Tuhan Tidak Menciptakan Kegelapan
Saat Kenduri Cinta (Ikhtilaf Zaman) April 2022, Mbah Nun memberikan semacam pekerjaan rumah kepada para jamaah bagaimana memahami perputaran siang dan malam serta menguraikan pengertian terang dan gelap.
Cahaya adalah haqq. Ia sesuatu yang nyata dan wujud. Sedangkan gelap (akibat tidak ditimpa cahaya) adalah batil. Ia tidak wujud dan tidak pernah ada. Mbah Nun menyatakan, “Kegelapan tidak pernah ada. Tuhan tidak menciptakan kegelapan.”
Saya coba mengerjakan pekerjaan rumah itu. Al-hamdulillah, saya menemukan mantiq-nya melalui logika Matematika. Misalnya, 1+2=3
. Itu fakta. Ia benar adanya. Menjadi tidak nyata atau tidak benar ketika 1+2=5
. Ia tidak mungkin ada dan tidak akan pernah ada.
Bagaimana jika yang menyatakan 1+2=5
adalah anak kecil? Fakta bahwa ada anak kecil menyatakan 1+2=5
itu benar. Namun, 5
sebagai hasil penjumlahan 1+2
adalah realitas yang tidak ada dan tidak akan pernah ada. Inilah kegelapan, seolah-olah ada tapi aslinya tidak ada.
Jika logika tersebut digunakan untuk memahami tauhid, maka Allah Swt itu Ada yang Sejatinya Ada. Ada-Nya bersifat absolut. Mutlak. Sedangkan makhluk (aslinya) tidak ada. Ia tidak akan pernah ada. Kalau pun dianggap ada — itu pun karena diadakan oleh Yang Maha Ada — adanya makhluk bersifat relatif. Adanya adalah seolah-olah karena memang aslinya tidak ada.
Benar apa yang disampaikan Mbah Nun: Allah tidak menciptakan kegelapan. Dia “menimpakan” Cahaya-Nya sehingga makhluk yang asalnya tidak ada menjadi ada. Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Ia menjadi realitas yang Haqq. Ada makhluk atau tidak ada makhluk, Allah pasti ada.
Bagaimana menerapkan kesadaran tersebut? Saat bekerja mencari nafkah kita harus yakin rezeki datang dari Allah (Ar-Razaq, Maha Pemberi Rezeki). Mendapat nilai ujian yang memuaskan harus diyakini bahwa yang memberi hidayah ilmu adalah Allah. Pokoknya, apa pun yang terjadi dalam hidup kita Allah Swt selalu Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Hanya Allah yang sanggup menjamin hidup kita. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Kita tidak akan bersikap gumedhe, congkak, dan besar kepala. Hanya Allah yang Akbar. Hanya Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Mudah-mudahan kita dititipi kesadaran yang muthmainnah: laa khoufun ‘alaihim wala hum yahzanuun (QS. Yunus: 62).
Yang selain Allah akan selalu bersifat relatif. Kebenaran dari manusia pun bergantung ruang dan waktu. Al-Haqqu min rabbika. Kebenaran sejati dari dan milik Allah semata.
Lantas, masih adakah kegelapan ketika Cahaya Maha Cahaya mengguyur kita?