CakNun.com

30 Tahun Padhangmbulan, Mercusuar Ilmu Maiyah

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Padhangmbulan adalah fenomena. Andaikan dulu Cak Dil tidak menginisiasi sebuah forum keluarga di Menturo, mungkin kita tidak akan pernah dipersatukan dalam Maiyah. Aktivitas sosial keluarga besar Cak Nun di Menturo adalah benih pertama sehingga kemudian pada sekian decade muncul Padhangmbulan sebagai satu wadah, satu entitas yang membuat masyarakat berkumpul di malam purnama, di sebuah halaman rumah di salah satu sudut dusun di Jombang.

Untuk menjangkau Menturo, saat ini mungkin sangat mudah. Saya tidak mengalami era awal Padhangmbulan. Hanya mendengar saja cerita-cerita bagaimana masyarakat dari berbagai daerah, bukan hanya dari Jombang dan Jawa Timur saja, bahkan dari luar Jawa Timur menuju Menturo, hanya untuk hadir di Padhangmbulan. Pernah saya mendengar cerita, ada banyak rombongan yang menggunakan truk terbuka, berangkat dari kampungnya yang jauh dari Jombang, untuk menuju Menturo saat Padhangmbulan digelar. Ada juga cerita, mereka beriringan menggunakan sepeda motor, dari Pantura menuju Menturo. Sekali lagi, untuk hadir di Padhangmbulan.

Padhangmbulan hari ini tentu saja sangat berbeda dengan Padhangmbulan di awal kemunculannya. Dari segi fasilitas, tentu sangat jauh berbeda. Kita sekarang sangat dimanjakan dengan fasilitas yang ada. Area lokasi yang lebih representatif, pelantang suara yang lebih enak didengar di telinga kita, belum lagi kalau kita malas untuk datang ke Menturo, kita bisa menyaksikan melalui live streaming.

Saya tidak membayangkan bagaimana para asabiqunal awwalun Maiyah yang datang ke Menturo di awal-awal Padhangmbulan. Karena sudah pasti jalur darat yang dilalui tidak seperti sekarang jika kita ke Menturo. Bukan hanya soal jalan raya yang belum diaspal rata, tetapi juga penerangan yang bisa jadi belum seperti sekarang. Yang lebih ”ajaib” lagi adalah, akses internet tidak semudah hari ini tetapi kabar mengenai Padhangmbulan bisa menyebar ke berbagai daerah.

Padhangmbulan bukan hanya sebagai wadah pertemuan masyarakat saja. Ia menjadi titik temu kegelisahan, menjadi ruang untuk mengungkapkan keresahan sekaligus menjadi sebuah arena pembelajaran tentang ilmu agama, sosial, hukum, politik, ekonomi, budaya serta apapun saja.

Dari satu kepingan sejarah perjalanan Padhangmbulan, yang paling monumental menurut saya adalah ketika menjelang Reformasi 1998, Cak Nun meminta Ibunda Chalimah untuk memimpin Hizb Nashr. Mei 1998 adalah masa-masa kelam bangsa Indonesia. Momentum peralihan kekuasaan dari Orde Baru yang sudah semakin lemah posisinya saat itu, namun ada kegamangan di elit politik negara sehingga kebingungan akan ditransformasikan kepada siapa kekuasaan Orde Baru saat itu. Karena mereka yang duduk di pemerintahan saat itu pun adalah anasir dari Orde Baru. Literatur mengenai Reformasi bisa dibaca di artikel lain di website caknun.com.

Seperti lirik syair Padhangmbulan yang dikutip oleh Yai Tohar:
Yang palsu ditanggalkan, yang sejati datang
Yang dusta dikuakkan, topeng-topeng hilang
Jiwa sujud hati tunduk, pada-Mu Tuhanku

Lirik itu mengajarkan kepada kita bahwa pada cahaya terang Padhangmbulan, semua yang palsu, semua yang dusta akan terkuak. Tugas kita hanya untuk terus istiqomah memiliki jiwa yang sujud dan hati yang tunduk kepada Allah Tuhan semesta alam. Maka tidak berlebihan jika Padhangmbulan memiliki tagline: Menata hati dan menjernihkan fikiran. Kita semua yang datang ke Padhangmbulan itu tanpa pamrih apapun. Dan Padhangmbulan sama sekali tidak pernah menawarkan apa-apa kepada kita. Tidak ada jaminan kita akan mendapat sesuatu setelah datang ke Padhangmbulan. Tapi, kebersamaan, kemesraan serta kegembiraan yang kita bangun bersama di Padhangmbulan itulah yang kemudian membuat kita selalu merasa kangen untuk hadir dan duduk melingkar bersama.

Kita selalu terngiang pesan para orang tua, untuk selalu setia kepada proses. Karena Allah memang tidak pernah menagih kita tentang hasil dari sebuah proses. Namun, mengenai proses yang dilalui, kita selalu diingatkan untuk setia terhadapnya. Ada perjuangan yang digelorakan pada sebuah proses. Ada laku yang mungkin bagi sebagian orang dilihat sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sementara bagi kita yang menjalaninya, sesuatu yang istiqomah adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah, meskipun hal yang sepele. Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW pun pernah menyampaikan pesan: sebaik-baik amal perbuatan adalah yang awet, yang istiqomah, meskipun hanya sedikit. Meskipun hanya sepele. Khoiru-l-a’maali dawaamuha wa in qolla.

