24 Tahun Merawat Asa
Terhitung sejak tahun 1999, komunitas Maiyah Gambang Syafaat terus beristiqomah dalam mengadakan forum diskusi publik secara rutin. Tahun demi tahun berlalu, dinamika yang berlangsung di antara komunitas, penggiat, dan jamaah terus mewarnai perjalanan Gambang Syafaat. Interaksi adalah kunci utama. Dalam setiap majelis Maiyah, jamaah datang dengan beragam harapan untuk mendapatkan ilmu, barokah, kegembiraan, pemenuhan batin, wawasan intelektual, ataupun sesuatu yang hanya bisa dirasakan yang terkadang rangkaian narasi kata-kata tidak bisa menggambarkannya secara utuh.
Selama ini, dapat dilihat bahwa berbagai forum Maiyah terus berjalan di berbagai tempat dengan berbagai dinamika sosial, ekonomi dan politik yang menyertainya. Jamaah yang hadir beragam, dengan kecenderungan komposisi yang semakin banyak anak muda. Hal ini merupakan isyarat bahwa ada harapan atau asa yang terpenuhi di kalangan jamaah, baik yang bersifat individual maupun kolektif sosial. Salah satu tantangan yang dihadapi generasi Maiyah saat ini adalah merawat akal sehat di tengah gempuran banyak kepentingan. Satu hal yang secara sadar atau tidak sadar yang dirasakan adalah bahwa Maiyah menjadi tempat untuk belajar banyak hal. Maiyah adalah jalan bagi setiap individu untuk menjaga harapan dan keseimbangan dalam kehidupan mereka. Seperti yang pernah disampaikan oleh Syeikh Nurshomad Kamba, Maiyah adalah way-of-life. [1]
Ada pepatah yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa harapan. Harapan atau asa senantiasa berkenaan dengan keyakinan, sedangkan mencapai keyakinan bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap orang harus mengalami pupusnya harapan ataupun merasakan segala gejolak yang mencuat akibat ketidakpastian. Kata “yakin” sering diasosiasikan memiliki satu frekuensi dengan iman, karena iman membutuhkan proses mengingat secara berulang-ulang, atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan istilah éling. Oleh karena itu, dalam keyakinan, manusia juga membutuhkan penyeimbang berupa sikap kewaspadaan. Jika iman adalah éling, maka waspada adalah wujud tawakkal-nya [2].
Mengenai asa, Mbah Nun pernah menyampaikan tentang “Tiga Lapis Langit Doa”; yaitu langit harapan, langit keyakinan, dan langit kepastian [3]. Posisi manusia berada pada titik langit pertama, yaitu harapan. Dengan adanya harapan, manusia memiliki kesempatan untuk tidak berputus asa. Ketika manusia sudah memiliki harapan, maka yang harus dilakukan adalah meyakini. Yang tidak boleh dilakukan adalah menapaki langit ketiga, yaitu kepastian. Jangan sampai manusia berani memastikan apa yang menjadi algoritma Allah dalam hidup ini. Jika memang ada klausul maupun ketentuan yang sudah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur`an, maka biarlah itu menjadi hak prerogatif Allah untuk mewujudkannya, bukan hak manusia untuk memastikannya.
Sejatinya, manusia tidak memiliki daya sama sekali. Pada setiap peristiwa yang dialami, terdapat empat kemungkinan, yaitu diperintah oleh Allah, diizinkan oleh Allah, dibiarkan oleh Allah, atau diadzab oleh Allah [4]. Jika opsinya adalah diperintah oleh Allah, maka manusia tidak perlu khawatir sama sekali. Hal ini karena segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah akan selalu dilengkapi dengan jaminan dan fasilitasnya. Begitu pula jika diizinkan oleh Allah, setidaknya ada klausul bahwa Allah memberi bekal kepada manusia untuk menghadapi peristiwa tersebut. Yang celaka adalah apabila peristiwa yang dihadapi oleh manusia ini memang dibiarkan oleh Allah, apalagi sampai pada tahap bahwa itu merupakan adzab Allah [5]. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar dari limitasi daya yang dimilikinya, maka sudah selayaknya manusia senantiasa bergantung pada harapan dan asanya.
Dalam Maiyah, manusia diperlakukan secara santun untuk mengenal Tuhannya. Seperti yang diusahakan oleh Rasulullah dalam dakwah pada masanya, yakni persuasif sekaligus akomodatif terhadap banyak pendapat. Maiyah tidak memaksakan kebenaran kepada siapapun [6]. Kegiatan keilmuan yang dilakukan di Maiyah adalah mengantarkan pemahaman bahwa Allah sendiri yang mengajarkan kebenaran pada masing-masing individu. Dalam Maiyah, jamaah diajak untuk mengenal, mencintai, dan meneladani Rasulullah. Sisi spiritual jamaah Maiyah pun ditempa terus-menerus agar terbiasa fleksibel dan berlapang dada terhadap berbagai keadaan yang terkadang hanya bisa dilalui dengan mengandalkan harapan.
Di Milad ke-24 Gambang Syafaat ini dengan dibersamai oleh Pakde-Pakde KiaiKanjeng, kita semua akan bertemu dengan penuh harapan. Pada momentum ini akan menjadi ajang silaturahmi, bersinergi, menjaga, melengkapi, dan merawat asa dalam ikatan kebersamaan.