Cak Nun, Metafora Indonesia, dan Metaverse Maiyah
Tahun 2018, ketika untuk pertamakalinya saya mendapatkan kehormatan duduk di panggung Mocopat Syafaat, saya bertanya sekaligus menemukan fakta menarik. Kira-kira ada berapa banyak forum publik di Indonesia yang menyebut nama Indonesia, sebanyak yang disebutkan di forum Maiyah? Jawabannya mungkin ada banyak forum!
Namun, jika nama Indonesia disebut sekaligus membahasnya dari segala dimensinya, menyanyikannya, mengaransemennya, mem-puisi-kannya, men-teatrikalisasinya, mengkritiknya, menertawakannya, merenungkannya, mengasihaninya, menuliskannya, mencintainya, mendoakannya, dan mewiridkannya, tanpa ada satu Rupiah pun dari APBN dan APBD apalagi AD/ART yang sengaja di-proposalkan untuk menyokongnya, jawabannya mungkin sedikit!
Bahkan yang di dalamnya, nama Indonesia itu selalu disebut bersama nama Tuhan (Allah) dan kekasih-Nya (Muhammad). Setiap malam! Paling tidak dari ba’da Isya hingga menjelang fajar, jawabannya mungkin sangat sedikit lagi!
Bagaimana mungkin bisa setiap malam?
Pertanyaan ini harus dijawab para sarjana yang tertarik meneliti ada berapa simpul dan lingkar Maiyah se-Nusantara dan di luar negeri? Ada berapa kali forum dengan model seperti sinau bareng dan turunanya? Seberapa sering para pegiatnya melingkar dan melakukan hal-hal serupa Mocopat Syafaat dan sejenisnya? Dan berapa banyak video, audio, tulisan, reportase, dan dokumentasi kegiatan Maiyah di dunia maya diakses oleh netizen di malam hari ketika pikiran mereka penat dan hati mereka kalut menjadi manusia Indonesia?
Indonesia adalah sebuah metafora, a thing regarded as representative or symbolic of something else. Lalu, ‘something else’-nya itu sebenarnya siapa, apa, mengapa, darimana, dan mau kemana?
Para cerdik pandai yang merunutnya sampai abad ke-18 hanya menemukan catatan, dongeng, dan fakta lucu. Bentangan kepulauan bertanah subur dan kaya mineral yang oleh VOC dinamakan Nederlandsch-Indië atau Oost-Indië atau Hindia Belanda itu diubah namanya tanpa slametan dan ubo rampe-nya oleh George Samuel Windsor Earl, seorang etnolog asal Inggris, menjadi Indu-nesian. Karena mungkin susah diucapkan, murid Mister Earl yang bernama James Richardson Logan, seorang pengacara sekaligus pelancong asal Skotlandia menggantinya menjadi Indonesia. Lagi-lagi tanpa bancakan atau ritual apapun!
Seabad lamanya, anak jadah bernama Indonesia itu memang diasuh dan dididik di kampung halamannya sendiri. Tetapi oleh orang asing, bahkan bukan oleh orang yang memberinya nama. Hingga tiba-tiba, di tahun 1945, sekelompok orang yang mengaku sebagai orang tuanya, merebut si anak dari orang asing itu dan mengadopsinya. Dan ternyata mereka lupa, mengganti nama si anak, apalagi me-ruwat-nya. Mungkin karena ongkosnya terlalu mahal, dan harus memilih dampak logisnya, antara ‘persatuan’ dan ‘persatean’.
Hingga hari ini, ketika si anak sudah tua renta, beranak-pinak dan bercucu banyak, metafora Indonesia bermetamorfosis menjadi banyak rupa. Mayoritas berebut harta, tahta, dan tentunya surat kuasa dari Mbah-nya. Sedikit sekali dari mereka, yang tetap setia menemani, menjaga, dan melantunkannya doa-doa. Tanpa sebuah embel-embel ‘aku dapat apa?’, ‘konsesiku berapa?’, ‘jatah sahamku dimana saja?’ ‘anak-istri dan saudara-saudaraku bagaimana?’, dan seterusnya!
Itu wajar, karena memang imajinasi nasionalismenya adalah residual memori dan pendaran energi dari negerinya si pemberi nama Indonesia. Nasionalisme kaum elit yang patriotismenya menguasai, grammar-nya kolonisasi, dan praktik penghidupannya ribawi. Yang tujuan planet jajahan selanjutnya adalah Mars dan entah dimana lagi. Yang
Dari sana mungkin kita diajak serius mentadabburi. Terutama tentang metafora pengganti yang Cak Nun tawarkan jauh sebelum reformasi. Bahwa Indonesia hanya bagian Kecil dari Desa Saya. Karena memang hanya di desa tradisi ruwatan bersama-sama itu ada dan diakui. Yang patokan utamanya adalah Nasionalisme Muhammad. Nasionalisme membersamai wong cilik yang berkumpul rutin ala Maiyah dimana-mana, tanpa urusan jual-beli suara dan untung-rugi. Yang tujuan nasionalnya tak perlu muluk-muluk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Tetapi sekedar menumbuhkan kembali kesadaran untuk bersedekah kepada Indonesia.
Semoga segera pulih dan bugar kembali Cak Nun. Dikaruniakan Kesehatan dan umur panjang untuk terus bersedekah menemani Anak Asuh bernama Indonesia. Mengkreatifi dunia metaverse bersama Mas Sabrang yang hanya bentuk lain dari dunia metafisika masa lalu yang engkau dekonstruksi. Menemukan ‘something else’ dari metafora Indonesia yang belum tergali. Yang sayangnya hari ini, bangsa dan negaranya berada di Titik Nadir Demokrasi, dan rakyatnya masih saja menjadi Gelandangan di Kampung Sendiri.
Amsterdam 14 Juli 2023