CakNun.com
Tadabbur Hari ini (45)

Allah Tidak Butuh Iman

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Sejak kita masih Janin, Allah sudah menganugerahkan “an’amta ‘alaihim” dan membukakan jalan “as-shirathal mustaqim”. Bahkan Allah mendatangi setiap Janin dan mengajak dialog.

Dan itu diinisiatifi oleh Allah semata-mata karena Ia Maha Rahman Maha Rahim, tanpa Janin itu atau pihak lain siapapun memintanya.

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمْۖ قَالُواْ بَلَىٰۛ شَهِدۡنَآۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, niscaya Engkaulah Tuhan kami. Kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini’.” (Al-A’raf: 172).

Padahal Allah sendiri tidak membutuhkan pertemuan dan dialog itu. Yang Maha malah “mengalah” mendatangi yang terbatas untuk bikin kesaksian dan perjanjian. Yang kuat malah mengajak yang lemah untuk menata hubungan di antara mereka.

Janin-janin yang kelak menjadi manusialah yang sangat membutuhkan Allah untuk bersandar dan berlindung. Allah sendiri tidak butuh iman, apalagi kepada manusia. Allah Maha Tahu segala-galanya, sehingga tidak ada satu debu realitas, satu atom yang ter-nano, ataupun peristiwa apapun yang Allah perlu percaya atau tidak percaya.

أَوَ لَا يَعۡلَمُونَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَ

Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (Al-Baqarah: 77).

Allah mengetahui yang tampak atau tersembunyi, yang dhahir maupun yang batin, yang sudah maupun yang belum, yang sebelum awal maupun sesudah akhir, yang ada maupun yang manusia menyebutnya tiada.

Maka Allah tidak memerlukan percaya atau tidak percaya, karena Maha Tahu. Percaya hanya diperlukan oleh pihak yang tidak mengetahui sesuatu hal, sehingga rentang jarak antara dirinya dengan sesuatu hal itu dijembatani dengan kepercayaan. Itulah sebabnya kita beriman kepada-Nya, tetapi Allah tidak pada posisi untuk beriman kepada kita. Karena tidak empan papan dan tidak ada urgensi logisnya.

اِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Sungguh, Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hujurat: 18).

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ ٱلۡخَلَّٰقُ ٱلۡعَلِيمُ

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hijr: 86).

Dialog Allah dengan setiap Janin itu berlangsung begitu saja, tanpa jarak sanad atau faktor sejarah keduniaan apapun. Dan karena kita bebas memilih, maka kita memilih untuk menikmati informasi atau kisah azali dari Qur`an itu. Mensyukuri dan menggembirainya.

Mungkin ada manusia kritis dan progresif di antara kita sehingga merespons: “Itu kan bagi yang percaya kepada Allah. Ayat Qur`an yang kamu kutip itu tidak berlaku bagi yang tidak percaya kepada adanya Tuhan”.

Adapun kita sendiri, tidak akan menghadapinya dengan menyiapkan logika materiil-linier atau hukum positif. Kita tidak ngedumel: “Itu kan kata Allah. Juga yang ngarang-ngarang dialog itu kan Allah sendiri, Janin kita sekedar aktor yang patuh kepada penulis skenario dan sutradara. Faktanya sekarang dan semua orang tidak ada yang ingat pernah berdialog dengan Tuhan. Dalam drama kehidupan yang dipentaskan oleh Allah kita hanya bolo dhupakan, pemain figuran, rombongan grubyag grubyug

Kalau kita menggerundal seperti itu, biasanya Allah merespons: “Kalau keberatan, ya silakan bikin skenario sendiri dan sutradarai sendiri. Berarti sebelum itu silakan ciptakan diri kalian sendiri beserta kelengkapan al’alaminnya”.

Emha Ainun Nadjib
13 Juni 2023.

Lainnya

Arah Yang Tepat ke Allah

Arah Yang Tepat ke Allah

Maka secara keutuhan maksud, kita memahami “as-shirath al-mustaqim” bukan “jalan yang lurus”, melainkan “arah yang tepat” ke Allah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik