Allah Maha ber-Qurban
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Pernah ada sekelompok manusia atau sejaringan masyarakat yang menayangkan di media massa bahwa Idul Aldha adalah festival pembantaian massal. Festival Pembunuhan dan Kekejaman. Ribuan, bahkan mungkin jutaan kambing atau sapi disengaja direncanakan untuk disembelih di ribuan tempat untuk kepentingan konsumsi kenikmatan kuliner manusia.
Di luar itu sejak waktu yang sangat lama masyarakat Barat menyatakan tidak paham kepada peristiwa Hari Qurban. Dengan alasan yang kurang lebih sama. Seorang sahabat saya sendiri yang mualaf di tahun 1992. Asal usulnya mungkin karena qurban dianggap bahasa Indonesianya korban. Bahasa Inggrisnya victim. Teman-teman kita dalam tradisi rasionalitas budaya modern tidak bisa menemukan logic atau nalar bagaimana mungkin victimizing bisa diletakkan sebagai sesuatu yang sakral, bahkan diwajibkan oleh suatu Agama yang merupakan ajaran Tuhan.
Dalam ucapan Idul Adlha kemarin teman kita itu menulis: “Thanks for this, Cak. Selama berberapa tahun sebagai seorang muallaf, konsep “qurban” dan prakteknya adalah sesuatu yang sulit untuk “diterima”. Kata2 ini bantu… terima kasih dan selamat Eidul Adha”.
Maksudnya terhadap entah kapan dan di mana saya menuliskan: “Mengabdi dan berqurban. Qurban itu suatu metoda untuk mendapatkan kedekatan. Adjective-nya taqarrub. Pelakunya Muqarrib. Posisinya menjadi Qarib. Kalau lebih dekat Namanya aqrab. Atau akrab. Qurban adalah metodologi sosial untuk memperoleh sesuatu yang sebelumnya belum dekat kemudian menjadi lebih dekat”.
Coba baca Alfatihah. Allah menyebut “jalan yang Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka”. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim. Sungguh Allah Maha Berqurban. Ia Maha Kuasa dan Maha Segala-galanya. Ia tidak butuh manusia, kita semua dan siapapun serta apapun. Allah tidak terikat nilai apapun terhadap makhlukNya. Allah tidak berhutang apa-apa. Allah tidak berposisi harus balas budi. Allah tidak wajib memberi apapun kepada siapapun.
Tetapi dengan sukarela, legawa dan ridla, Allah menciptakan cahaya kemudian bulatan tak terhingga alam-alam semesta. Allah menciptakan makhluk-makhlukNya, Malaikat, Jin, bebatuan, tanah, tanaman, hewan, hingga manusia. Allah tanpa dituntut oleh siapapun menciptakan bumi dengan hamparan kenikmatan yang luar biasa tak ada bandingannya. Tidak karena transaksi atau memenuhi janji, Allah menciptakan udara, air, ruang dan waktu, lautan dan gunung, hutan belantara dan sabana-sabana. Bahkan menciptakan makhluk-makhluk agar semua hamparan kenikmatan itu dinikmati oleh mereka. Allah menciptakan cacing, serangga, kutu, kepinding, tuma, hingga dinosaurus, gajah kerbau sapi dan kambing, ketonggeng, jegonggo, kaki seribu dan jutaan macam makhluk lagi yang manusia tidak sanggup mengidentifikasinya secara menyeluruh.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Hud: 6)
Siapa yang menuntutNya untuk menjamin rizki makhluk-makhlukNya? Terikat oleh apa Ia? Siapa yang akan menyalahkan atau menghukum Allah andaikan Ia tidak memberikan itu semua? Apakah Allah berada dalam posisi berhubungan dengan pihak lain yang punya kekuatan dan kuasa untuk bertindak apapun kepadaNya?
Allah Maha Ber-Qurban, Allah menginisiatifi (amr wa irodah) penciptaan makhluk-makhluk dengan tata ruang, tata waktu, maintenance dan fasilitas yang sangat berlimpah-limpah. Kita hanya bisa merasakan bahwa seakan-akan Allah memerlukan intimitas dengan yang selain Ia. Allah ingin mengalami qurban, taqarruban. Allah ingin qarib dan aqrab. Allah ingin dekat dan akrab.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌۖ
أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ
فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى
لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (AlBaqarah: 186)
Ternyata “shirathalladzina an’amta ‘alaihim” adalah jalan yang Allah pilih dan rintis sendiri yang kemudian ditularkan kepada makhlukNya, terutama kepada kita para manusia. Yakni Jalan Qurban, jalan taqarrub, jalan mendekat, yang thariqat-nya adalah qurban. Dan di dalam urutan narasi Al-Qur`an, ternyata itulah yang Allah maksudkan dengan “as-shirath al-mustaqim” yang Ia tuturkan sebelum kalimat qurban yang ada kata “an’amta”.
Di dalam pengalaman soaial, kebudayaan dan peradaban, cobalah amati dengan teliti dan hayati secara mendalam. Ternyata yang paling nikmat adalah ber-qurban. Melakukan segala hal yang menggiring kita untuk menjadi dekat satu sama lain. Sampai berujung pada penyatuan, tauhid, yang ternyata sekaligus merupakan awal yang baru dalam cakra manggilingan kehidupan ini.
Dan ingatkah engkau, siapakah yang punya gairah untuk mendekat dan berdekatan melebihi orang yang sedang mengidam cinta sehingga bergerak mencintai? Benihnya qurban adalah cinta. Allah menciptakan kita karena melaksanakan iradat untuk intim dan dekat dengan kita. Maka prinsip utama Islam adalah tauhid, penyatuan. Sehingga kitapun ditanami benih ruh untuk berjuang mencintaiNya.
Ingatkah engkau bahwa akar, landasan dan pelaksanaan cinta adalah qurban? Bahkan andaikanpun ia bermakna victim, asal kita sendiri yang berinisiatif untuk berkorban, dan bukan orang yang kita cintai yang kita paksa untuk berkorban — maka tumbuh suburlah cinta.
Emha Ainun Nadjib
28 Juni 2023.