Yang Terhormat Nama Saya
Kata seorang teman saya yang suka berlagak-laku seperti Nabi yang tahu segala sesuatu, saya ini orang timpang. Jaringan mesin dalam diri saya berjalan kurang seimbang. “Kamu tak bisa jadi jago tembak, sebab tembakanmu akan selalu melenceng,” katanya.
Kan manusia itu terdiri dari tiga faktor. Kepala, dada, dan syahwat. Menurut Nabi saya itu antara ketiganya harus merupakan suatu paduan yang utuh dan seimbang. “Lha hidup kamu ini yang memimpin syahwat,” begitu ia mendiagnose.
“Bajingan,” kata saya. “Jangan misuh. Ini serius,” ia tertawa.
“Lantas? Mustinya?”
“Yaa biasanya kalau orang Jawa itu yang mimpin dada. Kalau orang bule yang mimpin kepala.”
“Ah!”
“Kok ah.”
“Maksud kamu orang Jawa itu lebih percaya pada hatinya, gitu?”
“Ya. Dan Bule lebih berpedoman kepada otaknya.”
“Kalau begitu saya termasuk orang Jawa.”
“Tidak!”
“Lho….”
Kawan saya tertawa mengejek, “Kamu lebih beriman kepada syahwat.”
“Asu kamu!”
Ia mengangkat tangan, “Begitulah. Jujur saja.”
Bandit ini anak. Saya memang selalu bergurau dengan dia, hampir sepanjang pergaulan kami. Seserius dan setegang hantu pun persoalan kami, tapi kalimat yang kami pakai, selalu kalimat yang bergurau. Tapi yang ini agaknya ada ekstranya. Sejak dia ngomong begitu, saya jadi terpancang dan obses. Saya jadi dipaksa untuk membaca ulang hari-hari kemarin saya, dengan satu cara memandang yang berbeda. Tapi kenapa sih dengan masa silam? Kemarin ada setan jungkir balik enam puluh kali berturut-turut dan besok pagi Pulau Jawa mungkin tenggelam ke dasar laut. Biar saja to? Saya akan diam saja. Saya sudah tidak akan pernah lagi menyesali sesuatu atau mengeluh. Bersikap cengeng dan sentimentil sampai usia saya yang 36 tahun adalah suatu kecelakaan besar yang terlalu bertele-tele. Sekarang saya 37 dan ada kesadaran baru, tapi seekor coro pun tahu bahwa ini adalah kesadaran yang sudah karatan padahal baru lahir. Amat terlambat dan dungu.
Saya kasih tahu nama saya Bawong. Tapi saya tidak akan kasih tahu bagaimana saya bisa lahir di dunia ini. Itu suatu riwayat yang gila. Tak saya sangka. Menurut pikiran saya itu hal biasa-biasa saja. Tapi hidup yang saya jumpai memberi penilaian berbeda sehingga ia menjadi riwayat yang buruk. Jadi akan saya rahasiakan sebaik mungkin –atau justru akan saya umumkan sepanjang gang-gang di kampung di mana saya tinggal. Itu tergantung keada nanti. Kalau kaki saya terperosok ke kubangan kerbau, kalau bisa saya akan cuci di sungai, tapi kalau tak bisa kepala saya saja sekalian saya celupkan ke dalam kubangan itu. Jangan tanggung-tanggung. Jadi bunga harum semerbak atau jadi taik sekalian. Biar tahu rasa. Biar mampus diri saya.
Saya ini orangnya cakep. Kuning langsat. Hidung cenderung mancung dan paha saya bagaikan paha wanita. Maksud saya dulu waktu saya masih belasan tahun, atau duapuluhan tahun. Diam-diam saya tahu banyak cowok yang menyenangi saya sebagai lelaki kepada wanita. Sialnya lagi saya ini dulu agak pendiam dan cukup alim. Pada suatu malam di asrama, zaman saya sekolah SMA, saat tidur bersama di bilik yang temaram, saya kaget setengah mati. Kawan karib saya, ya, kawan terkarib saya, tiba-tiba bergerak, menggeliat-geliat, tangannya mengalung di dada saya, dan mendadak hidungnya mendarat di pipi saya. “Gusti Pangeran!”
