CakNun.com

surat dari iowa: keasingan di tepi sungai

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit

…dan Baha pun bergumam: “Inilah agaknya, pertemuan sasterawan dari segenap pelosok dunia” —

kami tertawa lepas angin melenyapkan suara itu ke angkasa…

SERAMAI 30 sasterawan dari 23 buah negara berkumpul di kota kecil yang hijau, Iowa City, Amerika Syarikat. Mereka tinggal di sini sejak 1 September 1981 hingga 10 Januari 1982.

“Suatu peristiwa unik di panggung kesusasteraan dunia terjadi di lowa City, hati Amerika,” kata Waclaw Sadkowski, sasterawan Polandia, ketika mengikuti International Writing Program ini pada tahun 1976. Acara tahunan yang lahir dari penyair USA Paul Engle ini berlangsung sejak 1967, dan kini daftar para peserta sudah melampaui angka 300 dari 60 negara.

Sesungguhnya apakah yang terjadi?

Dok. Arsip Progress

Tentu saja ada beratus malah mungkin beribu jawapan dari beratus sasterawan yang pernah mengikuti program ini, juga dari para mahasiswa University of Iowa yang menyaksikan kegiatan ini. Dari pemikiran, kesan, sikap dan sense yang berbeza sudah tentu jawapannya pun berbeza. Dong Kyu Hwang seorang penulis Korea misalnya pernah mengakui sepuluh tahun dulu: “Pengalaman saya di Amerika telah membuat saya berfikir kembali dan menilai kembali banyak hal.” Penyair Jepun, Gozo Yoshimasu mempunyai tanggapan yang lain.“Di tengah urusan politik dunia yang gaduh program ini menghadirkan suatu dunia yang harmoni.” Gabenor lowa, Robert D. Ray juga melihat dari segi itu: “Berbagai penulis dari berbagai negara yang mungkin saling berperang, berkumpul di sini untuk saling hormat menghormati dan mencintai satu sama lain, serta belajar untuk hidup dalam kedamaian.”

John Richardson, dari Educational and Cultural Affairs, U.S. Department of State, sendiri menyatakan bahawa program ini hendak mengusahakan suatu pertukaran nilai dan pengalaman budaya secara sungguh-sungguh dalam skop antarabangsa. Untuk itu dikumpulkanlah penulis-penulis yang telah terlatih dan berpengaruh di negeri masing-masing dalam kehidupan Amerika. Mereka diberi waktu yang leluasa untuk belajar, memerhati, serta sama-sama bekerja dalam suasana yang terbuka dan informal. Ini adalah kesan pertama — sesudah dua minggu kami tinggal di Iowa City.

Tetapi Baha Zain tentu merasakan sama seperti apa yang saya rasakan. Kami menjumpai diri kami, dan menyedari betapa di tengah kesempatan bertemu dengan orang-orang dari berbagai negeri dan kebudayaan ini, kami demikian fanatik dan selalu sambil tertawa mengucapkan kefanatikan itu kepada mereka: “Kami orang Nusantara, dari hujung rambut sampai hujung kaki, dari prinsip di otak sampai lombok sambal di dapur, Kami sungguh-sungguh bukan orang Amerika atau lain-lainnya”.

Minggu pertama kami hanya sibuk dengan urusan rumahtangga. Kemudian berganjak dari jamuan makan ke jamuan makan. Dari jamuan-jamuan makan yang diadakan, para peserta tidak banyak peluang untuk merundingkan apa-apa yang patut dibincangkan mengenai kesusasteraan dunia mutakhir. Betapapun, selama 4 bulan di sini, tentu cukup banyak kesempatan untuk berkumpul dan mendialogkan berbagai hal secara terencana, serta berusaha mencapai suatu interaksi intelektual yang luas dan mendalam.

II

PADA petang 10 September telah dimulakan perbincangan mengenai “Puisi Moden Amerika” dengan penyair-penyair negeri Paman Sam itu: Cid Corman, Henri Coulette, Don Justice, Larry Levis, dan Paul Engle sendiri. Kemudian 17 September diadakan pula perbincangan “Seni dan Masyarakat di China” bersama seniman-seniman negeri itu: Ding Ling, Chen Ming, Chiang Hsun, Hwang Chun Ming, Liao Wei Chun.

