CakNun.com
Mengenang 129 Tahun Kampung Sunda-Jawa di Chicago (2)

Sindikat Jawa Chicago dan Kopi Java yang Legendaris di Amerika

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 4 menit
Warga Parakan Salak dan Sinagar dari Sukabumi yang membangun Kampung Sunda-Jawa berpose di depan kediaman mereka selama di Chicago. Foto koleksi dalam buku Portfolio of photographs of the World’s Fair.

Saya akan terharu bila klaim masjid nusantara sebagai salah satu masjid pertama di Chicago diakui. Tapi ada perasaan berkecamuk antara bangga dan tidak, bila mengetahui alasan keberadaan orang-orang Sunda dan Jawa di Chicago ini. Karena mereka diboyong jauh-jauh ke sini hanya sebagai komoditas yang dipamerkan oleh bangsa kolonial, sama seperti beberapa tahun sebelumnya mereka dipamerkan di Amsterdam dan Paris. Mereka diboyong ke sini oleh sebuah sindikat.

Kala itu, kolonialisme sedang jaya-jayanya. Tidak bisa dibayangkan pola pikir tahun 2022 berlaku untuk tahun 1893. Sekarang kita bisa berpikir dan merasa sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain di sebuah pertemuan dunia. Tapi pada masa itu, bangsa jajahan hanya dipandang lebih rendah. Dianggap hanya manusia kuno dari negeri eksotis yang harus diperadabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Seakan, ribuan tahun hidup di nusantara itu terbelakang yang tak mampu membangun Borobudur.

Kampung Jawa tampak depan dengan masjid kecilnya di sebelah kanan. Foto arsip Chicago History Museum.

Alkisah, pada penghujung abad ke-19, kota Chicago berhasil memenangkan kesempatan untuk menjadi lokasi penyelenggaraan pameran dunia, mengalahkan kota-kota lain seperti New York City, Washington DC, dan St. Louis. Pameran ini diberi judul “World’s Columbian Exposition” sekaligus untuk merayakan 400 tahun kedatangan Christopher Columbus ke tanah Amerika.

Bila hari ini pameran dunia itu popular disebut World’s Fair atau World Expo, dan digelar di gedung-gedung pameran yang super besar dan luas, pada abad ke-19 rata-rata pameran serupa diadakan di tanah lapang. Pameran dunia tahun 1893 itu ditempatkan di taman dan tanah lapang, yang berjarak sekitar 10 kilometer di selatan pusat kota Chicago. Tepatnya di Jackson Park dan Midway Plaisance. Lokasi kedua ini berada di lingkungan kampus Universitas Chicago.

Peta lokasi pameran seluas 280 hektar. Jackson Park di sisi timur di tepi danau Michigan, dan Midway Plaisance–tempat Kampung Sunda-Jawa dibangun–memanjang ke barat.

Total area tanah yang digunakan untuk pameran, seluas 280 hektar. Untuk kebutuhan pameran yang diikuti 46 negara ini, dibangun hampir 200 bangunan semi permanen yang sebagian di antaranya berukuran megah. Bangunan megah yang tersisa sampai hari ini adalah Museum of Science and Industries yang kini sudah permanen. Jika ingin melihat memori pameran saat itu, teman-teman bisa berkunjung ke tautan ini.

Pameran dunia ini bermula pada tahun 1851 di London dan selanjutnya digelar di kota-kota lain di dunia. Sisa salah satu pameran dunia yang hingga kini masih tegak berdiri dan tetap menjadi daya tarik adalah Menara Eifel. Menara ini sengaja dibangun ketika Paris menjadi tuan rumah pameran dunia tahun 1889. Ketika berikutnya Chicago jadi penyelenggara tahun 1893, dibangunlah sebuah kincir ria atau bianglala raksasa yang disebut Ferris Wheel. Ini menjadi wahana favorit pengunjung selama pameran, namun tidak berhasil mengalahkan kemasyhuran Menara Eifel pada pameran sebelumnya.

Menenun, salah satu kegiatan yang disuguhkan di pameran. Foto dalam buku panduan tentang Java Village, koleksi Perpustakaan Universitas Hardvard.

