CakNun.com

Ayolah Saudara-saudara, Rileks!

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit
Foto: Hariyadi (Dok. Padhangmbulan).

KiaiKanjeng mempersembahkan Kado Muhammad pada Pengajian Padhangmbulan, 31 Agustus 2023 di Mentoro Sumobito Jombang. Tidak hanya bernostalgia pada era tahun 96-an ketika awal kali saya menikmati kaset pita album Kado Muhammad. Setelah melewati perjalanan selama dua puluh tujuh tahun, KiaiKanjeng seperti melahirkan kembali album itu di depan jamaah Padhangmbulan.

Sedikit bernostalgia: waktu itu saya meminjam uang teman untuk membeli tiket VIP pentas KiaiKanjeng di GOR jalan Kawi Malang agar bisa duduk di kursi paling depan. Salah satu puisi-musik yang dibaca Mbah Nun adalah Doa Mohon Kutukan. Terpukau, kagum, ketenggengen, mrinding campur aduk jadi satu. Masih terbayang suasana pementasan dan adegan saat Mbah Nun membaca puisi itu. Album Kado Muhammad saya beli beberapa hari setelah pementasan itu.

Kado Muhammad tidak sekadar legacy. Jauh sebelum bibit kesadaran yang ditanam puisi-musik Kado Muhammad — yang kelak bernama Maiyah — tumbuh berbunga di ladang hati para pencinta Kanjeng Nabi.

Orang zaman sekarang mengatakan hidup harus meninggalkan legacy. Preketek! Legacy apa? Yang disebut legacy ternyata memendam ambisi manusia yang sangat purba: menjadi manusia paling berkuasa. Akarnya adalah eksistensialisme ha ana dza. Inilah aku! Selain aku tidak (boleh) ada. Yang wajib ada dan harus ada hanya aku. Tidak ada aku selain aku, demikian kira-kira bunyi “syahadat”-nya.

Tentu saja Kado Muhammad tidak menempuh eksistensialisme purba semacam itu. Pak Bobit tegas menyangkal stigma bahwa KiaiKanjeng melakukan go public shalawatan untuk “menjual” agama. Ini tuduhan gila yang berasal dari hasidin idza hasad. Tuduhan itu pada akhirnya kembali dan mencerminkan sikap pihak yang menuduh.

“Ini kaset tegur sapa antar hati manusia. Insya Allah bukan kaset kaset ‘karier’. Bukan album ‘ambisi’. Bukan musik-musik eksistensi saya atau KiaiKanjeng. Juga bukan nomor-nomor ‘unjuk kebolehan’—sebab yang banyak kita ‘miliki’ justru adalah ketidakbolehan-ketidakbolehan,” tulis Mbah Nun pada paragraf pertama pengantar album Kado Muhammad.

Intensi pengalaman menikmati Kado Muhammad dua puluh tujuh tahun silam tidak luntur: ia hadir lebih sublim. Selama satu jam lebih puisi-musik KiaiKanjeng menyuguhkan multi dimensi pengalaman. Jamaah Padhangmbulan tidak hanya memasuki relung-relung rasa religius, tetapi juga menjelajah pengalaman estetika, sosial, budaya, kemudian utuh mengutuh kembali sebagai manusia.

Malam itu Mbah Nun memang tidak hadir, namun ketidakhadirannya justru meneguhkan kehadirannya. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak berbisik sendiri. “Mbah Nun dan Pak Dhe KiaiKanjeng melampaui standar mainstream penyair dan pemusik. Mereka adalah para pemandu zaman.”

Panduan Memasuki Pergantian Zaman

Siapa menyangka dua tahun sesudah launching album Kado Muhammad, Indonesia mengalami pergantian rezim? Silakan dibaca catatan autentik peran Mbah Nun menjelang, selama, dan sesudah Reformasi 98. Atau silakan juga disimak Album Kado Muhammad untuk Seculer Spheres. Saya tidak mengulas latar sosial politik yang menjadi konteks kelahiran Kado Muhammad.

