Belajar Hidup Secara Al-Fatihah
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Kita orang-orang Maiyah, kumpulan atau jaringan atau lingkaran-lingkaran “Sinau Bareng” manusia-manusia “Al-Mutahabbina Fillah” di 73 wilayah Nusantara dan sejumlah titik lain di hamparan dunia dari Korea hingga Hongkong, Jerman dan Belanda sama sekali tidak diketahui oleh penduduk dunia. Tidak dianggap apa-apa atau siapa-siapa oleh ummat manusia, bahkan oleh bangsanya sendiri.
Kita tidak dicatat oleh sejarah. Kita tidak populer. Kita tidak viral. Bahkan sangat sering disalahpahami, diejek, diremehkan, dinista, dan dihina. Kita tidak menangis karena itu dan tidak meringkuk dalam derita oleh itu. Alhamdulillah kita berbahagia, setiap perjumpaan Maiyah kita berbahagia, lebih dari sekadar bergembira.
Kita menikmati “shirathalladzina an’amta ‘alaihim”, dengan kesadaran bahwa bukan kita tahu dan mengerti itu. Tetapi kita berniat ikhlas dan menjaga ketulusan untuk selalu ber-’husnudzdzan” kepada Allah dan meyakini “an’amta ‘alaihim”.
Kita menempuh perjalanan dan perjuangan menuju ridla Allah ini dengan dan secara Al-Fatihah. Kita tidak punya perangkat untuk mengklaim bahwa jalan kita sudah benar di “shirathalladzina an’amta ‘alaihim”. Kita hanya bisa meneguhkan kesadaran diri, menikmati titah-titah dari Allah, serta siap siaga kapan saja ditegur oleh Allah, diuji, dikasih cobaan, diingatkan, dituntun, dibenahi, bahkan mungkin dihukum oleh Allah Swt.
Kita hidup secara Al-Fatihah. Kita bertaqwa dan berjuang secara Al-Fatihah. Kita tidak sanggup melangkahkan kaki dalam jalanan sejarah kalau tidak dengan pijakan “Bismillahirrahmanirrahim”. Kita merasa gerah dan kosong kalau tidak kreatif menemukan dan menghayati pengalaman-pengalaman yang membuat kita mengucapkan dan menikmati “Alhamdu lillahi Rabbil’alamin”. Kita merasa bebal, dungu, tidak peka dan tidak kreatif kalau di tengah jalan tidak menjumpai sesuatu yang membuat kita Kembali meneguhkan “Arrahmanirrahim”.
Kita merasa gelap dalam kecongkakan ilmu dan keangkuhan intelektual kalau tatkala mendiskusikan manusia, masyarakat, ummat, Negara, dunia dan segala kasus globalisasi, tidak menarik garis kembali ke hulu segala hulu kejadian kehidupan “Maliki yaumiddin”.
Dan kita tidak mampu merasa tepat arah perjalanan kita tanpa meneguhkan kembali ideologi paling akar dari kehidupan, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Maka dengan segala hal yang kita alami, segala suka duka yang menimpa, segala jenis dan mozaik kejadian di sekitar perjalanan sejarah kita, kita merasa tidak aman kalau tidak meneguhkan posisi “Ihdinashshirathal mustaqim”.
Peradaban dunia sudah sampai di puncak kecanggihan, dipimpin oleh gelombang Industri 4.0.
Industri 4.0 menghasilkan semakin banyak “pabrik cerdas”. Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat. Lewat Internet untuk segala (IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama dengan satu sama lain dan manusia secara bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan internal dan lintas organisasi disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai.
Sebagaimana revolusi terdahulu, Industri 4.0 berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Eksplorasi ilmu dan aplikasi pengetahuan sudah merambahi segala macam probabiltas hidup semua manusia. Dunia sudah dipenuhi olah orang-orang dan mesin-mesin pandai, orang-orang dan mesin-mesin hebat, pakar-pakar orisinal atau artifisial, ekspert-ekspert beserta “muqallidin”nya, ahli-ahli yang semakin “ngedap-edapi”, lengkap dengan institusi yang mengeksistensikan stakeholders peradaban super hebat itu.
Dan kita yang tergolong awam di tengah itu semua, mengambil keputusan untuk tahu diri. Kita tidak pernah absen memposisikan diri untuk ndlosor kepada Allah dan mengemis-ngemis; “Ihdinas shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim. Ghairil maghdlubi ‘alaihim, waladhdhoolliin”.
Karena kita berada di luar kehebatan World 4.0 sekarang ini. Kita berada di luar kalangan Khulafaur Rasyidin Global Dunia dan Negara. Kita hanya berkumpul rutin “Sinau Bareng” agar berlatih taqwa secara Al-Fatihah dan Al-Qur`an, agar membiasakan diri hidup secara Al-Fatihah dan Al-Qur`an.
Kita bukan kaum cendekiawan, apalagi Ulul Albab, Ulul Abshar atau Ulun Nuha. Sekurang-kurangnya kita berjuang agar menjadi golongan di antara manusia yang “la nadri walakin nadri annana la nadri”. Kita tidak mengerti, kita bukan orang yang pinter dan hebat. Tapi sekurang-kurangnya kita tahu bahwa kita kita tidak pinter dan tidak hebat.
Kita tidak berkecil hati diremehkan oleh mereka yang “yadri wa yadri annahu yadri”, yang tahu dan tahu bahwa mereka tahu. Kita menemani dan menjawil sejumlah orang yang “yadri walakin la yadri annahu yadi”. Yang tahu tapi tidak tahu bahwa ia tahu. Pada saat yang sama kita juga tidak pongah, tidak angkuh, tidak bersikap merendahkan atau menuding mereka yang “la yadri wala yadri annahu la yadri”. Golongan yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Kita belajar untuk tidak menjadi golongan yang “sok tahu”. Dan kita sudah terbiasa dan tidak keberatan dikepung oleh jenis atau kelas masyarakat seperti ini. Al-Muthabbina Fillah sudah puluhan tahun “Sinau Bareng” tidak hanya belajar dan mempelajari kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Tapi juga kebijaksanaan dan kesucian. “Subhanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana”. Menyadari bahwa kesucian diri lah yang mewadahi ilmu-ilmu dari Allah yang menyelamatkan masa depan ummat manusia. Bukan mencelakakan dan memecah-belah.
Emha Ainun Nadjib
3 Juli 2023.