Pameran dunia semacam ini memang lahir dari semangat industrialisasi kapitalisme dan kolonialisme saat itu, sebagai wadah untuk memasarkan produk-produk unggulan dari seluruh dunia, dari semua wilayah jajahan. Kala itu, produk unggulan dari nusantara berasal dari segmen agrobisnis: kopi, teh, dan kakao. Nah, dalam kaitannya untuk memasarkan produk agrikultur inilah, 125 manusia dari pulau Jawa digotong sampai Chicago.

Ceritanya, pemilik perkebunan teh di Parakan Salak dan Sinagar di Sukabumi, yang notabene adalah orang Belanda, ingin memasarkan produk tehnya langsung ke pasar Amerika, tanpa melalui perantara di Belanda dan Inggris. Pangsa pasar teh di Amerika sangat besar, namun keterkenalan komoditas teh dari nusantara belum seperti kopi yang saking terkenalnya, pada abad ke-19, sinonim istilah kopi di Amerika adalah Java. Setidaknya, ini disampaikan oleh Henry Spiller dalam bukunya Javaphilia: American Love Affairs with Javanese Music and Dance yang terbit tahun 2015.

Penduduk kampung ini secara natural menarik perhatian dan merebut hati pengunjung pameran dengan keramahan dan kesopanan khas kita meskipun di mata mereka, bangunan yang dibangun dari perspektif warga Amerika dipandang primitif. Foto koleksi dalam buku Portfolio of Photographs of the World’s Fair.

Ya, Java yang dimaksud di sini adalah Jawa, karena kualitas kopi terbaik yang beredar di Amerika, bahkan dunia kala itu, memang berasal dari pulau Jawa, tepatnya dari pegunungan tanah Pasundan. Walaupun, baik teh dan kopi bukan tanaman asli negeri kita. Akibat Belanda bangkrut gara-gara Perang Diponegoro, kita dipaksa menanamnya, untuk hasilnya dijual di Barat, dan keuntungannya bisa untuk membangun kota Amsterdam yang sampai kini mereka banggakan itu.

Ketika saya menekuni dunia perkopian medio 2013, ada catatan sebuah campuran kopi pertama di dunia dan sangat legendaris, bernama Mocha-Java. Sebuah percampuran dahsyat panggangan biji kopi dari tanah pulau Jawa dan negeri Yaman. Sekarang, memori yang tersisa tentang kopi legendaris yang merajai Amerika dari nusantara ini, adalah bahasa pemrograman komputer bernama Java. Logonya sendiri berupa secangkir kopi panas, yang kini dimiliki perusahaan raksasa Oracle.

Salah satu keluarga yang dibawa ke Chicago. Foto dalam buku panduan tentang Java Village, koleksi Perpustakaan Universitas Hardvard.

Tatkala ada kesempatan pameran dunia di Amerika, produk teh nusantara mendapat peluang untuk lebih terkenal. Agar lebih menarik, tidak hanya dengan memamerkan produk, konsep jualannya pun harus lebih komprehensif dalam paket eksibisi kebudayaan. Ini sejalan dengan niat panitia World’s Fair di Chicago kala itu, yang ingin menunjukkan pencapaian pesat Amerika dalam seni dan teknologi industri, yang ditekankan dalam citra pameran bersih, rapi, dan berbudaya.

Tentu ini hanya pencitraan di balik diskriminasi ras yang secara formal masih terjadi sampai tahun 1960-an, dan yang terselubung masih ada sampai hari ini. Amerika pada tahun 1893 itu, ingin menarik lebih banyak pengunjung dunia mengalahkan pameran 1889 di Paris sebelumnya.

Halaman sampul buku panduan tentang Kampung Sunda-Jawa dan pertunjukan yang disuguhkan. Foto dalam buku panduan tentang Java Village, koleksi Perpustakaan Universitas Hardvard.

Paket pameran kebudayaan bertajuk Kampung Jawa pada World’s Fair 1893 ini dikelola oleh sebuah Event Organizer (EO), yang disponsori pemilik perkebunan teh di Sukabumi. Dari sebuah buku panduan tentang paviliun pameran dari nusantara yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Harvard, EO ini bernama Java Chicago Exhibition Syndicate. Jadi, inilah sindikat yang nyangking orang Sunda dan Jawa ke Chicago.

Chicago, 5 Oktober 2022

Lainnya

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Salah satu pertanyaan workshop dalam Sinau Bareng di balai desa Condongcatur pada hari Jum’at malam 20 Desember 2019 menarik perhatian saya.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil