CakNun.com

Berlaksa Cahaya di Kenduri Cinta

Catatan Kenduri Cinta edisi Agustus 2023
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 7 menit
Rony K. Pratama, Kenduri Cinta edisi Agustus 2023 (Dok. Kenduri Cinta)

“Ada yang tidak bisa dibayar dengan uang, yaitu kemesraan yang tulus dari kesungguhan dan kebersaman kita malam ini”, Mas Sabrang menyapa jamaah Kenduri Cinta sebelum membawakan 2 nomor pertama. Turn over kehadiran jamaah di Kenduri Cinta dan juga forum Maiyahan lainnya juga menjadi perhatian tersendiri bagi Mas Sabrang. Mayoritas yang hadir di Maiyahan saat ini adalah generasi-generasi muda, yang kemudian kita sering menyebutnya sebagai bonus demografi. Generasi yang secara usia lebih muda, secara pemikiran lebih segar, dan yang sangat terbiasa dengan perkembangan-perkembangan terkini.

Setelah 2 nomor lagu dibawakan, Fahmi Agustian mengajak Mas Ali Hasbullah, Habib Anis dan Rony K. Pratama untuk bergabung ke panggung Kenduri Cinta. Fahmi memberi lambaran mengenai tema “Berlaksa Cahaya”, yang kemudian sedikit mundur ke belakang dari tonggak awal perjalanan Maiyah, Fahmi mengambil satu episode perjalanan Mbah Nun; “Lautan Jilbab” yang juga merupakan fenomena tersendiri di akhri 80-an. Hadirnya Ronny malam itu tentu juga dalam rangka untuk semakin memperkuat khasanah ilmu Maiyah. Rony sendiri beberapa tahun yang lalu cukup aktif menulis rubrik Akademika di caknun.com dan beberapa diantaranya mengulas mengenai fenomena “Lautan Jilbab”.

Yang menarik adalah bahwa “Lautan Jilbab” dipotret sebagai salah satu gerakan politik identitas. Sebuah istilah yang dalam beberapa tahun terakhir justru terkesan sebagai istilah yang memiliki konotasi negatif. Sepertinya ada narasi yang salah yang digunakan untuk mengangkat kembali istilah politik identitas itu.

Pada tulisannya yang berjudul Lautan Jilbab dan Politik Identitas, Rony mengulas riset yang dilakukan oleh Barbara Hatley menyoroti kemunculan “Lautan Jilbab” sebagai format teaterikal untuk medium pertunjukan dalam rangka mengangkat nilai-nilai Islam. Dalam penelitiannya, Barbara menulis bahwa sebenarnya kemunculan Teater Muslim di Yogyakarta sudah ada sejak tahun 60-an, hanya saja saat itu lebih diproyeksikan sebagai bentuk perlawanan terhadap komunitas teater yang berhaluan kiri. Sementara “Lautan Jilbab” yang dipentaskan oleh Mbah Nun bersama Sanggar Salahuddin saat itu hadir di akhir 80-an bukan dengan alasan itu. Namun benar-benar sebagai bentuk perlawanan rakyat kepada penguasa yang sangat otoriter saat itu.

Lebih jauh Rony menyampaikan bahwa Mbah Nun adalah manusia yang memiliki kemampuan interdisipliner. Karya-karya Mbah Nun tidak semata-mata berfokus pada satu bidang keilmuan saja. Rony mengamati di Google Scholar, ada cukup banyak hasil karya riset dari kaum intelektual yang meneliti tentang kiprah Mbah Nun. Dan tidak terfokus pada karya sastra saja, namun juga meliputi banyak sudut pandang. Termasuk gerakan sosial yang salah satunya direpresentasikan melalui ”Lautan Jilbab”. Bahkan bukan hanya gerakan sosial semata, tetapi juga sebagai gerakan politik identitas.

”Ada kesadaran budaya dan kesadaran kritis dalam Lautan Jilbab”, ungkap Rony. Hal ini sangat berbeda dengan istilah politik identitas saat ini. Di lain pihak, jika kita melihat peristiwa di tahun 80-an itu, yang terjadi adalah pelarangan perempuan muslim untuk mengenakan jilbab. Sementara beberapa tahun terakhir ada fakta lain di lapangan yang terjadi, bukan melarang perempuan muslim mengenakan jilbab di sekolah, namun justru sebaliknya, yang terjadi sekarang adalah memaksa perempuan muslim untuk berjilbab.

Fahmi menambahkan bahwa yang diperjuangkan oleh Mbah Nun melalui ”Lautan Jilbab” bukan semata-mata mengenai jilbab itu sendiri. Melainkan, Mbah Nun memperjuangkan kemerdekaan setiap manusia untuk memilih sesuatu yang memang ingin ia kenakan.

Ali Hasbullah juga turut menambahkan mengenai apa yang dilakukan oleh Mbah Nun selama ini. Dalam sudut pandangnya, Ali berpendapat bahwa setidaknya Mbah Nun memiliki 2 hal utama yang menjadi core value beliau; Pertama, Mbah Nun sangat menguasai situasi forum saat hadir di sebuah majelis. Kedua, Mbah Nun itu melakukan apa yang beliau katakan di forum. 2 hal ini menjadi titik berat mengapa Maiyah mampu bertahan sampai hari ini. Ada nilai sitiqomah dalam perjalanan Maiyah ini.

Hal lain yang disoroti oleh Ali Hasbullah adalah produktifitas Mbah Nun dalam menulis. Banyak hal yang ditulis oleh Mbah Nun, sejak beliau masih muda, dan tulisan-tulisan itu masih relevan sampai hari ini. ”Sementara kita hari ini lebih sering mengoleksi quote-quote di media sosial, yang belum tentu kita melakukannya”, tandas Ali.

Lainnya

Exit mobile version