CakNun.com

Uang Kasur dan Uang Kasir

Arsanto Adi Nugroho
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Pe (Dok. Progress)

Sering kita jumpai, banyak orang yang berusaha (berdagang/berbisnis) yang tidak memisahkan antara keuangan pribadi/keluarga (sebut saja: uang kasur) dengan keuangan usaha (dagang/bisnis). Padahal, ketidakdisiplinan dalam keuangan seperti ini bisa mengakibatkan terganggunya cash flow bahkan tidak jarang yang berujung pada Kebangkrutan.

Hal yang tampak sederhana ini sebenarnya amat sangat penting, namun sering disepelekan bahkan diabaikan oleh banyak pelaku usaha. Padahal ketidakdisiplinan akan keuangan tersebut bisa sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu usaha. Bahkan terparahnya bisa mengakibatkan usaha berhenti secara sekonyong-konyong, tiba-tiba, dan mendadak ibarat serangan jantung yg sangat mematikan usaha, karena ketidaktersediaan “uang cash” (run out of cash) di saat dibutuhkan untuk membiayai jalannya usaha.

Di sisi lain, kita sering menyaksikan banyaknya usaha milik tetangga/keluarga kita, di mana sebagian besarnya adalah berupa warung/toko kelontong yang tutup bahkan mendadak bangkrut, di mana salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan untuk kulakan lagi karena ketidaktersediaan modal (run out of cash).

Jika kita telisik lebih dalam, penyebabnya adalah diawali dari tidak tertibnya pembukuan dan diperparah dengan tidak dipisahkannya antara keuangan pribadi/keluarga dengan keuangan usaha. Kebangkrutan tersebut terjadi salah satunya karena ketidaktepatan dalam tata kelola keuangan, di mana tidak dipisahkannya secara jelas mana uang modal usaha (uang kasir) yang seharusnya disisihkan dan dialokasikan untuk kulakan lagi dan mana uang profit yang sebagiannya boleh dinikmati oleh pengusaha tersebur (uang kasur).

Bercampurnya dua pos keuangan berakibat pada seringnya terjadi kesalahan pengambilan keputusan oleh pengusaha tersebut. Beberapa contoh kesalahan pengambilan keputusan tersebut antara lain: istri minta uang belanja, anak minta uang sekolah, cucu minta uang jajan, saudara minta uang saku, dan lain-lain.

Permintaan-permintaan tersebut sebenarnya termasuk dalam kategori kebutuhan pribadi/keluarga atau jika dalam laporan keuangan sering dikenal dengan istilah “Prive” (Bukan Kebutuhan Usaha). Biaya-biaya Prive tersebut sering-seringnya diambilkan secara langsung dari kas/dompet/laci/amplop penyimpanan uang usaha (uang kasir). Hal ini menjadi salah satu bukti ketidakdisiplinan seorang pengusaha dalam tata kelola keuangan usahanya.

Kebutuhan-kebutuhan prive tersebut seharusnya dibiayai dari sumber alokasi kas yang berasal dari “sebagian” uang Profit (Bukan Uang Usaha). Namun, karena sering-seringnya masih bercampur keuangannya, maka tidak serta merta mudah membedakannya sehingga tidak jarang para pengusaha tersebut secara sadar maupun tidak sadar telah melanggar disiplin prinsip-prinsip tata kelola keuangan yang benar, bahkan tidak merasa jika sebenarnya dia tengah berjalan di jalan yang “sesat”.

Sederhananya, seorang pengusaha itu harus disiplin dalam menjaga setiap pos keuangan (anggaran dan biaya). Pengusaha itu harus mampu memastikan bahwa pos uang kasir benar-benat diperoleh dari pendapatan (income/revenue/omzet), di mana penggunaannya untuk membiayai seluruh kebutuhan dalam menjaga keberlangsungan usaha, terkhusus kebutuhan kas modal usaha (uang untuk kulakan lagi).

Pos uang kasur harus dipastikan berasal dari “sebagian” uang profit dan penggunaannya pun juga harus sesuai dengan peruntukannya, yaitu salah satunya boleh diambil untuk kebutuhan prive. Kedua Pos Utama tersebut (uang kasur dan uang kasir) harus bisa dipastikan benar-benar terpisah, jelas asal-usul anggarannya, dan tepat peruntukan penggunaan pembiayaannya.

Jika ditinjau dalam konteks spiritual, sejatinya ketidakdisiplinan salah satunya dalam hal keuangan tersebut menunjukkan “ketidakamanahan” dari seorang pengusaha, sehingga wajar saja jika berujung pada kebangkrutan usahanya. Singkatnya, salah satu definisi dari amanah dalam berusaha (dagang/bisnis) adalah harus empan papan dalam segala urusan termasuk keuangan. Seorang Pengusaha harus mampu presisi dalam asal-usul, alokasi penganggaran, dan peruntukan pembiayaannya.

Demikianlah tentang manajemen keuangan yang sangat sederhana dan aplikatif serta universal. Sebuah contoh manajemen keuangan yang apik bisa teman-teman baca dalam tulisan Mbah Nun berjudul Bakso Khalifatullah.

Lainnya

Rugi Tak Selalu Berarti Bangkrut, 2

Rugi Tak Selalu Berarti Bangkrut, 2

Umumnya, kerugian sering ditunjukkan di atas kertas dalam kalkulasi seorang pengusaha yang idealnya termaktub dalam laporan keuangan neraca rugi-laba.

Arsanto Adi Nugroho
Arsanto Adi N.

Topik