CakNun.com

Ancaman Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Simon Fanger on Unsplash

Ketahanan pangan nasional Indonesia menjadi fokus serius mengingat kondisi yang terungkap dalam laporan akhir tahun Tempo. Dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir, harga beras mengalami kenaikan signifikan, meskipun impor beras dan terigu mencapai angka mencolok, yakni 2,5 juta ton dan 10 juta ton per tahun. Ironisnya, setiap penduduk Indonesia kini mengonsumsi sekitar 46,5 kg pangan impor, terutama beras dan terigu.

Beberapa faktor mendasar yang menyebabkan kenaikan harga beras menjadi sorotan utama. Pertama, operasional pabrik penggilingan padi skala besar oleh korporasi mengakibatkan penyerapan pasokan gabah dari petani, berdampak pada kenaikan harga beras di pasar tradisional. Faktor kedua adalah penurunan luas lahan sawah yang cepat akibat pembangunan sektor non-pertanian, terutama infrastruktur terkait proyek strategis nasional. Ditambah lagi, fenomena El Nino memperparah situasi harga beras yang sudah berlangsung selama 1,5 tahun.

Mengkhawatirkan melihat bangsa agraris seperti Indonesia memiliki ketergantungan besar terhadap pangan impor. Sejarah ketergantungan ini dapat dilacak sejak lahirnya kapitalisme di Inggris, yang memengaruhi pola tanam komoditas berdasarkan keuntungan finansial. Indonesia mengikuti gelombang ini, terutama dengan tanam paksa yang membuat petani terkondisikan untuk bekerja dalam pertanian industri.

Kapitalisme, membutuhkan tenaga kerja murah dan pangan murah, mendorong negara untuk memberikan berbagai macam subsidi, termasuk menekan harga pangan di tingkat petani. Namun, ini menjadikan petani sebagai lapisan pertama piramida ekonomi kehidupan, terhimpit dan tidak memiliki insentif.

Pola pikir ini, terindoktrinasi sejak tanam paksa, bertahan hingga sekarang. Semua aspek produksi pangan terus diabaikan, dari tata ruang hingga politik anggaran. Ketergantungan terhadap pangan impor terus meningkat, dan petani sebagai lapisan pertama piramida kehidupan kehilangan insentif.

Dengan defisit pangan mencapai sekitar 50% total konsumsi per kapita, muncul kecurigaan akan tingginya konsumsi karbohidrat atau ketidaksetaraan antara strata ekonomi. Fenomena obesitas, diabetes, dan tingginya angka stunting menunjukkan defisit protein yang serius.

Pertanian dan pangan tidak boleh lagi dianggap sebagai sektor ekonomi semata. Mereka mencerminkan jati diri dan keselamatan bangsa. Krisis geopolitik saat ini membuktikan bahwa ketahanan pangan nasional sama pentingnya dengan kehadiran angkatan perang. Klaim pemerintah mengenai food estate perlu dilihat sebagai tantangan untuk menciptakan tradisi baru, bukan hanya masalah modal, teknologi, dan tenaga kerja.

Tantangan ketahanan pangan nasional Indonesia menuntut tindakan serius dan transformasi mendalam. Kenaikan harga beras, penyerapan pasokan gabah oleh korporasi, penurunan lahan sawah, dan ketergantungan pada pangan impor menjadi permasalahan kompleks yang harus diatasi.

Pertama-tama, perlu dilakukan restrukturisasi dalam pengelolaan pabrik penggilingan padi. Peningkatan efisiensi dalam skala kecil menjadi kunci untuk mendukung petani lokal. Kolaborasi antara pemerintah, korporasi, dan petani diperlukan untuk mengembangkan solusi yang menguntungkan semua pihak.

Penanganan penurunan lahan sawah harus menjadi prioritas. Pengembangan infrastruktur nasional perlu diimbangi dengan kebijakan yang melindungi lahan pertanian. Pemerintah harus menetapkan batas dan regulasi yang ketat untuk mempertahankan keberlanjutan lahan pertanian.

Fenomena El Nino yang memperburuk situasi harga beras menunjukkan perlunya penanganan terhadap dampak perubahan iklim. Program adaptasi dan mitigasi perlu ditingkatkan, termasuk sistem irigasi yang lebih efisien dan pemantauan cuaca yang akurat.

Ketergantungan pada pangan impor harus dikurangi melalui strategi diversifikasi produksi pangan lokal. Pemberdayaan petani kecil dengan pendekatan pertanian berkelanjutan dan teknologi modern akan meningkatkan produksi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Pola pikir terkait produksi pangan juga harus diubah. Pertanian dan pangan perlu dianggap sebagai bagian integral dari identitas bangsa. Insentif yang tepat, pendidikan, dan pelatihan perlu diberikan kepada petani untuk mendorong produktivitas dan keberlanjutan.

Keterlibatan pemerintah dalam menanggulangi defisit pangan dan ketidaksetaraan ekonomi sangat penting. Subsidi yang diberikan haruslah cerdas, menyasar petani kecil, dan mengarah pada peningkatan produksi pangan lokal. Kebijakan anggaran yang mendukung sektor pertanian perlu diperkuat.

Pendidikan masyarakat mengenai pola konsumsi pangan juga harus ditingkatkan. Kesadaran akan pentingnya mengonsumsi pangan lokal dan seimbang akan mengurangi tekanan terhadap impor dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu beralih dari pendekatan ekonomi yang hanya mengutamakan profitabilitas. Kebijakan yang berbasis pada keberlanjutan, inklusivitas, dan keadilan sosial akan membentuk fondasi yang kokoh untuk mencapai ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Transformasi ini memerlukan komitmen bersama dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan perubahan positif dalam sistem pangan nasional Indonesia. []

Nitiprayan, 31 Desember 2023

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version