Foto: Hariyadi (Dok. Padhangmbulan).

Yang menarik adalah beberapa nomor atau keseluruhan konten album itu merupakan tanda atau ayat bakal terjadi geger besar di Indonesia. Ayat-ayat itu memang tidak disampaikan secara eksplisit. Namun, setiap nomor album Kado Muhammad dapat diletakkan sebagai pepeling atau peringatan. “Ibarat pentas panggung,” tulis Mbah Nun di cover album, “Album ini bukan bersifat ‘show’ kepada penonton, melainkan upaya untuk merasakan hati orang banyak dan memberinya tegur sapa yang semoga menyejukkan.”

Sekadar upaya tegur sapa? Tentu tidak. Tegur sapa itu lahir dari upaya untuk merasakan hati orang banyak. Ini watak khas Mbah Nun dalam menulis puisi dan KiaiKanjeng dalam mengaransemen musik. Kemudian Allah Swt menitipkan cahaya waskita sehingga album Kado Muhammad menjadi ruang kesejukan, di mana orang menjernihkan pikiran kembali, menata hati kembali. Dua tahun berikutnya peristiwa Reformasi 98 pun pecah.

Lirik Tombo Ati yang merupakan masterpiece wejangan Sayyidina Ali dan “dijawakan” Sunan Bonang, diberi “pengantar” oleh Mbah Nun agar nyambung dengan konteks suasana hati orang banyak.

Kepada engkau yang menyimpan kesengsaraan dalam kebisuan
Kepada engkau yang menangis dalam batin karena dikalahkan karena disingkirkan diusir ditinggalkan
Atau karena sangat-sangat susah untuk ketemu dengan yang namanya keadilan
Aku ingin bertamu ke lubuk hatimu saudara-saudaraku
Untuk mengajakmu istirahat sejenak
Mengendapkan hati dan bernyanyi

Analogi penggambaran puisi di atas ibarat api dalam tungku. Apinya adalah suasana hati orang-orang yang dikalahkan, disingkirkan, diusir dan ditinggalkan. Kesengsaraan yang dipendam dalam kebisuan. Atau sangat susah bertemu keadilan. Tungkunya adalah lubuk hati orang banyak. Api menyala dalam tungku, semakin panas, kian panas, bertambah panas. Kapan tungku akan meledak? Tinggal menunggu waktu.

Foto: Hariyadi (Dok. Padhangmbulan).

Dua tahun ke depan atau setelah Reformasi bergulir Indonesia akan mengalami masa sulit. Cita-cita Reformasi 98 yang dibajak justru melahirkan kerakusan demi kerakusan yang tingkat kebinatangannya benar-benar nggilani. Di tengah semua itu marilah kita menjernihkan pikiran dan menata hati.

Aku ajak engkau semua sahabat-sahabatku,
saudara-saudaraku untuk menarik nafas sejenak
Duduk bersandar atau membaringkan badan
Aku ajak engkau untuk menjernihkan pikiran
Untuk menata hati
Menemukan kesalahan-kesalahan kita semua untuk tidak kita ulangi lagi
Atau meneguhkan kebenaran-kebenaran untuk kita perjuangkan kembali
Ayolah saudara-saudara
Rileks

Kita mentadabburi album Kado Muhammad tidak sebagai kumpulan puisi yang dibacakan, lagu yang dinyanyikan, atau musik yang dimainkan. Ia adalah panduan memasuki zaman ketika yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan; yang hina dimuliakan yang mulia dihinakan; yang hamba dituhankan, Tuhan yang asli dibuang-buang.

Dua puluh tujuh tahun silam sinyal-sinyal, tanda-tanda, ayat-ayat telah disampaikan. Indonesia menempuh perjalanan berbangsa dan bernegara tidak sebagai dirinya, tidak sebagai kontinuasi dari akar sejarah hidupnya.

Apakah persembahan Kado Muhammad kali ini juga meneguhkan sinyal, tanda, ayat yang serupa? Ayolah saudara-saudara, rileks.—

Jombang, 6 September 2023

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik