Ber-Laqad Jaa-Akum… Di Mana Saja
Sabtu 22/7, bangun terlambat, cek Whatsapp dan Line — notif bermunculan. Setiap waktu terutama pagi hari, saya harus menyempatkan merespons para sahabat yang menanyakan kondisi Mbah Nun.
Karena beliau ini multi plus pergaulannya, jadi ya bermacan-macam bentuk pertanyaaannya. “Kabar Pakde bagaimana Mas? Sampaikan Pakde ya Mas. Segera sehat. Dan kembali aktif. Saya keponakannya dari Mataram. Dan Pakde Nun itu paman saya yang dari Mojopahit.”
“Salam cah bagus. Gimana update perkembangan keadaan sahabatku?” WA rutin dari Australia.
“Ngapunten. Kiai menanyakan kembali bagaimana perkembangan keadaan ust Emha sekrang mas?” Ini pertanyaan khas Gontor.
Saya respons secara umum saja. Beliau OK. Semua stabil. Kondusif. Masih tetap dalam pantauan tim dokter secara intensif selama recovery ini.
Setiap malam di Kadipiro ada ritual Tawashshulan. Mengemis kepada Allah. Berasyik-asyik dan jejeg dengan melantunkan Laqad jaa-akum Rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bil-mu`miniina ra’uufur-rahiim. Fa-in tawallaw faqul hasbiyallaahu laa ilaaha illaa Huwa ‘alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Adhiim.
“Dilafadhkan berapa kali Mas?” Salah satu jamaah setia dan sungguh-sungguh menanyakan. “Ideal 41x. Tapi kalau sanggupnya 3x ya tidak masalah. Sekuat Anda. Yang penting tenanan.”
Malam ini teman-teman Jamaah Maiyah Mocopat yang akan memimpin Tawashshulan di Rumah Maiyah Kadipiro. Teman-teman KiaiKanjeng harus bergeser ke Bancak Salatiga. Memenuhi panggilan masyarakat di sana. Kami bukan yang terbaik, tapi teman-teman KiaiKanjeng harus terus berjalan dan bergerak: Bershalawat dari segala penjuru. Bukan hanya buat kesembuhan Mbah Nun. Tapi untuk kita juga. Untuk hati masyarakat. Untuk keseimbangan alam semesta.
Allah saja bershalawat kepada Kanjeng Nabi. Mosok kita gak. Innallaha wa malaikatahu yushalluna alannabiyyi yaa ayyuhalladzina aamanu shallu alaihi wa sallimu taslima.