Berlaksa Cahaya di Kenduri Cinta
Habib Anis juga mengamini apa yang disampaikan oleh Ali Hasbullah ini. Ada satu tulisan Mbah Nun yang berjudul Hutang-Hutang Kebudayaan. Sebuah tulisan ilmiah yang ditulis oleh Mbah Nun di tahun 1978, dan dipublikasikan di Majalah Pustaka, Perpustakaan Masjid Salman ITB. Sebuah tulisan yang mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh senior saat itu, seperti Pak Umar Kayam salah satunya.
Bagi Habib Anis, Mbah Nun adalah manusia yang memiliki sebuah privilege yang diberi oleh Allah, sebuah kelebihan dalam diri Mbah Nun yang mampu menyambungkan resonansi dari berbagai generasi.
Mas Sabrang kemudian menambah khasanah ilmu yang dibahas malam itu. ”Simbah itu selalu mengajarkan kita untuk menunjuk diri kita terlebih dahulu, bukan menunjuk orang lain”, ungkap Mas Sabrang. Ketika arus zaman membiasakan orang untuk menunjuk orang lain, Mbah Nun justru sebaliknya. Misalnya, dalam satu edisi Maiyahan, saat ada pembahasan mengenai muslim-kafir, Mbah Nun mengajak kita untuk berani mengatakan bahwa yang kafir adalah diri kita sendiri, bukan orang lain yang kita tuduh tanpa alasan yang mendasar.
Tentu saja ini bukan dalam rangka mengajak kita untuk kemudian mengumumkan di depan umum bahwa diri kita adalah kafir. Bukan itu. Tetapi, yang ditumbuhkan oleh Mbah Nun adalah kesadaran bahwa seharusnya yang harus diwaspadai adalah diri kita sendiri. Jangan-jangan justru kita ini adalah pihak yang salah, bukan pihak yang benar. Yang kita alami hari ini adalah, banyak orang merasa bahwa dirinya paling benar, kemudian memaksakan kebenaran yang kita yakini kepada orang lain.
Ditambahkan oleh Mas Sabrang bahwa di dalam Al-Qur`an ada surat Al-Furqon yang salah satu kandungannya adalah membincangkan panduan untuk kita berbicara mengenai benar dan salah berdasarkan kriteria Islam.
Mas Sabrang menganalogikan dengan buah mangga yang dikupas menggunakan gergaji dan pisau. Cara mengupasnya berbeda, tetapi sama sekali tidak menghilangkan hakikat sebuah mangga. Bahkan, jika dikupas langsung dengan gigi kita sekalipun, ia tetaplah mangga. Ia tidak berubah menjadi pisang, jeruk atau apel. Ia tetap mangga. Menggunakan gergaji atau pisau, mana yang lebih benar menjelaskan tentang mangga? Itu hanya cara yang berbeda untuk mengupas kebenaran mangga itu sendiri. ”Dunia itu butuh difahami dengan pisau analisa tertentu”, lanjut Mas Sabrang.
Sains, tidak mungkin lengkap menangkap dunia. Itu adalah sebuah konsekuensi yang harus kita fahami bersama. Karena salah satu syarat dari narasi sains adalah bahwa teorinya harus bisa disalahkan. ”Jangan rancu antara kebenaran dengan konstruksi dari narasi ilmu. Jadi semua yang kita dengar dari keilmuan itu tidak ada satupun ngomong tentang kebenaran. Semua hanya ngomong mengenai narasi kebenaran dari potret tertentu, dan itu tetap berharga. Karena manusia jika menemukan narasi yang bermacam-macam, maka ia juga akan menemukan kebenaran dari sesuatu hal yang sedang diamati”, Mas Sabrang menjelaskan.
Sementara hari ini, antara sains dana gama selalu dipertentangkan. Seperti sebuah pertanyaan yang muncul; ”Coba buktikan adanya Tuhan secara sains?”. Bagi Mas Sabrang pertanyaan itu adalah pertanyaan yang goblok. Karena hipotesis mengenai Tuhan tidak pernah dibuktikan oleh sains. Lantas kenapa sains harus membuktikan keberadaan Tuhan?
“Al-Qur`an mengantisipasi kemungkinan otak manusia untuk mencapai kebenaran”, Mas Sabrang melanjutkan. Dalam surat Al-Isra’ ayat 36 Allah menegaskan; Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Maka tugas manusia adalah mencari tahu detail mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui itu. Ada fungsi otak untuk meneliti, sehingga kebenaran yang dicari akan ditemukan. Kebenaran itu sangat mungkin akan bertumbuh dan bisa juga kebenaran hari ini akan digantikan oleh kebenaran di kemudian hari. Maka menurut Mas Sabrang, nomor satu yang harus diawasi adalah kebodohan diri kita sendiri.
Diskusi yang semakin hangat, dengan bahasan semakin berat memerlukan jeda sejenak. Letto kemudian membawakan dua nomor lain; Ruang Rindu dan Layang-Layang.
Banyak sekali ilmu yang berpendar di Kenduri Cinta edisi Agustus ini. Tentu akan sangat melelahkan untuk dibaca jika ditulis dalam satu edisi. Reportase ini masih akan berlanjut pada edisi berikutnya.