Bolehkah Allah Ingkar Janji?
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah:1-7)
Allah sudah menyatakan “shadaqa wa’dah”, Allah bersungguh-sungguh dengan janji-Nya. “Innallaha la yukhliful mi’ad”. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah ingkar janji. Maka bolehkah Allah mengingkari janji?
Lho. Emang siapa yang berhak, berdaulat, sanggup atau mampu membolehkan atau melarang Allah melakukan apa saja? Siapa yang punya posisi untuk memungkinkannya mewajibkan Allah berbuat baik dan mengharamkan-Nya berbuat buruk? Siapa yang layak, pantas, relevan, dan proporsional untuk menyuruh atau melarang Allah berbuat benar atau salah, baik atau buruk, mulia atau hina serta apapun?
Tidak ada. Qiyamuhu binafsihi. Allah Maha Mandiri. Allah Maha Tidak terikat oleh apapun atau siapapun. Allah Maha Independen. “Innallaha ‘ala kulli syai`in Qadir”. Allah berdaulat atas apa saja.
Allah berhak kejam, tapi faktanya Ia Maha Santun dan Maha Bijaksana. Allah tidak terikat oleh siapapun untuk berbuat adil. Tetapi mutlak Allah itu Maha Adil. Allah berhak berbuat buruk seburuk-buruknya. Tetapi faktanya ia Maha Baik, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Tapi kenapa sering ada keadaan yang menyebabkan kita merasa doa-doa kita tidak didengarkan, apalagi dikabulkan, oleh Allah? Kenapa kita sering mengalami perasaan seolah-olah Allah tidak adil, tidak maha pengasih maha penyayang. Kenapa bahkan terkadang kita merasa malah mengadzab yang selama ini berikhtiar maksimal untuk bertaqwa, bertawakkal dan ber-istighatsah kepada-Nya?
وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِا للّٰهِ
فَاِ ذَاۤ اُوْذِيَ فِى اللّٰهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّا سِ كَعَذَا بِ اللّٰهِ ۗ
وَلَئِنْ جَآءَ نَـصْرٌ مِّنْ رَّبِّكَ لَيَـقُوْلُنَّ اِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ ۗ
اَوَلَـيْسَ اللّٰهُ بِاَ عْلَمَ بِمَا فِيْ صُدُوْرِ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah,’ tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kamu.’ Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam dada semua manusia?” (QS. Al-‘Ankabut 29:10)
Sampai-sampai Allah mengungkapkan kepekaan-Nya terhadap perasaan-perasaan subyektif kita seperti itu.
Juga jangan lupa siapa tahu mungkin semua ikhtiar yang sudah kita lakukan itu — misalnya — belum memenuhi syarat taqwa. Kualitasnya, kekhusyukannya, kelengkapannya, akurasinya.
Juga mungkin bukannya “tidak dikabulkan”. Siapa tahu itu “belum” saja. Atau mungkin sudah dikabulkan, tapi fakta kabulnya yang kita belum paham, juga belum tahu di mana dan kapan. Pengetahuan kita tentang apa yang berlangsung dalam kehidupan lebih kecil dibanding sebutir pasir di padang sahara, meskipun andaikan kita Ulama besar atau cendekiawan kuadrat.
Jangankan infinitas mosaik realitas kehidupan. Sedangkan jumlah helai rambut di kepala kita saja kita tidak tahu. Apalagi bulu-bulu seluruh tubuh kita. Kalau turun hujan, kita tidak bisa menghitung berapa jumlah curahannya. Dan pada satu curahan, terkandung berapa tetes air. Lebih bodoh kita hampir tidak mungkin tahu mana titik hujan yang disuruh Allah mengantarkan berkah ke kita, berapa yang peringatan atau ancaman. Tetes air mana yang merupakan sumber ilmu, pengetahuan tentang diri kita sendiri saja, atau jangankan lagi pengetahuan tentang tak terbatasnya segala hal dalam kehidupan.
Maka kita tambahi ikhtiar kita dengan mewiridkan “’Allamal insana ma lam ya’lam”. Allah mengajarkan hal-hal yang manusia belum tahu. Di Maiyah ada wirid “Ya Allah ‘allimna ma jahilna”. Wahai Tuhan ajarkan kepada kami hal-hal yang kami bodoh atasnya.
Emha Ainun Nadjib
6 Mei 2023.