Shock saya. Tapi saya merasa harus menjaga perasaan karib saya ini. Saya mengelak, menghindari, tapi seperti tak sengaja. Aktinglah gitu. Tap beberapa saat kemudian saya sadar bahwa tubuh saya menggigil. Peristiwa ini serius. Saya loncat dari ranjang. Pergi keluar dan duduk termenung di beranda asrama. “Gila. Gila betul.” Saya ini laki-laki tulen. Saya digedor-gedor dinding dada saya. Tapi si penggedor ini adalah karib saya sendiri. Saya sampai risi pada angin malam yang menyapu.
Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Kulirik. Si karibku itu. Aduh! Tak tahu apa yang musti saya perbuat. Saya merasa begitu jauh jarak psikologis saya dengannya, di sisi keinginan saya yang lain untuk tetap menghormatinya sebagai kawan.
“Bawong, maafkan saya….,” tiba-tiba terdengar suaranya. Ia berdiri di pintu.
“Duduklah di sini….,” kata saya tiba-tiba. Kata-kata yang mengagetkan saya sendiri. Bukan main baik hati saya kepada orang lain, dan betapa buruknya kepada diri saya sendiri.
Kami kemudian ngomong satu dua patah kata, tersendat-sendat, sangat alot dan berjarak amat jauh. Juga pergaulan kami sesudah itu. Saya melihat ia menyesali perbuatannya setengah mati. Saya pun memaafkannya, tapi ada dalam perasaan saya yang tak bisa saya lawan. Harga diri saya seperti dipanggang. Saya kemudian dihimpit oleh penyakit untuk selalu menunjukkan dan membuktikan kelelakian saya. Saya mulai makin nekad menggandeng-gandeng perempuan. Menyeret ini, menyeret itu. Bahkan saya buktikan keberanian saya untuk menggenggam leher seorang pelacur. Semua orang harus tahu bahwa saya laki-laki. Genting-genting rumah, pohon pohon, angin, mata orang lain yang meskipun tak saya kenal, harus tahu bahwa saya laki-laki. Dengan bangga saya hitung berapa perempuan yang telah saya gauli: 8, 9, 10, 11…….33, 34, 35……. dan ketika saya menginjak tahun kedua di Universitas, jum h itu sudah mencapai tiga kali lipat dari usia saya. Mampuslah dunia ini!
Begitu sepele sebabnya, tapi begitu hebat prestasi yang dihasilkannya. Bahkan ada klimaksnya. Karib saya itu, sedemikian merasa berdosanya kepada saya, akhirnya ketika berkawin dan melahirkan anak, dianugerahilah anaknya itu dengan nama wong…. Nama saya! Nama saya! Dipakainya untuk menebus dosanya!
Tapi kemudian saya mengalami kesulitan berpacaran, untuk bercinta beneran. Pemecahan rekor jumlah perempuan menjadi obsesi saya dan kebutuhan sex amat mengendalikan diri saya. Saya minder kepada perawan-perawan. Saya tidak tahu di mana meletakkan kemurnian rasa cinta manusia saya di tengah warna-warna buruk yang mencoreng-morengi kanvas hidup saya.
Sementara itu sekolah saya terbengkalai. Maksud saya kuliah saya. Dan Bapak saya, yang memang agak kurang memberi sikap baik kepada saya sepanjang yang saya alami, mengultimatum saya untuk berhenti saja kuliah dan harus mulai kerja. “Bajingan.” Bapak saya memang aneh. Tapi baiklah. Apa sih hidup ini. Apalagi sekadar sebuah universitas, kenapa harus saya ganduli. Tidak kuliah juga tidak sakit lepra. Apalagi saya ini mahasiswa katutan. Terlempar ke jurusan sastra nusantara. Tidak lucu. Apa pula kepentingan saya sama sastra-sastraan itu. Biar Sutardji pingsan kebanyakan bir, apalagi Empu Prapanca sudah modar.