Yang anehnya ramai di antara kami tidak tahu siapakah gerangannya yang memutuskan untuk mengadakan kedua majlis perbincangan tersebut. Malah sepanjang Paul Engle dan isterinya, Hua Ling Nieh Engle, berbicara beribu kata, tidak nampak apa-apa yang berhubungan dengan kebudayaan antarabangsa. Satu hal yang nampak, bahkan terlalu nampak, ialah bahawa China itu penting, di samping para kulit putih itu sendiri.

Dan seorang peserta sampai terucapkan “Anda perlukan China untuk melawan Soviet”. Shipo Sepamla, seorang peserta dari Afrika Selatan pula menyindir: “Mereka para kulit putih ini tidaklah sungguh-sungguh memperhatikan kita (maksudnya para hitam dan coklat). Mereka hanya melakukan apa yang mereka harus lakukan.”

Sungguh saya tidak ingin menyentuh setiap bau-bau rasialisme, bahkan tidak untuk sekadar berbicara tentangnya. Anda tahu, ramai juga orang putih yang bersedia menghormati kulit lainnya secara jujur, meskipun harus diakui juga banyak faktor yang membikin orang putih cenderung meletakkan diri ke suatu tingkat yang tinggi yang membikin yang lainnya merasa rendah diri. Sungguh tidak enak untuk berfikir tentang hal itu di tengah-tengah berbagai kesempatan berkumpul seperti di Iowa City ini.

Pun Anda tidak usah menduga bahawa kami orang Asian atau orang Afrika dianaktirikan dalam berbagai hal. Tidak, mereka selalu memberikan layanan yang baik dan ramah. Cuma barangkali kurang kesempatan untuk lebih banyak tahu tentang Malaysia, Nigeria, Indonesia — apalagi tentang keseniannya, kewibawaan orang-orang yang kini berhadapan dengan mereka. Dan Baha, umpamanya, seperti juga umumnya kita, bukanlah seorang yang berkecenderungan untuk menunjuk-nunjukkan diri, melamar sesuatu, merayu atau apalagi merengek; meskipun memang ada kesempatan yang cukup baik. Kita orang Melayu ini selalu merendah diri. Di pertemuan kita memilih kerusi paling belakang; kalau tidak disuruh orang untuk maju tidak akan mengacungkan tangan; dan kalau pula disuruh maju belum tentu bersedia. Tetapi kita lebih senang dilamar, daripada melamar.

Jadi, untuk lebih mengenal latar belakang kebudayaan sesuatu bangsa yang mengikuti program di Iowa ini, tiap peserta haruslah berusaha sendiri. Kerana, dari program yang diadakan tidak menjanjikan apa-apa jaminan tentang ‘interaksi nilai kebudayaan secara internasional’.

III

PAUL Engle pun, penyair Amerika yang di tahun 1976 melahirkan program ini, bukanlah semestinya dikait-kaitkan dengan sentimen rasialisme ini. Anda juga tidak usah mencurigainya kalau dalam setiap acara seminar atau majlis jamuan makan selalu berbicara tentang Negara China, penulis-penulis Cina, puisi-puisi Cina, penari-penari Cina, penyanyi-penyanyi Cina dan sebagainya, seakan-akan dia memakai kacamata Cina sehingga yang nampak hanyalah Cina. Itu barangkali hanya suatu kecenderungan psikologi yang tidak usah terlalu digelisahkan. Dia beristerikan Cina, Hua Ling Nieh, dan dia amat mencintai wanita yang juga penulis itu. Soalnya barangkali sederhana saja. Bayangan-bayangan tentang latar politik umpamanya, marilah kita bualkan di warung kopi, tidak di surat semacam ini.

