CakNun.com

Angka

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Image by Black ice on Pexels

Sebelum acara malam itu dimulai, Cak Zakki mendekati saya untuk mengkonfirmasi hal-hal yang pernah saya ungkapkan beberapa saat yang lalu dan Cak Zakki butuh klarifikasi.

“Mas, dulu Sampeyan ngomong kalau antara angka 1 - 8, maka angka 3 untuk menuju 1 sangat dekat. Sebaliknya kalau angka 3 menuju 8 akan sangat berat dan butuh waktu,” Cak Zakku mengawali pembicaraan.

Saya mencoba mengingat-ngingat statement saya itu. Akhirnya, saya berhasil mengingatnya.

“Ya Zak, aku inget…,” jawab saya.

“Lalu apa konteksnya nih…?” tanya saya.

Kemudian Cak Zakki berbicara beberapa kalimat yang intinya adalah ingin memastikan tentang angka dan proses perjalanan angka dari 3 menuju 8 atau 3 menuju 1.

“Kalau ansich tentang angka maka jagonya adalah Sabrang. Karena memang sebagai orang Fisika, Sabrang sangat menguasai serba-serbi dan seluk-beluk angka dan aplikasinya. Tentang logika, alur, dan semacamnya,” kata saya.

“Maka, secara logika matematis, kalau 3 menuju 1 atau bahkan 1 menuju 0 akan sangat mudah, sedangkan 3 menuju 8 akan sulit,” lanjut saya.

Tetapi perjalanan dari ‘3’ ke ‘1’ bila dibandingkan dengan perjalanan ‘3’ ke ‘8’ kan tergantung dari faktor-faktor yang lain juga.

Kalau misalkan saja skor MU vs MC pada saat turun minum adalah 3 - 1 untuk MC, maka perjalanan untuk menyamakan skor menjadi 3 - 3, logikanya akan lebih mudah bila dibandingkan ketika saat turun minum skor nya 8 – 3 untuk MC, sehingga butuh effort yang lebih besar bagi MU untuk menyamakan skor dengan MC. Tapi ini logika manusia.

Ada faktor-faktor lain yang menyebabkan persamaan skor dari 8 - 3 ke 8 - 8 akan jauh lebih mudah dibandingkan menyamakan skor 3 - 1 ke 3 - 3 bagi MU. Faktor faktor yang berada di luar nalar kita, di luar jangkauan akal pikir kita. Ada kekuatan-kekuatan tertentu yang bekerja di balik itu, sehingga dinamika perubahan skor (baca: perubahan angka) akan menjadi lebih progresif.

Di zaman serba digital ini, hampir semua teknologi dan perhitungan-perhitungan selalu berbasis pada hitungan. Mulai dari skor sepakbola, penentuan rangking ujian masuk sekolah/universitas bahkan sampai pada penentuan derajat sakit pada seseorang. Hampir semua diwakili oleh angka.

Balapan Formula 1 ataupun MotoGP, scoring system-nya adalah dengan angka sebagai representasi dari kecepatan. Pertandingan sepakbola memakai sistem angka juga. Bahkan ada bedanya antara sepakbola dengan ‘sepakbola’-nya Amerika, baik dari aturan maupun sistem skoringnya.

Saya jadi teringat ketika awal tahun 80-an saya berbincang dengan Alm. Pak Mas’ud di Lexington, kota kecil di negara bagian Kentucky, Amerika Serikat. Waktu itu Pak Mas’ud sedang mengambil program doktor di bidang Ekonomi. Ketika itu kami berdua sedang menonton American football di tayangan televisi. Beliau menerangkan bagaimana permainan ini.

“Dulunya saya tidak suka dengan permainan ini, Dik,” kata Pak Mas’ud kepada saya.

“Tapi lama kelamaan saya bisa menyukainya,” lanjutnya. Padahal hobi beliau juga nonton balbalan kita.

“Tahu nggak Dik kenapa sepakbola tidak berkembang di sini (Amerika Serikat)?” tanya beliau kemudian.

Saya menggelengkan kepala.

“Kenapa dong?” saya balik bertanya.

“Karena skornya kecil, Dik. Sekali goal hanya 1. Coba lihat kalau American football ini, sekali goal (touch down) maka skornya 6…,” jelas Pak Mas’ud.

Touch down adalah bila pemain membawa lari bola atau menangkap lemparan bola di bidang end zone lawan. Aturan main dan sistem skoringnya menurut saya juga rumit. Berbeda dengan sepakbola kita (ala Eropa dan Amerika latin) yang aturan mainnya lebih sederhana namun skornya memang kecil, maka sepakbola tidak berkembang di sini (Amerika Serikat),” lanjut Pak Mas’ud.

“Wah bener juga ya,” gumam saya.

Maka saya analogikan dengan permainan yang lain, seperti Tenis, yang pola perhitungannya memang aneh 0 - 15 - 30 - 40 - 50 baru mendapat 1 angka dalam satu game, sedangkan untuk menyelesaikan 1 game harus mendapatkan 7 angka, dan seterusnya. Untuk Badminton satu kali masuk, skornya 1. Maka badminton juga tidak berkembang di Amerika Serikat ini.

Hidup dan kehidupan ini bukan sekadar dihitung dengan angka matematis seperti 2 x 3 = 6, atau 1 + 1 = 2. Bukan seperti itu.

Makhluk hidup, mulai dari tumbuhan, hewan dan termasuk manusia mempunyai berbagai macam anasir, baik fisik maupun biologis. Bahkan kalau hewan mempunyai unsur raga dan jiwa, manusia mempunyai sesuatu yang menjadikannya dia sempurna. Manusia mempunyai raga yang terdiri aspek fisik dan biologis, dan jiwa serta pikiran untuk menentukan keputusan, baik – buruk, boleh – tidak, berguna – tak berguna, bermanfaat – mudarat. Sehingga dinamika angka bila diterapkan pada makhluk hidup maka hukum matematika tidak sepenuhnya berlaku. Atau bisa sama sekali tidak berlaku!

Karena Allah bersifat al-Muhshii!

Yogyakarta, 27 November 2023

Lainnya

Umat Penengah

Umat Penengah

Demikianlah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat penengah agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143)

Umat Islam telah diberi penghargaan oleh Allah dengan sebutan ummatan wasathan (umat penengah), dan di ayat lain (Ali-Imran: 110) khaira ummatin (umat terbaik).

Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA
A. Fuad Effendy
Exit mobile version