Budaya Superfisial
Salah satu jenis watak budaya masyarakat kita dewasa ini bisa kita jumpai melalui term budaya superfisial. Yakni suatu kecenderungan perilaku yang sangat memperhatikan faktor “luaran”, “dangkal”, atau “permukaan”. Maka disebut juga “budaya eksoterik” atau “budaya superfisial”, bergantung pada titik berat gejala dan kasusnya.
Contohnya bisa kita ambil dari gejala “ringan” seperti cara berpakaian atau musik pop, hingga gejala “berat” seperti dunia pendidikan, politik, maupun “wajah” kehidupan beragama.Sejak zaman Majapahit sampai sinetron TV modern, selalu kita ungkapkan
“Kecantikan batin lebih penting dibanding kecantikan wajah”. Dengan kata lain, keindahan esoterik lebih unggul dibanding keindahan eksoterik. Padahal kebanyakan gagasan kebudayaan serta teknokrasi hidup kita cenderung melakukan yang sebaliknya. Tak akan kita pilih wajah wanita tidak ayu menjadi kover majalah religius. Tak akan kita sibuk mencari “wanita ayu batin”, karena lebih percaya kepada wanita ayu wajah, tak peduli apakah ia seorang call girl, asalkan foto kover itu ia dandani dengan jilbab.
Mode-mode pakaian wanita tidak dimaksudkan untuk menutupi tubuh, melainkan justru untuk menonjolkannya. Maka pakaian lebih berfungsi sebagai “penegasan penelanjangan” dan melawan hakikat pakaian itu sendiri. Pengertian “aurat” tak hanya pada kulit dan warna, tapi juga terutama bentuk dan garis tubuh. Pakaian wanita banyak yang justru menegaskan garis dan bentuk tubuh tersebut.
Sembilan puluh persen barang-barang yang dijual di toko-toko adalah alat-alat budaya yang dimaksudkan memperindah dandanan luar. Tak hanya pakaian, tapi juga gejala peralatan mejeng, rumah tangga mentereng, gengsi, pamer kelas, hedonisme, dan sebagainya. Ideologi industrialisme modern memang tidak menjual sesuatu yang “lucu” seperti kualitas kemanusiaan, kemuliaan, atau kearifan, melainkan menjajakan prejengan-prejengan luar yang dangkal.
Sering kali kita beli motor, mobil, komputer, atau alat-alat modern lain, tidak berfungsi untuk menunjang kehidupan, melainkan untuk make up penampilan budaya kita. Ketika seseorang mendirikan rumah yang amat besar dan mewah seperti istana pangeran, dalam beberapa hal ia antimodernitas. Pertama, rumah itu terlalu kecil bagi “selera”-nya, tapi terlalu besar bagi hakikat keperluannya. Kedua, tidak hemat, tidak efisien, superfisial, dan artifisial. Setiap yang berlebih-lebihan itu tidak modern, karena tidak objektif terhadap realitas kemanusiaan. Setiap yang dicari-cari itu takhayul dan bodoh, karena tidak bersikap ilmiah terhadap kenyataan. Seorang dosen yang turun dari mobil dan menyuruh sopirnya membawakan tas kecilnya telah bersikap tidak ilmiah terhadap kemampuannya. Padahal makin meningkat kelas sosial manusia “modern”, ia makin tak bisa membawa tas sendiri, tak bisa membuka pintu di hotel, tak bisa menalikan tali sepatunya, tak bisa menyikat giginya, dan kelak tak bisa cebok sendiri waktu buang air besar.
Perkembangan musik atau kesenian pada umumnya sangat mencerminkan kecenderungan budaya superfisial. Syair-syair lagu di TV sangat menghina ideologi pencerdasan bangsa dan membokongi meningkatnya jumlah sekolah dan universitas serta makin membludaknya penerbitan buku-buku dan media massa.
Sementara sekolah-sekolah dan universitas-universitas juga tidak mengurikulumkan relung esoterik dunia kemanusiaan seperti kebaikan, keluhuran, cinta sosial; melainkan sekadar mengajarkan keterampilan untuk egois dalam menyerap segala sumber daya sejarah untuk karier diri mereka sendiri.
Kita juga makin gegap-gempita membangun kota-kota kecantikan wajah, dan memang terasa lucu untuk membangun kota keindahan batin. Keseluruhan strategi kebudayaan kita maupun kebudayaan politik kita juga bertitik berat pada perjuangan pemilikan, kekuasaan, serta penumpukan hal-hal betapa dahsyat dan mengerikannya ceausescu syndrome.
Untuk itu telah berlangsung arus balik yang ternyata superfisial. Misalnya, gairah keagamaan yang sibuk menonjolkan bahkan memaksa-maksakan segi syariat belaka, komunitas jilbab yang malah menjadi eksklusif dan puritanistik, gejala neokonservatisme keagamaan, hingga bagaimana seorang pelawak atau seorang wanita yang “cantik dan ngetop” dipilih untuk menjadi mubalig daripada wanita-wanita lain yang sebenarnya lebih berkualifikasi untuk konteks tablig. Kita sibuk dan terpukau oleh permunculan yang eksoterik dan superfisial.
Tetapi, kita memang digiring ke arah itu oleh “konglomerat penentu sejarah”, dan kita memang mau dan senang. Bahkan prakiraan cuaca pun sekarang berlaku berdasarkan petunjuk “bapak”. Maksud saya, mekanisme cuaca dipengaruhi oleh perubahan ekosistem, dan ekosistem dipengaruhi oleh budaya pembangunan, pabrik kimia, polusi, pengancam ozon, dan seterusnya. Dan pembangunan itu berjalan atas petunjuk “bapak”.
Ya…. Jadi terserah ente mau bagaimana?