CakNun.com

Sinau Kecerdasan Kepada Mbah Nun

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Di luar jam mengajar, saya punya kerja sampingan untuk menambah pundi penghasilan. Selain dodolan kaos (polos dan sablon), saya juga kerap diundang untuk menjadi pembawa acara/MC, moderator, hingga narasumber berbagai acara dan kegiatan. Baik yang resmi, semi resmi, atau yang bersifat intern (kekeluargaan).

Foto: Adin (Dok. Progress)

Meski acara dan jobdesk-nya (MC/moderator/narsum) beda-beda, namun ada satu rumus yang sama yang menjadi pegangan saya. Yakni setiap membuka acara selalu berupaya mengawali dengan ungkapan yang mampu merebut hati audiens/peserta/jamaah. Caranya? Macam-macam. Bisa dengan pujian, jokes/guyonan, atau ungkapan menarik lainnya. Ketika berhasil merebut hati audiens di awal acara, maka selanjutnya akan berjalan lebih mudah. Panggung seolah menjadi milik kita.

Dalam hal ini, saya belajar banyak kepada Mbah Nun. Figur yang mengagumkan ketika berada di atas panggung. Beliau sangat cakap menjadi pembicara, penceramah, penutur, penyampai, pengurai, hingga orator ulung. Tak heran hal itu membuat banyak orang merasa jenak, nyaman, untuk mengikuti acara atau forum yang melibatkan beliau. Mulai dari diskusi, sarasehan, talkshow, teater, sampai Sinau Bareng.

Yang terbaru salah satunya saat Mbah Nun diundang oleh JSM (Jaringan Saudagar Muhammadiyah) untuk menjadi pembicara dalam acara Safari Bisnis dan Halal bihalal, yang berlangsung pada Ahad, 15 Mei 2022, bertempat di aula PWM Yogyakarta. Acara bertajuk Membangun Ekonomi Berkebudayaan dan Berkemajuan tersebut dimoderatori oleh Bapak Munichi Edress (sahabat SMA Mbah Nun), dan Mbah Nun sendiri bertindak sebagai narasumber.

Selepas membuka acara, syahdan Pak Munihi mempersilakan Mbah Nun untuk memaparkan pandangannya terkait tema. Dan kalimat pembuka dari Mbah Nun usai uluk salam sungguh segar dan menyejukkan. “Pak Munihi ini gennya Nabi Yusuf. Meski usianya sudah 70 tahun, tetapi wajahnya 35.” Ungkapan tersebut langsung disambut tawa dan tepuk tangan hadirin. Dengan memakai kemeja motif warna warni dipadu kacamata bulat dan topi pet hitam, Pak Munichi tampil muda, tampan, dan elegan. Itulah alasan kenapa Mbah Nun menyebut Pak Munhi gennya Nabi Yusuf. Ancene nggantheng tenan. Mbah Nun bercanda berdasarkan fakta.

Istilah “gennya Nabi Yusuf” yang disampaikan Mbah Nun ini sungguh menarik. Baru kali ini saya mendengarnya. Dan terbukti kalimat tersebut berhasil merebut hati para hadirin. Apakah istilah itu murni spontan diucapkan Mbah Nun? Atau sebelumnya telah direka-reka dan direncanakan? Yang jelas istilah tersebut muncul salah satunya berkat kecerdasan. Cerdas membaca situasi dan kondisi. Baik fisik maupun psikologis. Dengan kata lain memiliki sensitivitas atau kepekaan.

Bagaimana Mbah Nun bisa memiliki kecerdasan (fathonah) itu? Ya tentu saja sinau. Belajar sungguh-sungguh (siddiq). Bertahun-tahun. Bahkan berpuluh-puluh tahun. Sependek pengetahuan saya, kecerdasan beliau dibentuk dan ditempa melalui proses Iqra’ yang panjang (membaca literer-non literer, dan menulis). Ditambah etos srawung dan bebrayan dengan banyak genre orang. Itu beliau lakukan sejak dulu hingga sekarang. Sederhananya, semakin banyak srawung dan sregep “membaca”, semakin kaya perbendaharaan pengetahuan kita. Begitu kira-kira.

Sepertinya hal ini sepele, namun bagi saya yang setiap saat bergelut dengan acara demi acara, memiliki kecerdasan membaca (situasi dan kondisi) itu sangatlah penting. Sebab pengisi acara (MC/narsum) yang “cerdas” akan mampu menciptakan suasana asik, intim, gayeng, yang membuat audiens enjoy mengikuti acara. Sebaliknya, jika pengisi acara “tidak cerdas” alias monoton, flat, garing, pasti para peserta akan ngantuk, bete, badmood, ujung-ujungnya scroll HP, atau malah memilih tidur. Dan pemandangan demikian akan sulit kita temui di forum Maiyahan atau Sinau Bareng. Mbok sampeo subuh, jamaah masih on terus.

Dengan demikian, seorang MC/narasumber yang memiliki kecerdasan membaca dalam membawakan acara, akan diminati dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Efeknya ia akan sering diundang dan mendapatkan nama baik.

Pada intinya, terima kasih dengan sangat Mbah Nun, kami telah belajar banyak tentang kecerdasan membaca lewat cara berpikir, kosakata, quote, idiom, dan apa saja yang baik-baik yang datang dari Panjenengan. InsyaAllah itu semua akan kami daya gunakan untuk menebar manfaat sebaik-baiknya. Seluas-luasnya.

Sebagai penutup, di malam 27 ini kami ingin mengenang seraya banyak-banyak berdoa. Teruntuk semua saksi (hidup dan mati) gempa Yogya 2006 silam, semoga mendapatkan ampunan-Nya. Kagem (alm) Yai Muzammil, semoga tenang dan lapang kuburnya. Tak lupa selamat hari jadi kota Sragen tercinta ke-276 tahun, teruslah guyub rukun, akur lan nyedulur. Wabil khusus Mbah Nun, mugi-mugi tansah kanugrahan panjang umur, luhur, saha makmur. Bi barokati Al-fatihah.

Gemolong, 25 – 27 Mei 2022

Lainnya