CakNun.com

Tumbuh Bersama Sepeda

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Pribadi

Kalau saya senang sepedaan itu bukan tanpa alasan. Kalau saya hobi gowes bukan tanpa sejarah. Kalau saya penggila sepeda bukan tanpa latar belakang. Sejak kecil memang saya senang bersepeda. Waktu SD saya belajar naik sepeda dengan sepeda punya bapak. Sebuah sepeda yang dipakai untuk wira-wiri, mengajar.

Bapak saya seorang guru yang mengajar di SMP BOPKRI di sekitar Sayidan. Jarak yang ditempuh sekitar 10 km pulang-pergi. Sepeda lawas merk Hertog sangat setia mengantar bapak kerja. Sepeda itulah yang saya pakai untuk belajar bersepeda. Sungguh senangbersepeda dengan teman-teman di kampung nDukuh, sebuah kampung di perbatasan antara kodya Jogja dengan kabupaten Bantul. Kampung yang berbatasan dengan kali Winongo.

Kegiatan sepedaan dengan teman-teman kampung kadang hanya puter-puter kampung berkonvoi, kadang pula bersepeda sampai jauh. Jarak terjauh pada waktu itu adalah ke pantai Samas yang berjarak hampir 30 km dari rumah, jadi sekitar 60 km pulang-pergi. Sangat menggembirakan, bersepeda bareng dengan teman-teman. Udara masih bersih, tidak terlalu banyak polusi. Hijau dan rimbun di kiri kanan jalan.

Di balik kegembiraan tersebut ada cerita sedih ketika saya kehilangan sepeda. Dua kali kehilangan pula! Dalam kurun waktu yang berbeda.

Yang pertama adalah ketika saya masih SMP. Saya memakai sebuah sepeda mini warna kuning pinjaman punya saudara sepupu dan sudah beberapa saat berada di rumah. Suatu sore ketika sehabis sepedaan, saya parkir sepeda tersebut di lincak depan rumah Bu Siti, tetangga sebelah, yang punya penggilingan gabah.

Saya masuk nebeng nonton tivi. Karena Bu Siti, tetangga yang punya tivi, maka di situlah saya biasa nebeng nonton. Demikian juga dengan sore itu. Setelah acara televisi selesai, saya keluar mau pulang. Saya sangat kaget mendapati sepeda saya tidak berada di tempat. Saya tidak percaya! Saya tanyakan kepada orang yang berada di sekitar tempat itu, mereka bilang tidak melihat dan tidak tahu. Lemaslah badan saya. Saya takut bagaimana saya harus bilang ke Bapak, dan bagaimana bilang ke Lik Marto (bapak sepupu saya). Gusar, gundah dan sedih.

Kehilangan kedua adalah ketika saya SMA. Sesudah acara gowes bareng dengan kawan-kawan SMA, sepeda jengki laki-laki berwarna hijau dengan setang balap, saya taruh di depan rumah. Waktu itu sore, waktu Maghrib. Saya mandi sebentar untuk siap-siap untuk kegiatan Maghrib. Memang sepeda saya taruh di bawah pohon jambu depan rumah dalam posisi rebah. Saya mandi cepat-cepat.

Ketika selesai mandi saya segera keluar menengok sepeda saya. Hal itu saya lakukan karena di tengah mandi kilat terebut perasaan saya tidak enak dan langsung kepikiran sepeda jengki saya. Kali ini pun saya tak kalah kagetnya. Karena barangkali belum genap 5 menit saya tinggal, sepeda sudah raib. Saya lemas.

Kehilngan sepeda menyisakan banyak pertanyaan. Bagaimna besok pagi mesti berangkat ke sekolah?. Bapak dalam keadaan kurang baik secara ekonomi. Kalaupun naik kendaraan umum mesti ganti dua kali. Dari rumah ke Jokteng Kulon, kemudian disambung bis turun di Kuncen. Kalaupun jalan kaki harus saya tempuh dalam waktu kira-kira lebih dari 1,5 jam. Dari rumah ke SMA saya di wilayah Kuncen.

Dok. Pribadi

Alhamdulillah Bu Siti meminjamkan sepedanya kepada saya. Untuk ke sekolah. Tapi itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Akhirnya saya beranikan minta uang ke Bapak untuk transportasi ke sekolah. Uang transport dari Jokteng ke Kuncen pulang-pergi. Sedangkan dari rumah ke Jokteng pulang-pergi saya jalani dengan berjalan kaki menyusur rel kereta yang berada di sisi barat jalan Bantul.

Dua kali kehilangan sepeda. Di mana sepeda tersebut adalah alat transportasi utama untuk bersekolah. Bukan sekadar sepeda untuk dolan atau bukan kebutuhan sekunder. Tetapi kebutuhan primer bagi saya untuk sekolah. Saya tidak tahu kehilangan sepeda tersebut merupakan peringatan atau merupkan ujian bagi saya. Bisa saja merupakan peringatan agar berhati-hati. Meletakkan sepeda tidak sembarangan, dan dikunci dengan baik. Bisa juga merupakan sebuah ujian, sampai sejauh mana ketergantungan saya kepada sepeda dalam proses sekolah saya.

Alhamdulillah Tuhan sangat sayang kepada saya, sebab ‘dendam’ saya atas kehilangan saya bisa terobati. Saya bisa gowes lagi sekarang, gowes di jalanan bisa, gowes naik gunung juga bisa.

Ada ayat favorit saya di surat Al-Baqarah 286,

Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Pastilah apa yang diujikan Allah kepada kita adalah sesuai kemampuan kita.

Jadi, sepeda sudah menyatu dengan saya. Jiwa saya jiwa sepeda. Saya merenung dan merenung. Allah sayang kepada hamba-Nya. Hamba yang hanya bisa ‘menginginkan’ sesuatu. Keinginan yang tak mungkin terwujud dengan kondisi yang ada pada waktu itu.

Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui.”

(QS Al Baqarah: 216).

Bayangkan saja di saat saya sekolah, bisa dihitung jari murid yang besekolah dengan sepeda. Mayoritas kawan-kawan saya membawa sepeda motor ke sekolah. Siapa sih yang tidak ingin ke sekolah bermotor? Siapa sih yang tak ingin ke sekolah tanpa berpeluh? Namun saya masih bersyukur bahwa saya berkesempatan bersekolah di sebuah sekolah yang termasuk top rank di Jogja ini. Barangkali kalau saya punya motor mungkin saya akan ngeluyur kesana kemari dan berakibat kurang baik pada prestasi belajar saya. Allah sudah mengaturnya!

Lainnya

Tradisi Rempah-Rempah

Tradisi Rempah-Rempah

Sabrang datang ke rumah sore-sore dan kami mengobrol. Tentu saja tentang Corona.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Corona vs Qur`ana

Corona vs Qur`ana

Kemudian Baginda Maulana entah siapa tamu kami malam itu bertanya kepada para pemuda-pemudi yang berada di tempat itu bersama saya:

“Di mana malam ini kalian berkumpul?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version