Saya kerja sekenanya. Makelaran sepeda motor. Bapak Ibu tak setuju. Tapi jauh dalam hati saya, saya tahu bahwa saya seperti bukan bagian dari mereka. Saya harus jelaskan bahwa saya adalah pohon yang sendiri. Dan pohon yang hidup sendiri punya hak mutlak untuk menentukan dirinya sendiri. Punya hak penuh untuk mencintai seorang janda.
Wulan namanya. Rembulan bahasa nasionalnya. Tercipta dengan saya segala kisah romantis dari yang jantan sampai yang paling cengeng. Kepada janda saya tak begitu minder, kan?
Tapi kemudian datanglah malapetaka. Bapak si janda ini yang punya ulah. Malapetaka datangnya selalu dari orang tua. Malapetaka datang justru pada saat saya mulai lebih memperhatikan rohani saya sendiri sebagai manusia. Tapi untungnya ada juga. Saya jadi tahu persis posisi saya. Bapak si janda tak menyetujui perkawinan kami. Ia adalah kawan lama Bapakku. Ia tahu persis siapa saya. Ialah bayi yang dilahirkan tidak oleh ketulusan hubungan manusia dan oleh hukum sah yang mengikatnya. Melainkan oleh main zinah. Ya, inilah Bawong, si anak jadah! Jadi Ibu saya dulu adalah penzinah dan Bapak saya itu bukanlah Bapak saya. Jadi jelas sekarang kenapa Bapak bersikap seperti itu kepada saya sejak dulu.
Silahkan menilai apa itu zinah. Baik atau buruk menurut hukum masyarakat, menurut Qur’an, Injil. Taurat, Gatoloco, Asmaragama, buku diktat lokalisasi…. tapi tunjukkan apa salah saya? Apa?
Saya ingin berkelahi dengan Bapak saya yang bukan Bapak saya itu. Tapi tidak. Saya diam. Saya minggat. Tapi diam-diam saya bilang pada Ibu saya bahwa saya akan selalu berusaha untuk berhubungan dengannya. Ibu saya menangis. Biasa. Pada adegan macam ini seorang Ibu memang harus menangis.
Saya pindah kota. Nekad saja, Indonesia kaya raya. Masak tak bisa kasih makan segumpal perut anak jadah. Saya bergabung dengan kelompok pekerja bikin jalan. Sebagai buruh yang agak rendahan. Bisa cepat dapat nasib baik juga. Setidaknya saya bisa casciscus sedikit. Kan bekas mahasiswa. Bisa berlagak-lagak.
Satu setengah tahun kemudian saya terima surat dari janda saya itu. Ia punya anak dari perkawinan paksa orang tuanya. Anak itu bernama Bawong….
Saya tertawa. Gusti Prabu, apakah kelak Presiden Indonesia bernama Bawong? Tapi kalau iya, maka presiden itu pasti bukan saya dan pasti bukan anak saya. Masak nama anak saya sama dengan nama saya. Lucu dong. Dan lagi anak-anak saya sudah jadi tuyul semua. Tercecer-cecer ke segala penjuru bumi. Menyebar seperti hujan yang mencintai semua jengkal tanah bumi. Kelak mungkin akan lahir anak saya sungguhan. Tapi benih suci saya yang genius sudah terbuang percuma dulu-dulu. Dan sekarang tak usah saya kasih tahu pun semua orang pasti tahu bahwa syahwat saya kambuh lagi. Habis mau apa? Sang Hyang Wenang menciptakan keindahan yang tiada taranya di alam ini. Ia adalah seniman paling agung. Ia ciptakan gairah kelelakian yang tak terbatas. Ia ciptakan berjuta bidadari yang indah dan cemerlang. Suatu komposisi yang anggun. Tapi kabarnya segala sesuatu harus dibatasi. Kabarnya itulah absurditas kehidupan manusia, yang melahirkan perang, perebutan kekuasaan, korupsi, tapi juga karya karya sastra yang besar, pertunjukan teater yang fantastik – karena tak sekelompok orang pun mampu bersepakat di mana sebenarnya letak batas itu.
