CakNun.com

Wejangan Kontekstual

Rizky D. Rahmawan
Waktu baca ± 4 menit

Mbah Nun kerap berpesan bahwa setidaknya ada empat hal dalam hidup ini yang harus kita semua sinau, tekuni, dan kuasai sebisa-bisa. Keempat hal itu, yakni (1) Tauhid atau akhlak, (2) Pendidikan diri yang militan, (3) Muhasabah atau akuntansi dan, (4) Teknologi informasi. Mengapa keempat hal itu begitu penting?

Foto: Adin (Dok. Progress)

Kita mulai dari yang paling belakang, teknologi informasi. Seperti kita tahu bersama, hari ini kita berada pada era revolusi industri 4.0. Era ini dimulai sejak tahun 2010, dikenal juga sebagai “cyber physical system”. Sederhananya, ini adalah era dimana internet yang dunia “maya” mulai nyawiji dengan benda-benda yang nyata di sekitar kita.

Internet telah menawarkan kepada umat manusia tentang cara-cara mengerjakan sejumlah hal dalam sendi kehidupan kita secara begitu efektif dan efisien hingga di level yang tidak terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi telah mendisrupsi begitu banyak hal. Kehadirannya menawarkan peluang cara hidup yang benar-benar berbeda. Ini menjadi dua mata pisau, satu mendatangkan amplify kemanfaatan, sebaliknya berpotensi mendatangkan kemudharatan yang berganda-ganda. Maka, mau tidak mau memang kita harus mengilmuinya.

Ketidakterbiasaan kita berpikir ulang-alik dari masa kini, masa depan, dan masa lalu, membuat kita sulit takjub atas peran teknologi informasi di tengah-tengah cara hidup kita hari ini. Semua terkesan membiasa, tidak ada yang “mahal”, tidak ada yang istimewa. Padahal ketakjuban adalah pintu awal dari antusiasme di dalam kita tergerak untuk mempelajari dan menguasai segala sesuatu.

Entah sudah berapa anak tangga eskalasi yang sudah umat manusia lalui. Awal Revolusi Industri 4.0 kemudian mahsyur istilah internet of things (IoT). Lahir platform “If this, than that” yang meng-otomatisasi sampai sepraktis ketika seseorang terdeteksi sudah bangun tidur, mesin kopi di dapur menyala sendiri menyiapkan seduhan pagi.

Dari Sandbox di serial drama Start Up lahir 12 angkatan hustler, hipster, dan hacker yang menginovasi artificial intelegent (AI). Lain lagi, Bank digital yang iklannya dimana-mana hari ini, tidak butuh lagi agunan sertifikat dan BPKB untuk memberikan pinjaman, cukup mengekstrak digital habit kita saja. Lalu amat-amati lagi sejumlah hal menakjubkan disekitar kita hari ini.

***

Muhasabah adalah menghitung perjalanan hidup kita untuk mengetahui perbandingan antara amal baik dan keburukan yang telah kita lakukan. Evaluasi diri yang dimaksud muhasabah dalam Islam meliputi hubungan seorang hamba dengan Allah, maupun hubungan sesama makhluk ciptaan-Nya.

Menghitung amal bisa menggunakan tasbih. Karena toh tidak banyak juga mungkin amal yang sudah kita lakukan. Lain halnya dengan menghitung sangkut-paut keuangan kita dengan orang lain. Diperlukan “tasbih” lain bernama ilmu akuntansi.

Sambil coba amat-amati dari 10-15 teman dekat kita, berapa banyak di antara mereka yang melakukan accounting harian pada sirkulasi keuangan personal diri masing-masing? Di banyak circle, mungkin minoritas yang mengerjakannya. Ini mungkin yang jadi penyebab kenapa kelas-kelas financial planning begitu laris manis.

Disadari atau tidak, kemampuan meng-hisab—menghitung diri termasuk meng-hisab isi dompet bukanlah kemampuan yang popular. Bahkan juga tidak masuk dalam tanda kecakapan khusus bagi pramuka penggalang atau penegak. Badge akuntansi tidak ada.

Efeknya, menjadi hal yang lazim-lazim saja bahwa dorongan ekonomi kita lebih banyak digerakkan oleh sentimen psikologis. Self reward. Over-confident pada order yang belum di tangan. Lupa menyisihkan untuk disimpan ketika baru gajian. Slogan “mumpung lagi promo”. Hingga keluh-kesah bab uang menjadi sesuatu yang begitu sehari-hari.

Konon, ada dua jurus solusi masalah keuangan. Pertama adalah meningkatkan pendapatan dan kedua adalah mengurangi pengeluaran. Dan dua hal itu mau memilih yang mana saja, bisa dimulainya adalah dari kemauan dan kemampuan meng-hisab financial personal kita sendiri.

***

Berikutnya adalah pendidikan diri yang militan. Kalau Revolusi Industri 4.0 dimulai tahun 2010, revolusi mental dimulai satu dekade sebelumnya. Jadi, kalau di medio 2014-an revolusi mental dijadikan jargon kampanye, itu sebenarnya sudah ketinggalan zaman banget.

Kecerdasan emosional mulai me-mainstream untuk dipelajari dan dikultivasi setidaknya sejak era 2000-an. Sejak era itu, motivator tumbuh menjamur di mana-mana. Beragam pendekatan motivasi diri, beragam teknik, gaya dan juga tujuannya. Untuk keluarga yang harmonis ada kelas parenting, untuk dunia usaha ada berbagai kelas kercerdasan emosional baik kelas profesional maupun eksekutif.

Namun, yang membuat jadi tidak efektif adalah karena pendekatannya yang monoton. Yakni pendekatan afirmatif. Orang Jawa bilang, “mbombong”. Padahal, keseimbangan olah mental adalah ketika ciut hati maka dibombong supaya jembar meluas. Dan, ketika sudah luas hatinya ia siap digembleng secara militan.

Hanya mental yang tahan gembleng. Yang siap ditempa secara militan. Yang ia bisa menjadi pribadi yang kuat, menjadi nucleus di tempat di mana ia berada. Oleh karena itu, di Maiyah tidak diterapkan pendidikan berbasis revolusi mental. Melainkan, di sebuah kesempatan Mocopat Syafaat Mbah Nun menyampaikan, yakni: revolusi cara berpikir.

***

Bersyukurlah kita hidup di tanah Jawa dan di tanah Nusantara yang kaya akan khasanah pendidikan Tauhid atau Akhlak. Sebab memang hal itu tidak cukup dapat dikuasai hanya dengan satu bab materi di mata pelajaran pendidikan agama saja.

Khasanah dari orang tua-orang tua kita begitu banyak mengkultivasi bagaimana Tauhid sebagai peristiwa kehadiran Tuhan yang amat sehari-hari. Untuk akhirat menempuh Tauhid, untuk dunia melibatkan Tauhid. Ibadah mahdhoh, purposes for Tauhid. Bekerja muamalah dalam rangkanya, lillahita’ala. Ini adalah materi pasinauan yang tidak akan pernah selesai seiring dengan kurikulum perjalanan hidup kita yang terus meningkat dari usia ke usia.

Di momentum #69TahunMbahNun adalah sangat baik kita me-murojaah petuah dan wejangan Beliau. Syukur-syukur kita dihidayahi ketepatan konteks terhadap masalah dan tantangan yang sedang masing-masing kita hadapi hari ini. Karena tidak lain dan tidak bukan, petuah dan wejangan Beliau adalah bagian dari ilmu-ilmu hikmah.

Exit mobile version