Kita, di dunia yang mutakhir ini, punya banyak macam basa-basi yang simple, meskipun mungkin mahal. Bayangkan berapa banyak duit untuk membiayai sekian puluh penulis untuk terbang ‘membelah bumi’? Suatu petang, di rumahnya, Paul Engle berkata kepada saya: “Saya ini anggota Nobel Prize. November nanti kami berkumpul di New York untuk berunding menentukan pemenang. Saya ingin kali ini Indonesia menerima penghargaan itu. Tolong anda tunjukkan siapa novelis yang bagus dari Indonesia”. Saya sebut langsung nama Pramoedya Ananta Toer dan saya tuliskan beberapa judul novel mutakhirnya. Engle agak tidak puas kerana agaknya dia ingin saya menyebut nama lain, dan dia kemudian meminta saya nama-nama kuat lain dari negeri saya. Saya sebut Nasyah Djamin, M. Diponegoro dan lain-lain kalau memang harus novelis. Dia tetap tidak puas. Dan akhirnya saya ingat satu nama yang kira-kira mempunyai ketokohan yang lebih internasional dibanding sekalian penulis lainnya. Saya sebut nama itu, dan bola mata Engle terbit seketika: “Yaa, itulah yang saya maksud, saya ingin dia menerima hadiah itu!” Saya bertanya: “Novel Mochtar yang mana yang anda sudah baca.” Dia menjawab, “Belum, belum….” Dan saya mengeluh.

Saya makin bisa membayangkan apa yang terjadi di meja perundingan Nobel Prize, meskipun tentu saja tidak tahu yang sebenarnya. Dan, sekali lagi, marilah kita bicarakan itu nanti di warung kopi.

Percayakan perbualan kita di warung kopi itu akan lebih hebat, menukik dalam dan mendasar, dibanding diskusi 10 September selama 2 jam bersama 6 penyair Amerika itu. Bukan hanya kerana waktu terlampau sempit, atau kita hanya sempat mencicipi sejemput steak USA dengan hujung jari telunjuk kita — tetapi juga kerana diskusi itu akhirnya terperosok kepada satu konsentrasi tema yang unik: untuk penulis-penulis Amerika, menulis bentuk sonnet itu relevan atau tidak, punya akar atau tidak, Dan sungguh hanya itu. Dan yang saya sebut ‘hanya’ itu mungkin memang penting untuk sastera mutakhir Amerika, bahkan sastera mutakhir dunia, yang pasti makin menjulang tinggi, di tengah seribu masalah politik yang gaduh dan makin memuakkan, di tengah kemungkinan Perang Dunia ke-III, di tengah kemelaratan dan penderitaan dari hari ke hari rakyat Dunia ke-V — (Dunia ke-III adalah warga pemerintah negara berkembang yang punya minyak, Dunia ke-IV adalah warga pemerintah negara berkembang yang tak punya minyak, dan Dunia ke-V adalah seluruh rakyat bawah dari semua negara berkembang).

Siapa mengatakan bahawa IWP ini harus juga berfikir atau paling tidak sedar tentang penderitaan para warga dunia ke-V itu, maskipun berbagai sasterawan dunia di awal tulisan ini banyak berbicara tentang perdamaian dunia, kelahiran suatu dunia yang damai.

IV

BAHA adalah peserta yang segera bersiap dengan baju dingin kerana dialah yang paling kurus di antara lainnya. Musim gugur belum lagi tiba, apalagi salju, tetapi udara telah begitu basah, angin menusuk seperti jauh ke dalam jiwa, dan lowa adalah antara negeri yang pergolong paling dingin di antara tetangga-tetangganya di USA. Matahari sangat pelik dan kesejukan membungkus kota. Betapa pun saya berusaha sombong dengan hanya selalu memakai T-shirt — setidaknya menjadikan tubuh tidak manja — tetapi angin sore di sungai Mississippi tidak bisa diajak kompromi. Hari 15 September yang indah, tetapi juga penuh ironi. Anda tahu, penulis-penulis diajak ke sana ke mari untuk mengenal ‘kehidupan Amerika’. Tidak hanya mengenal sistem kehidupan kota yang serba automatis, mekanisme di University of Iowa, tempat-tempat di mana mereka bisa belanja tempe atau kicap atau buku-buku twedehand; tapi juga lebih jauh. John Derre Foundry, kilang yang mengeluarkan alat-alat moden untuk pertanian, diperkenalkan sebagai salah satu lambang dari prestasi peradaban negeri Paman Sam ini — yang ditandai oleh inovasi teknologi. Kilang yang raksasa di East Moline ini tidak hanya melambangkan kecemerlangan intelektual bangsa terkemuka ini, tapi juga ia sangat memerhatikan segi-segi spiritual. la punya art centre, di sana sini bisa dijumpai karya seni rupa dari tangan berbagai nama terkenal, terutama seni ukir karya Henry Moore. Suasana sekitarnya pula dibikin seartistik mungkin di samping hiasan dinding berupa alat-alat pertanian tradisional.

