Tikungan Iblis (Bagian 3/5)
Yogyakarta, Indonesia, 2008-2009
Prawidi
Kekuatan Iblis terlalu ikut campur dan sangat berkuasa
Maka penciptaan, kehidupan, kematian: sebaiknya didaur ulang…
Prawito
Ada apa ini, ada apa
Menenangkan mereka
Prawikun
Dik Prawidi ini barusan dibentak-bentak oleh Iblis, mas
Prawito
Ini ngomong apa tho?
Prawijo
Memang kami ini gugup-gugup karena diintimidasi Iblis….
Prawito
Diintimidasi Iblis bagaimana
Prawikun
Ya Iblis. Tamunya tadi itu ternyata Iblis
Meletakkan sangkar di tengah arena
Burung ini ya dari beliaunya itu
Prawito
Ah jangan guyon ah
Prawijo
Beliaunya tadi memberikan ini. Semacam tanda identitas.
Nama: Smarabhumi Smorobomo alias Iblis.
Kebangsaan: Malaikat.
Agama: Rahasia.
Jenis Kelamin: Non-Gender…
Prawito
Sudah,sudah. Cukup, cukup. Itu klenik, itu mitos…
Berputar-putar, beredar-edar ke berbagai sisi ruangan
Situasi ekspresinya berubah seperti di awal adegan ini
Stop pembicaraan tentang iblis, kita bukan orang yang putus asa secara pikiran sehingga lari ke mistik dan klenik!
Kita sedang melaju untuk “Pentas Kebangkitan”
Rawe-ware rampat, malang-malang sikat!
Mengolah kerisnya
Sini kalian semua…
Prawidi, Prawijo, Prawikun merapat
Prawito
Kepada Saklah
Kamu juga!
Ulangi kalimat saya:
Berdiri! Berbaris!
Persetan dengan Iblis!
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Persetan dengan Iblis
Prawito
Persetan dengan semua makhluk apapun
yang tak punya hak atas bumi dan kehidupan manusia
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Persetan dengan semua makhluk apapun
Yang tak punya hak atas bumi dan kehidupan manusia
Prawito
Kita, manusia, mandataris Tuhan di bumi
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Kita, manusia, mandataris Tuhan di bumi
Prawito
Telah menjadi semakin dewasa
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Telah menjadi semakin dewasa
Prawito
berkat pengalaman jatuh bangun
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Berkat pengalaman jatuh bangun
Prawito
jatuh bangun
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Jatuh bangun
Prawito
jatuh dan bangun kembali
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Jatuh dan bangun kembali
Prawito
Kita mungkin akan jatuh lagi
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Kita mungkin akan jatuh lagi
Prawito
Tapi pasti kita akan bangun kembali
Prawidi, Prawijo, Prawikun, Saklah
Tapi pasti kita akan bangun kembali
Prawito
Tepuk tangan!
Prawidi, Prawijo, Prawikun menirukan:
Tepuk tangan!
Saklah bertepuk tangan
Prawito
Tepuk tangan! Tangannya ditepuk-tepuk… seperti dia ini!
Prawidi, Prawijo, Prawikun
Bertepuk tangan
Prawito
Duduk kembali.
Sekarang dengarkan kita ulang pengetahuan kita tentang manusia.
Ini yang paling diperlukan oleh kita semua, karena berbagai kegagalan kita untuk mampu dan selamat menjadi manusia.
Kalian ngerti manusia kan?
Pernah dengar tentang manusia kan?
Prawidi, Prawijo, Prawikun
Lho piye tho. Mosok manusia ditanya apa kenal manusia…
Lha kita kan manusia…
Prawito
Belum tentu…
Membuka Pamor /Keris dari Warangka /Wadah /Sarungnya
Keris di tangan kanannya, Warangka di tangan kirinya
Manusia itu : ini! (yang di tangan kanannya)
Bukan yang ini! (yang di tangan kirinya)
Ini namanya Keris. Tidak penting wujudnya, tidak utama besi bajanya.
Karena hakekat dirinya adalah Pamornya, Sepuhannya, Wibawanya, Nilainya, Ruhnya — jadi, ini-lah manusia
Kalau ini: Tapel! Wadah. Sarung. Warangka.
Ini yang terbuat dari tanah liat, yang dulu diambil dari bumi oleh Maula Hajarala atas perintah Sang Hyang Wenang
Adam tercipta dari tanah liat
Tapi Adam bukanlah yang terbuat dari tanah liat itu
Adam adalah tiupan Roh dari perkenan Sang Hyang Wenang
Jadi, sekali lagi : ini manusia, nilai, kualitas, sepuhan, wibawa, martabat dan derajat, kepribadian, karakter…
Yang ini : gelar, jabatan, Presiden, Menteri, profesi, harta benda, mall, Negara, sistem, demokrasi, reformasi…
Mestinya ini dan ini: menyatu, melebur, dimanage secara seimbang, untuk saling mengkerjasamakan derajat kehidupan, kesejahteraan dan kebahagiaan
Tapi sekarang ini hilang!
Pembangunan hanya berdasarkan ini dan untuk ini
Manusia menyangka ini-lah dirinya, sehingga lenyaplah yang ini
Kebanyakan manusia menyangka dirinya adalah ini
Sehingga ini-nya tenggelam dan lenyap
Jadi kehancuran manusia tak perlu ditunggu atau diramal
Dan kita tidak mau itu
Kita harus berkeliling…
Dik Prawito, uborampe! Uborampe!