Spontanitas Shalawat
SALAH satu yang paling mengasyikkan dalam pertemuan-pertemuan massal seperti itu, baik di Manukan, Mojosari, Watutulis, Gunung Anyar atau di manapun — adalah spontanitas shalawat atas Nabi yang selalu menghiasi bibir para jamaah.
Begitu terdengar berita bahwa Anda sudah hadir, seseorang akan berteriak — “Allohumma Sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad!”
Kemudian seluruh hadirin spontan menjawab serempak — “Allohumma sholli wa sallim ‘alaiiih!”
Dalam satu acara, spontanitas shalawat semacam itu bisa terdengar puluhan kali. Begitu hidung Anda nongol di depan mereka, shalawat terdengar dengan keras.
Setiap kali mereka merasa menyetujui suatu pembicaraan di tengah pengajian, langsung terdengar pekikan shalawat.
Nanti Anda selesai omong di depan mereka dan undur diri dari mikropon, shalawat terdengar lagi. Bahkan ketika Anda masuk kendaraan yang akan membawa Anda pergi dari tempat itu, langsung terdengar juga shalawat.
Apa artinya?
Pertama, itu cara mereka bersyukur. Atau cara mereka bergembira. Cara mereka mengungkapkan keterharuan, kesetujuan, semangat atau harapan.
Kedua, shalawat Nabi adalah suatu pilihan. Muhammad SAW, mereka pakai sebagai lambang dari segala sepak terjang mereka, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Muhammad SAW, mereka putuskan untuk menjadi idola mereka. Lainnya bukan idola. Ahmad Albar bukan idola. Nike Ardilla bukan idola. Gus Dur dan Amin Rais bukan idola. Apalagi Emha Ainun Nadjib atau Tarzan dan Asmuni.
Muhammad SAW idola mereka, karena beliau sajalah yang bisa memimpin mereka berjalan menelusuri perjalanan hidup menuju Sang Maha Idola.
Harian Yogya Post, 20 Desember 1997