CakNun.com

Solusi, Sedekah, dan Spirit Meneliti

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Kali pertama saya bersua dan berbincang dengan Mas Ahmad Karim, penggiat Mafaza Eropa, adalah di forum Mocopat Syafaat edisi Desember 2018. Empat tahun silam. Meski sudah lama, ada satu ungkapan dari beliau yang masih terekam hingga sekarang. Ketika kami sama-sama duduk di atas panggung Mocopat Syafaat, Mas Karim berbisik kepada saya, “Forum atau majelis ilmu yang mampu mengasah logika, mengaduk emosi, serta menyentuh relung spiritual, hanya berhasil saya temukan di Maiyah. Tiga komponen sekaligus kita dapatkan di Maiyah.”

Foto: Adin (Dok. Progress)

Apa yang diutarakan beliau tentu kita pun mengiyakan dan merasakannya. Maiyah bukan sekadar oase, melainkan samudera. Ibarat prasmanan, limpahan nutrisi tersaji di sana. Dan kita berdaulat untuk mencicipi, mereguk, melahap apa sesuai dengan porsi kita. Sejak saat itu, saya belajar kepada Mas Karim. Saya tertarik mengikuti dan menelusuri pemikiran, gagasan-gagasan, riset beliau lewat tulisan di kanal caknun.com, buku, media sosial, dan sesekali via japri.

Itulah kali pertama dan terakhir saya berjumpa dengan Mas Karim. Rentang jarak dan waktu menghalangi kita untuk bertemu. Sampai akhirnya pada malam 17 September 2022 kemarin, Mas Karim diperjalankan kembali hadir di Mocopatan. Meski tak bertatap langsung, hati ini serasa nyambung. Yang khas dari Mas Karim adalah menyampaikan paparan dengan lugas dan cerdas. Enak sekali menyimaknya.

Ada dua hal pokok yang diutarakan Mas Karim terkait Maiyah. Tentang struktur dan fungsi. Menurut beliau, struktur itu perlu, akan tetapi yang terpenting adalah fungsi. Kemudian beliau melempar pertanyaan. “Kira-kira pilih mana, kecil fungsional atau gedhe impoten? Kalau teman-teman Maiyah mungkin akan menjawab, gedhe dan berfungsi,” kelakar beliau diiringi tawa Jamaah. “Nah, tanpa bermaksud mengecilkan, Maiyah itu yang ditonjolkan bukan strukturalnya melainkan nilai fungsional,” terang beliau.

Mas Karim yang saat ini tengah menempuh studi doktoral bidang Antropologi di Universitas van Amsterdam kemudian berkisah tentang disertasinya yang hampir lima tahun tetapi belum kunjung usai. Salah satu penyebabnya adalah wabah pandemi yang melanda bumi. Risetnya terpaksa terhambat lantaran aturan protokol kesehatan yang diterapkan di seluruh bagian negara di dunia. Setiap kendala, pasti ada solusinya. Itulah salah satu etos Maiyah yang dipegang oleh Mas Karim yang menguatkan dirinya untuk menyelesaikan project disertasi segera.

Mas Karim juga menemukan sebuah analogi menarik perihal dimensi Maiyah. Beliau menjelaskan bahwa di dalam tubuh kita terdapat organ kecil yang sering dilupakan padahal sangat vital fungsinya. Namanya tulang rawan. Ia sejatinya bukan tulang, bukan daging, bukan juga otot. Tulang rawan ini berfungsi sebagai penyambung antara tulang dengan tulang, tulang dengan daging, dan antar sendi. Menyambungkan yang keras dengan yang keras. Yang lunak dengan yang lunak. Atau yang keras dengan yang lunak. Tak bisa dibayangkan jika dalam tubuh kita ini tidak ada organ kecil yang bernama tulang rawan. Tanpa tulang rawan, organ dalam tubuh pasti mengalami disfungsi.

Melalui pemaparan tersebut, Mas Karim sekali lagi ingin menegaskan bahwa dalam Maiyah yang utama adalah fungsi. Kalau dalam peta Indonesia, Maiyah hanya dianggap atau dilupakan layaknya tulang rawan, tidak apa-apa. Sama sekali bukan masalah. Sudah sejak dulu Maiyah bersama Mbah Nun bersedekah untuk Indonesia. Etos Maiyah adalah sedekah. Walau kecil tapi berguna itu lebih baik. Dan yang kecil-baik InsyaAllah akan terus tumbuh tambah besar, dengan dipupuk dan disiram. Setiap kita pasti memiliki kemampuan, keahlian, dan nilai guna yang berbeda-beda. Itulah yang mesti dimaksimalkan agar terus memberi manfaat bagi kehidupan.

Sebelum menutup, Mas Karim mengingatkan kepada seluruh Jamaah, terutama rekan-rekan yang masih kuliah, agar bersungguh-sungguh meneliti dimensi lain yang terkandung di Maiyah. “Yok rek, teliti rek! Menggali satu perspektif dari samudera nilai Maiyah. Mengamati, menganalisis, mengambil hipotesis, dan mengulanginya. Terus-menerus. Begitu siklusnya. Karena hal itu pula yang ditempuh oleh Mbah Nun selama berpuluh-puluh tahun. Mbah Nun adalah seorang peneliti sejati,” puji Mas Karim. Ada baiknya, apa yang kita teliti ditulis menjadi sebuah tulisan. Syukur-syukur, kelak dapat dibuku-kan. Semoga.

Dari riset Mas Karim, kita belajar tentang etos Maiyah yang meliputi solusi, sedekah, hingga spirit meneliti. Apakah hanya cukup itu saja? Tidak! Meneliti, merefleksikan, dan kemudian mencatatnya menjadi tugas kita selanjutnya.

Gemolong, 20 September 2022.

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Grand Prix Merde-kah?

Grand Prix Merde-kah?

Alhamdulillahirobbil’alamin. Awalnya hanya kalimat ini yang menjadi fokus perhatian saya menjelang genap usia satu tahun Mafaza yang sudah di-tumpeng-i awal Agustus lalu.

Ahmad Karim
Ahmad Karim