CakNun.com

Bangsa Indonesia Ada Karena Sebuah Puisi

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 5 menit
Dok. Kenduri Cinta

Kenduri Cinta edisi November 2023 berkolaborasi dengan Sastra Emha. Sebuah edisi khusus yang bukan hanya sekadar membacakan puisi-puisi karya Cak Nun, tetapi juga membincangkannya sekaligus juga mempelajarinya. Kenapa sebuah puisi diciptakan oleh Cak Nun, ada fenomena apa saat puisi itu lahir, dan seterusnya.

Jika kita membuka arsip sejarah kesusastraan seorang Emha Ainun Nadjib, data yang bisa didapat adalah bahwa Cak Nun pertama kali membuat puisi pada tahun 1969. Artinya, saat itu Cak Nun masih berusia 16 tahun. Setelah diusir dari Gontor, Cak Nun menggelandang di Yogyakarta. Kemudian bergaul dengan Umbu Landu Paranggi dan juga para penyair-penyair muda Yogyakarta saat itu, hingga kemudian lahirlah Persada Studi Klub.

Ronny K. Pratama pada diskusi Kenduri Cinta edisi November lalu menegaskan kembali sesuai apa yang ditulis pada makalah yang ia siapkan sebelumnya, bahwa Emha memiliki pandangan yang tegas bahwa sastra seharusnya membebaskan sehingga dapat menghadirkan makna apa saja. Bagi Emha, sastra adalah sebuah dimensi luas yang memerlukan cakupan spesifik agar pembicaraan sastra yang membebaskan memasuki koridor secara operasional.

Di sebuah forum Maiyahan, kita pernah mendengar Cak Nun melemparkan sebuah pertanyaan: Yang manis itu rasanya atau gulanya? Yang pedas itu rasanya atau cabainya? Pada pertanyaan itu kita menemukan bahwa susunan kata dalam pertanyaan itu terdapat keindahan yang dimuatnya.

Cak Nun memiliki filosofi yang jelas, bahwa sastra harus membebaskan pelakunya. Maka Cak Nun pernah menulis sebuah tulisan yang berjudul ”Sastra yang membebaskan”. Pada episode lainnya, Cak Nun pernah menulis ”Terus Mencoba Budaya Tanding”. Hal ini semakin menegaskan bahwa Cak Nun memang tidak setuju dengan pernyataan bahwa sastra adalah sesuatu yang eksklusif, yang hanya bisa dijangkau segelintir orang saja.

Dok. Kenduri Cinta

Pada perjalanannya kemudian, kita bisa melihat bagaimana Cak Nun melahirkan Karawitan Dinasti bersama Nevi Budianto dan Joko Kamto diantaranya, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Teater Dinasti. Cak Nun menjadikan karya sastra bukan sekadar karya seni semata. Cak Nun menggunakan sastra untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam dari sebuah kata-kata yang disusun pada sebuah bait syair maupun naskah teater.

Pun pada era KiaiKanjeng, Cak Nun yang mempelopori musik puisi bersama Karawitan Dinasti kemudian dibawa lagi bersama Gamelan KiaiKanjeng. Pada akhirnya, sastra bukan hanya sekadar karya seni, tapi juga sebuah pertunjukan. Ia juga bukan sekadar sebuah pertunjukan kata-kata, tetapi ada nada dan juga irama di dalamnya. Keindahan puitika yang disusun oleh Cak Nun tidak hanya mempertimbangkan estetika pada sastra itu sendiri, tetapi juga estetika dalam kehidupan.

Maka, bersama KiaiKanjeng, Cak Nun memanfaatkan sastra tidak hanya sebagai karya seni pertunjukan, tetapi juga sebagai media penghubung untuk berkomunikasi dengan siapa saja yang ditemuinya. Cak Nun bersama Bu Via dan KiaiKanjeng sudah menyambangi puluhan desa, kota, kabupaten, provinsi, bahkan tidak hanya di Indonesia melainkan hingga manca negara. Cak Nun menggunakan sastra sebagai media komunikasi, sehingga Cak Nun mampu menghadapi segala situasi yang serba tidak menentu.

Lainnya

Maiyah Penangkal Petir

Maiyah Penangkal Petir

Memasuki tahun 2022, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan secara offline.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta