggan-pelanggannya, ada buruh, ada peserta pengajian yang alim-alim, ada penggemar musik pop atau jazz-rock, macam-macamlah pokoknya. Mereka semua adalah subjek-subjek yang kepadanya tak bisa kita pergaulkan semua kadar puisi. Jadi butuh fase, transisi, batu loncatan, meskipun percayalah kita bisa sesalkan serba sedikit puisi yang hebat-hebat. Sebab di dalam berkomunikasi kita harus mau tahu terhadap alam dunia orang yang kita hadapi. Kita toh tidak ingin menjadi tiran yang membabi-buta. Komunikasi puisi itu hanya pergaulan, tegur sapa, bukan justru menciptakan keasingan — meskipun dalam pemahaman, boleh disisakan sedikit keasingan. Persoalannya di sini, yang masih belum habis terjawab, apakah ke. dua trend itu memang dua kodrat yang berbeda, atau ada tali sambungnya.
Setiap penyair punya jawaban dan sikapnya sendiri-sendiri. Tapi memang itulah salah satu perbedaan antara komunikasi puisi tulisan dan lisan. Pada yang pertama, puisi tulisan itu dibaca oleh orang yang memang mau membeli dan membacanya. Tapi puisi lisan, kita lebih sering berhadapan dengan orang yang belum tentu mau, apalagi siap, mendengarkan puisi kita. Tantangan dan tuntutannya sangat lain.
Penampilan Penyair, Pemanggungan Puisi
Bermacam pola pemanggungan Puisi, oleh penyair atau bukan, berangkat dari kepentingan yang tidak selalu sama. Ada yang berorientasi kepada ‘kebaruan’ pola itu sebagai ekspresi kesenian, tapi ada juga untuk kepentingan komunikasi sosial itu sendiri. Aksentuasinya berbeda, pada keseniannya dan pada komunikasinya. Sehingga fungsi alat bantu yang non sastra itu pun berbeda pula.
Sutardji Calzoum Bachri pakai bir dan menelentang-nelentang. Sides Sudiarto ambil akting serigala lapar. Leon Agusta ber’puisi auditorium’ dengan kelompok deklamatris. Hamid Jabbar pakai ketepong, kemudian pakai drum. Linus Suryadi dengan kelompok Pariyemnya serta seorang biduan Jawa dengan Siternya. Dan bermacam-macam yang lain. Ada juga tukang yang namanya Emha, terkadang baca puisi dengan satu truk gamelan.
Pola yang berorientasi kepada ‘kebaruan kesenian’, menganggap cukup berkomunikasi dengan lingkaran/ lingkungan kesenian saja. Tapi pola yang aksentuasinya adalah komunikasi itu sendiri, melihat bahwa yang penting justru adalah pergaulan atau jangkauan yang seluas-luasnya. Prinsipnya seperti prinsip KB (Keluarga Berencana): jangan berceramah KB kepada Tuan Nyonya yang memang sudah berencana beranak tiga saja. Paralel dengan anjuran budayawan Umar Kayam: “Pokoknya hadirkan karya seni terus-menerus”. Ditimpali Darmanto: “kapan saja dan di mana saja.”