Padhangmbulan istiqomah untuk terus menjadi dirinya. Generasi bar uterus lahir dari Padhangmbulan berupa Simpul Maiyah. Mereka bertumbuh di tempatnya masing-masing, merespons zaman, menjadi wadah berkumpulnya orang-orang yang memiliki keresahan tentang apapun saja. Seperti Padhangmbulan, mereka duduk melingkar, saling nguda rasa, tak peduli apakah yang mereka diskusikan apakah akan mengantarkan perubahan atau tidak pada hidup mereka, tetapi Maiyah telah menjadi wadah bagi mereka untuk rehat sejenak dari hirup pikuk dunia yang menyibukkan mereka.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Cak Nun, fenomena Maiyah adalah sebuah fenomena yang alami, lahir secara organik, bukan direncanakan apalagi direkayasa. Maka salah satu nafas utama Maiyah dan juga Padhangmbulan adalah sedekah yang dilandasi kasih sayang.

30 tahun Padhangmbulan bertumbuh mewarnai masyarakat di Indonesia. Merespons keresahan zaman, membincangkan apa saja yang kemudian menjadi manfaat bagi setiap orang yang hadir. Bahkan, Cak Nun selalu bilang, datang ke Padahangmbulan atau Maiyahan kemudian hanya duduk di pojokan pun akan mendapat manfaat. Tetapi, 3 dekade perjalanan Padhangmbulan pun menyisakan tantangan bagi kita sebagai jamaahnya. Akan kemana arah langkah kita sebenarnya? Akan bagaimana kemudian kita melangkah dan kemudian melakukan perubahan? Apakah kita akan tetap seperti ini saja?

Saya kembali teringat satu kutipan tulisan Cak Nun dari surat-surat untuk Cak Dil yang ditulis beliau saat menggelandang di Belanda. Yang kemudian dirangkum pada sebuah buku: Dari Pojok Sejarah. Sebuah kutipan yang tak lekang oleh zaman. Masih relevan bahkan setelah puluhan tahun surat itu ditulis oleh Cak Nun.

Kita, anak-anak muda, selalu bergelepotan kata-kata besar tentang kebenaran, perjuangan hari depan, semangat perjuangan, nafsu politik, tangan yang mengepal, termasuk bagaimana meramu masakan bagi esok hari negeri kita, serta segala sesuatu tentang kesejahteraan bangsa. Tapi sungguh, tidak jarang bahsa segalal kegagahan kata itu, tinggal menjadi kembang plastik, ketika sampai pada manusianya. Cak Nun, Dari Pojok Sejarah.

Hari-hari ini kita sedang menyaksikan kembali betapa kembang plastik itu semakin vulgar dipertontonkan. Begitu gagah sebelumnya narasi-narasi perjuangan itu diteriakkan dengan lantang, oleh orang-orang yang selama ini kita melihat memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk melakukan perubahan. Dan pada akhirnya, memang berakhir sebagai kembang plastik lagi. Tidak kuat untuk disangga, bahkan oleh mereka yang menarasikannya itu.

25 tahun Reformasi berlalu, ternyata juga tidak menghadirkan apa-apa di negeri ini. Bahkan mengenai kebebasan berpendapat pun, belum benar-benar kit arasakan hari ini. Untuk mengungkapkan sebuah kebenaran kita masih merasa terancam. Beruntung kita mendapat pendidikan politik dan budaya dari Cak Nun melalui Padhangmbulan dan Simpul Maiyah lainnya. Sehingga mungkin kita hari-hari ini tampak lebih enjoy dan santuy untuk menikmati akrobat dan dagelan politik serta hingar-bingar para pendengungnya. Berisik sekali memang. Namun lucu. Dan kita semakin menyadari, bahwa memang tidak ada ideologi yang sangat filosofis dan mendalam di politik. Ideologi atas itu semua hanyalah tentang kekuasaan dan keamanan serta kesejahteraan dirinya maupun kelompoknya saja.

25 tahun sesudah Reformasi 1998, narasi berikut ini ternyata masih berlaku:

Ini bangsa tanpa imam. Tanpa cahaya. Tidak tahu dimana mereka berada. Tidak tahu, akan kemana mereka pergi. Tidak tahu, bagaimana caranya melangkah. Tidak jelas mana benar, mana salah. Mana baik, mana buruk. Tidak menentu, mana utara, mana selatan. Mana atas, mana bawah. Mana pahlawan, mana pendusta. Jurnal Padhangmbulan, Januari 1999.

30 tahun Padhangmbulan. Ia terus mengalir, memberikan ilmu, memandarkan cahaya. Selamat ulang tahun Padhangmbulan. Selamat ulang tahun Ibu kami semua.

Lainnya

Topik