Manusia bingung. Tapi cinta tetap ada.
Saya pun idem. Di tengah dunia hitam kehidupan saya, rupanya tetap terkandung percik cahaya. Saya tetap siap mencintai seorang perempuan. Saya tetap punya sisa kemurnian sebagai manusia. Justru kerinduan saya sebagai manusia untuk bersatu berdekapan jiwa bersama manusia lainnya makin besar dan makin besar. Saya jatuh cinta kepada seorang Guru, tamatan SPG, anak seorang yang terhormat di masyarakat.
Bu Astuty. Atau saya memanggilnya Dik Astuty.
“Tapi saya cuma seorang buruh rendahan, dik….,” kata saya suatu sore.
“Mas biar melamar pekerjaan di SD atau SMP swasta untuk mengajar,” jawabnya.
“Ijazah SMA saya tak tahu di mana….”
“Mengajar itu memberi ilmu, bukan membagi-bagikan ijasah.”
“Ah, dik Astuty seperti tak kenal Indonesia saja….”
“Orang wajib berusaha.”
Tentu. Demi dia saya pasti akan berusaha. Kelihatannya dia cukup cinta juga sama saya. Bahkan kalau boleh jujur saya ini agak terlalu ganteng untuk dia. Tapi toh besok siang saya bisa ketabrak colt dan hidung saya peyot. Jadi soal ganteng ini janganlah dihitung. Bapak dia pun ternyata sama sekali tidak menghitung kegantengan saya. Saya tegaskan sekali lagi bahwa malapetaka datangnya selalu dari orang tua. Dari masa silam. Dari nilai-nilai yang tumbuh oleh kemarin. Ingatlah betul riwayat saya ini. Dengarlah bahwa Bapak Astuty yang terhormat itu, pejabat tak begitu tinggi tapi priyayi tulen itu, hanya menghitung saya sebagai buruh di jalan. Ia bukan hanya tak setuju puterinya saya pacari, tapi benci lebih dari benci kepada saya. Kalau saya apel ke rumah Astuty dia berang. Jangankan lagi mengajak putrinya itu nonton atau indehoy di kebun binatang. Melihat saya duduk di kursi beranda rumahnya saja ia se perti Wak Haji kena najis. Pertama dia hanya melayangkan pandangan yang berang. Tahap kedua dia menggebrak-gebrak pintu. Tahap ketiga dia ikut menemui saya kemudian mengusir secara agak halus. Dan tahap terakhir dia mendera mengusir terang-terangan.
Saya tak boleh putus asa, bukan? Tentu. Tentu Saya mencoba membuktikan kemampuan saya yang sebenarnya. Sambil kerja, saya mulai makelaran lagi untuk menghimpun modal buat karier dagang kecil-kecilan. Inilah kegoblokan saya. SMP atau SD mana yang mau menerima guru yang kerjanya makelaran dan buruh? Ini Indonesia lho.
Posisi saya bukannya membaik. Astuty makin dikurung. Dijaga gengsinya. Dan segala sesuatu dalam lingkungannya haram buat saya. Saya punya niat untuk ikut transmigrasi saja, membangun hidup baru di sana, dengan — mungkin — menyeret melarikan dik Astuty ke sana. Menghilang ke dunia yang baru. Tapi cita-cita itu gagal sebelum saya rintis. Meledak harga diri saya. Saya pacu diri mengembangkan usaha saya sampai akhirnya sekarang saya jadi pemborong bangunan. Cukup kaya. Tak main-main. Dan tetap bujangan. Terus akan tetap bujangan. Saya tidak akan merebut Astuty dari lelaki yang akhirnya mengawininya. Saya juga tidak akan mendatangi Bapaknya dan menempelenginya, meskipun ia begitu rupa menghina saya dulu itu. Bahkan saya berterima kasih kepadanya, karena berkat hinaan itulah saya saya terlecut untuk memacu diri. Saya kira saya tidak akan semaju ini kalau dulu Bapak si Astuty itu tidak memberi nama Bawong untuk anak anjingnya yang baru lahir….