Dari Puisi: Melebur Bingkai Kesenian ke Bingkai Kehidupan
“Puisi itu barang bikinan manusia. Barang mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan ia mungkin saja dianggap sebagai kebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan mungkin sakral, religius, penuh cinta kasih dan terlalu romantis untuk diabaikan. la demikian pentingnya, tapi mungkin juga hanya agak penting, atau tak penting sama sekali. Tetapi pasti, seperti juga barang-barang mainan lain, ia hanyalah diadakan. Jadi sebenarnya ia tidak ada. Kenyataan ruang dan waktu akan mengungkapkan bahwa ia sesungguhnya memang tidak ada. Yang ada hanyalah puisi yang tak bisa dibikin menjadi sebuah wujud, yang tak bisa diucapkan dan ditulis. Dengan kata lain ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan itu bukanlah puisi yang sesungguhnya. Melainkan dongeng saja. Analoginya juga segala perbincangan tentangnya hanyalah dongeng tentang dongeng belaka. Dan dongeng itu semu.”
Kiranya, apa perlu juga kita ambil perspektif yang ini untuk konteks pembicaraan kita?
Nanti saya menjumpai keperluan itu.
Seribu Chairil, kita hanya mau juaranya
Di kamar, saya menyimpan lebih dari seratus kumpulan puisi dari nama-nama yang umumnya, saya yakin Bung-bung tak pernah mengenalnya. Baik yang cetakan, stensilan, sekedar ketikan, dan belum lagi puisi-puisi “lepas” yang ditulis tangan. Ini sebuah dongeng lain, sekeping di antara gumpalan besar dongeng-puisi kita.
Pelbagai latar belakang, pamrih dan hasrat, menghadirkan diri dengan mempercayakan suatu modus-ungkap yang bernama puisi. Mereka berasal dari berbagai daerah dan kota, berbagai level dan kalangan sosial, serta berbagai alam batin yang melahirkan bakat maupun pelariannya.
Dolan ke daerah-daerah, di Jawa ini maupun pulau lainnya, bertemu dengan penulis-penulis puisi yang selalu saja ada. Tak usah dipersoalkan apakah mereka perlu disebut penyair atau tidak, tetapi kita juga tak bisa begitu saja menghitung mereka sebagai anak-anak remaja yang kebetulan jatuh cinta atau patah hati atau putus sekolah sehingga nulis puisi. Kalau boleh sedikit omong besar, dari dolan-dolan ke daerah itu saya bagaikan menjumpai “seribu Chairil” tetapi “tanpa seorang Yassin”pun. Tanah-tanah bersepuh emas bertebaran di mana-mana, namun tak ada “orang kota” yang turun buat menggalinya dan menggosoknya.
Lomba penulisan puisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menampung hampir 5.000 biji sajak. Lomba penulisan puisi populer di Surabaya mencatat hampir 3.000. Lomba-lomba lain diadakan ini-itu dan menjumpai kuantita yang tinggi. Lomba baca puisi pun diikuti ratusan remaja, ratusan anggota ABRI, ratusan Ibu-ibu, tanpa menghitung lomba-lomba 17-an di RK dan Sekolah.
Di antara mereka hanya satu-dua yang tersangkut di tong sejarah. Puisi-puisi ditulis, kemudian lenyap. Kumpulan diterbitkan, kemudian tertimbun oleh peristiwa-peristiwa. Sebab kita hanya butuh juara-juara. Kita hanya mau yang terbaik. Kita hanya menghitung nucleolus-nucleolus.
Sebab ‘kita’ yang punya sejarah. Dan ‘kita’ adalah bagan dari tata-tata nilai yang menyaring isi sejarah.
Sebenarnya kenapa sejarah musti kita saring?
Kita punya defence yang ‘mematikan’: “Kualitas mas, kualitas!….”
Berapa kg.bobot kualitas? Sebaiknya tanya sama Pak Eliot, Pak Mc Leish, Ganzheit, atau Pak Yassin? Atau kehidupan di kiri kanan ini punya juga jawabannya.
Sebenarnya, adakah urusan puisi ialah urusan puisi saja? Adakah urusan kesusastraan adalah urusan kesusastraan saja? Adakah urusan kesenian adalah urusan kesenian saja? Misalnya, apakah penyair itu mengurus puisi atau mengurus hidup. Penyair itu menulis puisi atau menulis hidup. Waduh… — baiklah. Itu hanya satu sampel kecil, untuk mengantarkan saya pada akhirnya nanti menyinggung perihal kritik-sakit puisi Indonesia. Mekanisme kritik yang tak sakit begitu pentingnya, tidak saja buat pertumbuhan puisi-puisi itu sendiri tetapi juga ketika kita menganggap bahwa masalah pengkomunikasian puisi kepada lingkungannya adalah problem penting kita juga.
Pertanyaan-pertanyaan di atas (menulis puisi atau menulis hidup, dan seterusnya) itu berasal dari perspektif yang sama dengan intro tulisan ini, yakni tentang dongeng puisi. Perspektif ini menentukan hasrat hidup/kultur atau bobot apa yang mendorong ‘perjuangan’ komunikasi puisi. Dan yang notabene kritik-puisi tak bisa mengabaikannya.
Komunikasi tulisan, Komunikasi lisan
Komunikasi puisi, untuk kerangka luas sosialisasi puisi, merupakan bagian yang amat penting dari “ideologi kesenian” kita. Ia menjadi lengkap yang termasuk pokok pada setiap pembicaraan tentang lahirnya karya puisi. Pertengahan 1970-an ‘issue’ pemasyarakatan puisi menggencar. Penyair Darmanto Jt. sampai meminjam slang Coca Cola ‘kapan saja dan di mana saja, puisi’, sambil bersikap bahwa komunikasi adalah tubuh puisi itu sendiri. Jadi bukan hanya ‘tujuan’ kedua sesudah lahirnya puisi.
Hasrat besar pemasyarakatan puisi ini antara lain juga tumbuh dari kenyataan bahwa puisi Indonesia, seperti juga seni moderen Indonesia, ‘merasa’ begitu terpencil. Sebagai ‘seni baru’ ia berada hanya/baru pada bagian tertentu saja dari struktur baru masyarakat Indonesia. Puisi Indonesia adalah anak-kota, meskipun desa mungkin menjadi salah satu akar silamnya. Melihat lanskap pertumbuhan puisi Indonesia di atas, sesungguhnya seberapa jauh keterpencilan puisi kita? Untuk konteksnya sebagai ‘seni baru’ di tengah ‘struktur baru’ masyarakat kita, seberapa jauh jangkauan puisi itu agar disebut ‘telah memasyarakat’?
Pertanyaan ini menjadi tidak sulit kita jawab apabila kita bersepakat bahwa puisi yang hendak dimasyarakatkan itu terutama ialah puisi yang telah disaring oleh tata nilai kesenian dalam kesejarahan moderen. Ialah puisi yang ‘diakui’ oleh tata nilai itu, yang belum tentu puisi dalam arti yang seluas-luasnya dan sehidup-hidupnya. Persoalannya kembali kepada pertanyaan balik: apa yang sebenarnya dimaksud dengan puisi? Sekedar sosok ‘sistem-ungkap’nya, atau juga setiap kualitasnya yang belum tentu punya wujud seperti ‘sistem-ungkap’ yang ‘diatur oleh tata nilai di atas?