Cannon dan Haji Tuyul:
Dialog di Surau Desa
Dibanding sekalian orang desa lainnya, keluarga saya termasuk yang paling tradisional. Terutama dalam ber-Idul Fitri. Sehabis sembahyang di lapangan sepak bola, memang seluruh desa sibuk dengan orang berseliweran untuk berhalal bihalal antarkeluarga dan famili, seperti yang telah berlangsung mungkin sejak berabad yang lalu. Tetapi yang berduyun-duyun itu sekarang relatif hanya para orang tua dan anak-anak kecil. Para anak muda, “young generation”-nya berkencan rekreasi ke bermacam-macam tempat. Tidak menyertai keluarganya.
Sedangkan keluarga saya, seluruh anggota “pasukan Bodrex”-nya ikut serta. Dari sejak usai salat Ied hingga sore hari berkeliling desa karena pada umumnya banyak yang masih tergolong famili. Bahkan, kini makin banyak yang mesti dikunjungi dibanding Hari Raya tahun-tahun lalu, sebab ada mertua-mertua baru dari sedulur-sedulur saya yang tempatnya di pojok-pojok. Betul-betul payah, kekenyangan, keringatan, dan merasa “paling ndeso”. Di rumah hanya tinggal Sang Nenek dengan seorang pembantu, karena beliau ini punya posisi untuk dikunjungi, bukan mengunjungi.
Hari Raya tetap merupakan kebudayaan yang “fantastis” dan menggetarkan. Menggerakkan berjuta hati, bagai bendungan besar yang diam, tapi tiba-tiba bergolak. Merupakan kesempatan “aneh” yang dianugerahkan oleh Tuhan. Indonesia seperti diaduk kereta penuh sesak di bus orang bergelantungan, colt melipatkan tarip dan tukang-tukang becak atau pemilik andong berhari raya dengan “pemerasan” yang dianggap sah oleh masyarakat. Toko-toko meng-“obral” harga atau memberi korting untuk harga yang sejak semula memang sudah dinaikkan.
Semua anggota “konsulat” desa saya menyempatkan diri mudik. Baik yang jualan martabak di Surabaya, yang jadi germo di Tandes maupun Solo, yang kerja di pabrik gelas, yang jadi calo-calo pelacuran yang mencari perawan-perawan di desa-desa, yang kerja bengkel di Balikpapan, yang mengguru klenik di Gunung Kawi, atau jadi anggota DPRD dan dosen universitas. Semuanya tumplek ke desa. Tak ada yang bisa menghalangi orang yang hendak saling bermaafan serta mohon ampun kepada Tuhan. Kawan saya di Yogya yang beragama Katolik bahkan juga mesti pulang unuk sungkem kepada keluarga. Kawan lain yang Islam abangan pun turut menyertai saya ke desa. Hari raya bagaikan milik semua manusia.
Ramai sepinya Hari Raya selalu bergelombang. Yang menentukan bisa faktor ekonomi, atau bisa juga situasi psikologis masyarakat yang berhubungan dengan momen keguyuban Idul Fitri selama momen-momen keguyuban lainnya. Tetapi, saya tak berhasil tahu persis kenapa Hari Raya saat ini kurang riuh, sementara lainnya dulu atau esok lebih meriah.
Melihat teman-teman segenerasi saya di desa yang agak kurang terlibat dalam napas keguyuban halal bihalal tradisional itu, memang ada terpikir oleh saya perihal kelestarian kebudayaan Hari Raya itu. Apakah bakal datang suatu masa di mana mereka mulai bersikap acuh terhadap tradisi itu.
Selama ini letak kekuatan Ramadan dan Hari Raya adalah pada intensitas kolektifnya. Hari Raya sebagai suatu kehangatan bersama, dengan format tradisinya yang khas kita. Bahwa Idul Fitri adalah suatu tonggak di mana setiap Muslim kembali jadi bayi; dan itu mesti diperjuangkan oleh masing-masing pribadi—masih belum merupakan tekanan yang sungguh-sungguh. Sebab itu, Idul Fitri belum lagi milik orang yang benar-benar kembali fitri, melainkan milik semua kaum Muslimin, siapa pun dan bagaimanapun kualitas kemuslimannya. Bahkan hampir setiap orang di sini terasa ikut memiliki Hari Raya.
Kalau rekan-rekan “generasi mutakhir” itu mulai memilih rekreasi ke kota daripada keliling halal bihalal di desa, maka kira-kira itu adalah gejala kecil dari pencairan tradisi kebudayaan Hari Raya kita, tetapi lebih nampak sebagai perubahan pola bangunan tradisinya. Dari keduanya, makin jelas tema Hari Raya sebagai suatu pesta.
Tetapi, ada satu hal yang pasti, yang mensifati manusianya. Mereka yang memilih rekreasi pasti memperoleh pengalaman lahir batin yang amat berbeda dengan mereka yang memilih pawai halal bihalal di desa. Memang agak kurang sedap mencium lutut atau punggung tangan kakek-nenek buat kita yang “modern” ini, tetapi satu semangat dikandungnya: ialah intensitas hubungan batin antarmanusia, antarkeluarga, bahkan tali ikatan antarwilayah generasi.
Tali ikatan kesejarahan, yang diungkapkan dengan suatu perlambang, sesuau dengan naluri manusia model kita. Dilangsungkan dengan seting religius-kultural sebuah momen Hari Raya. Bahwa dalam kesemuanya itu terkandung stratifikasi feodal kefamilian, tentu saja benar. Tetapi, setiap masyarakat memiliki garis batas untuk merobek tabir nalurinya sendiri. Bahwa untuk tingkat tertentu kita tetap berada dalam struktur susila kemasyarakatan yang masih feodalistis, ini tidak hanya menunjukkan arti keterbelengguan kita, tetapi juga mengekspresikan kenyataan bahwa kita tidak sepenuhnya bisa menjadi orang lain.