Kagum? Tentu. Sangat mengkagumkan. “Its crazy!” celetuk Desmond Hogan, novelis Irlandia. Saya takjub melihat pemandangan kilang itu dan karya senirupa yang fantastik, sekaligus pertunjukan teater yang mungkin sekali tragik. Ini adalah pengucapan terpenting dari peradaban abad ini yang melahirkan segala perkembangan dan kemajuan. Tetapi dalam konteks menyeluruh dari kehidupan umat manusia, ia adalah juga bahagian dari proses manusia membunuh kehidupannya sendiri. Tema ini, saya yakin sudah beberapa tahun silam menjadi topik pembicaraan anda sekalian.

Demikianlah yang tadi saya sebut ‘indah, tapi juga penuh ironi’. Sesudah menjelajahi kilang itu jamuan makan pun dilangsungkan. Basa-basi internasional yang mahal. Kemudian berpesiar dengan kapal kecil di sungai Mississippi — legenda yang pasti mengingatkan anda pada Tom Sawyer, Huckleberry Finn, Life on Mississippi — karya-karya gemilang Mark Twain.

Kami diajak mengunjungi Museum of Art, Iowa City, yang penuh karya-karya besar meskipun anda akan sia-sia kalau mencari buah tangan nenek moyang kita dari Asia Tenggara. Kemudian dingin udara hari itu memuncak, ketika kami mengunjungi rumah dan sawah serta ternak sapi petani John Dain, putera yang pertama kali bercucuk tanam di negara bahagian ini. Petani Amerikalah! Dia memiliki beratus ekar tanah tanaman jagung, beratus sapi, berpuluh peralatan dan kemudahan yang amat moden adalah contoh kemajuan petani Amerika. Anda bisa bayangkan sendiri. Rumah Gabenor saya di Surabaya pun tidak semewah itu. Dalam pembicaraan kita jangan dibandingkan dengan pertanian di Kelantan atau di Jombang.

V

MENDENGAR lagu-lagu China dari penyanyi profesional negeri itu dan melihat tariannya. Tidak habis-habis pula memperkenalkan tentang Ching, Shien dan Ding. Sipho mengurung diri di kamar, Anton Sham menghilangkan diri, beberapa kawan lain memerhatikan acuh tak acuh, Baha tertawa-tawa terus dan saya menikmati semua itu. Saya berkesempatan juga berbual-bual dengan Cid Corman tentang puisi Haiku, dengan Gozzo Yoshimasu tentang jiwa dan api, dengan Harriet tentang cinta dan Zen Budhism, saya belajar kembali bahasa Arab pada Hani Al Kadi dan Ahmad Harb, saya temui penulis puisi remaja Amerika yang mengikuti Writers Workshop, berbual-bual tentang politik, dan segala sesuatu. Segala sesuatu bisa dan enak dinikmati asal kita mampu menikmatinya.

‘Ilmu keledai’ ternyata sangat penting; telinga lebih besar dari mulut. Ertinya punya kemampuan untuk mendengarkan dan melihat orang lain, daripada terlalu banyak membuka mulut sendiri. “Itu orang banyak sekali cakap, sehingga saya tahu hampir semua tentang dirinya sementara dia tak tahu apa-apa tentang diri saya,” kata Baha dengan senyumnya yang nakal. Saya kira memang itulah jawapannya. Itulah cara memanfaatkan pengalaman ini.

Kami semua tinggal di May Flower Apartment, di tepi sungai Iowa yang sunyi. Kadang-kadang kami terasa asing dan sepi. Tapi percayalah Baha dan saya menikmati itu semua sambil tertawa.


Dimuat dalam Majalah Dewan Sastera Malaysia, edisi 15 Desember 1981/18 Safar 1402, hal. 41-43

Lainnya

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik