Tembok dan Praoto
Seiring waktu yang begitu panjang, saat menimba ilmu di dalam Majelis Ilmu Maiyah khususnya kepada Mbah Fu’ad dan Mbah Nun, insyaAllah kita semua jamaah Maiyah tentu memiliki bahkan mengalami kisah atau hikayat yang berbeda-beda, walaupun dalam perbedaan itu sering kita temukan kesamaan yang baik. Namun, saya yakin sedulur-sedulur jamaah sangat bijak mengolah bahkan menyikapi perbedaan-perbedaan itu dengan pengalaman masing-masing yang telah diperoleh saat Sinau Bareng.
Ada yang ditempuh dengan diskusi, tabayyun, bahkan di dalam secangkir kopi pun mereka menemukan hikmah asyiknya kebersamaan.
Seperti yang saya alami. Sudah belasan tahun lamanya Sinau Bareng di dalam Maiyahan Bangbang Wetan Surabaya, baru saja sadar kalau menulis itu adalah hal yang sangat penting. Suatu saat kami silaturahmi ke ndalem Mbah Fuad “Mu’allimu Al-Qur’an wal Lughotul ‘Arobiyyah“ (Marja’ Sepuh Maiyah) di Ma’had Al-Manhal–Perum Landungsari Asri Blok D No. 72 Malang. Di antara penggiatnya adalah Abdul Haris Bahauddin yang biasa kami panggil dengan AHB.
Di salah satu tembok itu saya ingat dan membaca kalimat, kurang lebihnya begini, “Ikatlah ilmu dengan tulisan”. Kalimatnya sedikit, bahkan terlihat biasa, namun sangat cukup mencambuk batin yang bodoh ini.
Berselang waktu dua tiga hari, kami bersama teman-teman ikut datang Sinau Bareng di Simpang Lima Gumul Kediri. Saat di transit salah satu lobby hotel, alhamdulillah kami diberi kesempatan oleh Allah bertemu dengan Mbah Nun. Setelah bersalaman kami semua duduk di sekitar bersama beliau, setelah itu datang pelayan mengantarkan kopi dan camilan ringan yang telah dipesan oleh Pak Slamet (Abah Jumbo).
Seperti biasa, beliau Mbah Nun tak pernah lupa bertanya tentang kabar “anak-anak cucunya”, hal yang sering beliau tanyakan kepada semua jamaah saat Sinau Bareng di mana pun tempat Sinau Bareng berlangsung baik di kota maupun pelosok desa. Beliau tak pernah lupa bahkan sungguh-sungguh memikirkan keadaan semua anak cucunya, tanpa pilih kasih, semua disapa dengan cinta, dilindungi penuh kasih sayang. Semuanya, iya semuanya.
Setelah menikmati sruput kopi, kemudian menyalakan korek api untuk merokok, tiba-tiba beliau dawuh, “Luth, sing mbok delok kabeh iku Ayat, tanduran iku opo dudu ayat, godong iku opo dudu ayat, kabeh iku ayat Luth.” (Luth, yang kamu lihat semua itu ayat, tanaman itu apa bukan ayat, daun itu apa bukan ayat, semua itu ayat Luth). Kemudian bersamaan dengan itu ada truk besar lewat melintasi jalan Raya depan hotel itu. Beliau melanjutkan dawuhnya, “Meskipun truk besar, itu juga ayat, kalau engkau mau melihat dengan Penglihatan Islam.”
Sontak hati saya kaget, kok tiba-tiba beliau dawuh seperti itu. Padahal telah beberapa hari lalu saya membaca tulisan kalimat yang ada di tembok Ma’had Al Manhal. Luka cambuk kalimat itu belum juga hilang dari ingatan malah ditambahi lagi Cemeti besar, sebesar Praoto yang lewat itu tadi, “Emaak do’akanlah anakmu ini, agar tak semakin bodoh dan tolol.”
Lanjut sambung gerilya Maiyahan kemarin, dari Mojokerto, Banjarnegara, sampai ke Dieng Jateng, saat dalam mobil, di situ saya “dihajar” habis-habisan oleh Mbah Nun.
Bermula dari tulisan redaksi caknun.com tentang Pondok Humanunggal. Sebenarnya itu rumah biasa, yang kebetulan sering ditempati Sinau Bareng, Tentang sholawat dan kegiatan lainnya, bisa Anda cari dan baca di caknun.com, lanjutan dari perjalanan Maiyahan, Mojokerto, Banjarnegara, dan Dieng. Di situ benar-benar saya malu pada diri saya sendiri. Mbah Nun menyindir habis, bahkan ceto welo-welo (jelas dan tegas) beliau dawuh, “Luth koen iku nuliso, tulisen talah opo ae sing koen oleh teko Sinau Bareng, nulis iku yo nulis, gak usah mikir liyane, asal koen gelem khusyuk koen mesti iso.” (Luth, kamu menulislah, tulislah apa yang kamu peroleh dari Sinau Bareng, menulis itu ya menulis, tidak usah memikirkan yang lain, asal kamu mau khusyuk, kamu tentu bisa), dan sebenarnya banyak cambuk yang menghunjam pada hati saya yang gelap ini. Agar tak semakin perih cukup itu dulu ya lur dulur.
Sungguh sangat baik dan benar apa yang Mbah Nun sampaikan, bahkan sesungguhnya masih banyak hikmah-hikmah, yang beliau berikan kepada kita semua bahkan sering kita dengar atau kita baca tentang “hujan deras”, namun sungguh kebodohan saya sendiri yang malas untuk meraih mutiara-mutiara itu dengan kesungguhan hati yang mendalam.
Matur sembah nuwun, Mbah Fu’ad, matur sembah nuwun Mbah Nun.
Terima kasih Ma’had Al-Manhal yang di temboknya menorehkan pesan, “ikatlah ilmu dengan tulisan.”