Bukan Tukang Menghukum Tapi Membijaksanai
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Bahkan mungkin di antara kita ada yang mengejar Allah: “Dari mana asal-usul idenya kok Allah melakukan dialog itu? Apakah si Janin tidak berdaulat atas dirinya sendiri dan menggunakan free-will? Apakah Allah tidak mengenal demokrasi? Apakah Allah itu Maha Diktator?”
Kemudian semua manusia menjalani hidupnya di dunia dengan sikap bermacam-macam. Ada yang sok pinter, sok berdaulat, dan sok mandiri. Pokoknya hidup dan berjuang di dunia, tidak perlu tahu atau mempertimbangkan akhirat. Ada yang cuek dan tidak peduli-peduli amat pada asal-usul maupun ujung kehidupannya. Ada yang menghayati dengan berakhir sedih dan merasa sengsara. Yang lain menyelaminya dengan menemukan kerendahan hati, sangka baik, patuh, pasrah dan bahagia. Para janin kemudian menjadi bayi, bertumbuh menjadi balita, remaja, dewasa, dan tua.
Sementara itu Allah sendiri tak pernah berhenti menyebarkan rahmat, melimpahkan petunjuk demi petunjuk tanpa bisa dimatematikakan oleh manusia sampai yang paling pandai dan hebat pun.
وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
Masalahnya kebanyakan manusia tampaknya memang tidak berminat dan tidak saling memberikan dorongan atau rangsangan untuk menghitung nikmat dan rahmat yang dianugerahkan oleh Allah. Tidak ada pemimpin dunia, kepala Negara atau Kabinet Pemerintahan yang merasa perlu untuk mengatmosferi tugas-tugas dan kegiatan mereka dengan menghitung nikmat Allah. Salah satu argumentasinya adalah karena bersyukur itu domain Agama, sedangkan mereka politisi, bukan Agamawan.
Ternyata muatan ayat berikut ini mengandung nilai yang terlalu muluk dan tinggi untuk para pemimpin ummat manusia:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۖ
وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Bertasbih kepada Allah semua apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr: 1)
Perhatikan logika dari urutan kalimat ayat itu. Allah yang menciptakan segala sesuatu, kemudian segala sesuatu bertasbih kepada-Nya. Jelas Allah Maha Perkasa, tapi anehnya kok bijaksana.
Kalau kita kuat dan perkasa, kecenderungannya adalah mentang-mentang, “adigang adigung adiguna”. Kalau kita dihormati, diabdi atau apalagi disembah-sembah seolah-olah kita ini Tuhan, biasanya kita malah menikmatinya dengan rasa bangga dan “mungguh”.
Kenyataannya sampai di kurun milenial ini kita tidak dahsyat tidak perkasa, tidak benar-benar kuat atas ruang dan waktu, bahkan tidak pinter, tidak ilmiah, tidak akademis dan tidak logis — tetapi juga malah tidak bijaksana.
Kebijaksanaan, kearifan, wisdom, adalah barang terlalu mewah dalam kehidupan dunia sekarang ini. Kalau kita perkasa kita mentang-mentang, secara eksplisit atau tersembunyi. Kalau kita kuat maka kita berkuasa.
Allah “al’aziz al-hakim”, maha perkasa dan (tapi) maha bijaksana. Kita menerjemahkan “al-Hakim” adalah orang berkuasa yang memvoniskan hukuman. Kita di Maiyah memahami dan memaknai “al-Hakim” adalah pihak yang membijaksanai manusia dan keadaan.
Hakim memimpin proses peradilan kasus-kasus bukan terutama berbekal pasal-pasal hukum, apalagi dengan rasa puas menghukum. Bekal mendasarnya adalah kebijaksanaan dan rasa keadilan.
Proses hukum adalah panggilan dan tindakan untuk menghijrahkan manusia dari kebatilan menuju kebenaran. Maka pedomannya adalah:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ
وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ
بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan kebijaksanaan dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
Tapi nggak apa. Toh Allah “yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Mungkin yang dimaksud ya kita-kita ini.
Emha Ainun Nadjib
16 Juni 2023.