Satu Truk Pasir
Hidup ini, haruslah penuh gengsi. Sebab pada gengsilah terletak harga diri. Dan tanpa harga diri, apa gerangan yang bisa dihadirkan oleh seseorang di tengah teman-teman, para tetangga dan relasi-relasi? Siapapun di dunia ini pasti membenarkan hal ini. Kalau tidak, maaf, tak usah kenal sama Gondo Laksono dan dalam hidup ini janganlah sekali-kali menyebut namanya.
Gondo, dengan istri dan empat putra putrinya, memang hanya seorang supir truk. Tapi gengsi sama sekali tak ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat profesi seseorang. Melainkan tergantung kemampuannya menghadirkan diri, memberi kesan, dan mengolah arti profesinya itu bagi penampilan harga dirinya. Jika tidak demikian, Gondo bukanlah Gondo. Yang penting seseorang itu jangan sampai bodoh dalam meletakkan diri. Semua orang tahu, tidak mungkinlah Gondo Laksono bisa sedemikian terhormat, jika tidak karena kepintaran semacam itu.
Demikian, maka ditetapkanlah keputusan itu, dengan tekad yang bulat dan dada berdegam-degam. Gondo menghabiskan sisa Es Sprite-nya, kemudian berkata kepada Ibu warung langganannya: “Tambah jeroan ayam itu tiga, emping lima dan gudang-garam sebungkus. Catat saja di buku bon….”
Ibu warung itu melengos, tapi kemudian hanya bisa menarik nafas panjang. Hutang Pak Gondo sudah hampir mencapai 30 ribu dan belum ada tanda- tanda akan melunasi. Order-order angkutan truk akhir-akhir ini memang seret, tapi kewajiban membayar jika orang membeli tak ada hubungannya dengan order truk.
Gondo beranjak tanpa perduli. Keluar warung. Segera dipanggilnya Suhar, kernetnya. “Ya Pak!” jawab sang kernet, loncat bangun ia dari kantuknya di bangku panjang samping warung.
“Kita ke Code sekarang.”
“Ada angkutan?”
“Tidak! Kita beli pasir!”
“Pasir?”
“Ya! Kenapa?” wajah Pak Gondo nampak kesal dan suram. Suhar tidak cukup bodoh untuk tak menangkap suasana itu. Maka ia diam dan segera menyiapkan truknya. Sendirian mereka terkatung-katung di warung itu. Order amat sepi. Sopir-sopir itu bersedih sepanjang hari, menutupinya dengan senda gurau kosong atau menguap-nguap saja seperti tubuh truknya yang menganga disiram terik. Dari sekitar 15 truk hari ini hanya dua yang dapat rejeki. Jancuk betul juragan-juragan itu!
“Pasir untuk siapa Pak?” tanya Suhar ketika truk mulai digas keras-keras oleh Pak Gondo. Sang sopir ini ternyata makin berang oleh pertanyaan itu.
“Untuk siapa?” ia ganti bertanya dengan nada sesak. “Ya untuk saya! Memangnya untuk mBah-mu!”
Suhar terkatup. Matanya dilempar jauh-jauh ke depan sambil satu tangannya menepuk-nepuk pahanya. Alangkah pandirnya aku, pikirnya. Dan tak sepatah pun mulutnya mengeluarkan kata-kata sesudah itu. Ia ikut Pak Gondonya saja dengan bengong. Kenapa pula ini orang, gumamnya dalam hati. Terkadang diliriknya muka Pak Gondo yang mendung, mulutnya yang lebih banyak bungkam dan ini agak berbeda dengan biasanya, kemudian muka berminyaknya yang tak diusap, serta topinya yang dipakai terbalik.
Sang kernet ini patuh-patuh saja pada suasana. Truk berhenti di pinggiran kali Code, tempat orang ambil pasir dan menjualnya. Setelah berhenti, Pak Gondo menekan gas dengan kasar sebelum mematikan mesinnya. Lantas buka pintu, turun, dan menutup pintu itu keras-keras. Suhar sebenarnya ingin tertawa, tetapi karena tak ada teman untuk itu, maka ia putuskan nanti saja di rumah ia tertawa sepuas-puasnya.
Satu truk penuh! Untuk apa gerangan Pak Gondo membeli pasir sebanyak itu. Rumahnya memang kecil, kira-kira 3 kali 5 meter, terbuat dari kayu sederhana, terhimpit di antara rumah-rumah pepat di pinggir jalan agak ke pinggiran kota. Tapi sepengetahuan Suhar keadaan ekonomi Pak Gondo ini agak kurang cocok dan kurang masuk akal untuk dihubungkan dengan rencana pembangunan rumah. Tapi, yaa — pikir Suhar — siapa tahu Pak Gondo menang lotre. Dia kan orang baik. Suka nolong. Suka nraktir. Suka ngasih uang sama kawan. Kalau ada kerusakan mesin pada truknya rekan-rekan sopir lain, tak ada lain, Pak Gondolah yang turun tangan memperbaiki tanpa diminta. Ia ahli. Dan istimewanya tak mau diberi upah untuk itu. Ingat saja dulu waktu dia jadi sopir Bemo. Hampir tiap hari di depan rumahnya nongkrong tiga atau empat bemo yang rusak dan diperbaiki olehnya, tanpa memungut bayaran. Sesungguhnya tidaklah bisa dibayangkan bahwa masih ada orang yang lebih dari Pak Gondo di kota ini. Jadi kalau Tuhan menjatuhkan kemenangan lotre kepadanya, sangat masuk akal. Itu imbalan yang sepantas-pantasnya. Bayangkan saja, ketika dia sibuk memperbaiki kerusakan truk atau bemo rekan-rekannya, dia tidak memperdulikan bagaimana keuangannya sendiri. Padahal anaknya empat. Alhasil wajarlah kalau Tuhan turun tangan menolongnya.
“Ayo Har!”
Suhar terkejut. Segera ia naik dan tak bertanya hendak ke mana sekarang. Pak Gondo mengendalikan truk lebih cepat dari biasanya. Terasa sekali ia ingin cepat-cepat sampai ke tujuan.
Ternyata memang ke rumahnya. Dengan gagah ia membelokkan truknya ke halaman rumahnya. Yaa sebenarnya bukan halaman, hanya jarak beberapa meter antara bagian depan rumahnya dengan jalan besar. Semua tetangga menyaksikan kegagahan truk itu. Istrinya, sambil menyusui putranya yang terkecil, berdiri menyambut kedatangan suaminya. Pak Kodrat, tetangga sebelah yang kebetulan ada di depan rumahnya, juga berdiri menyongsong Pak Gondo.
“Pasir?” Pak Kodrat bertanya.
“Ya!” jawab Pak Gondo sambil dengan gagah turun dari truknya.
“Mau dibawa ke mana?”
“Ke mana? Ini telah sampai ke tujuannya?”
“Ada rencana baru rupanya?”
Pak Gondo tersenyum, “Saya ingin ganti tembok kayu ini dengan tembok bata,” katanya.
Pak Kodrat tersenyum-senyum. Tapi istri Pak Gondo nampak heran oleh jawaban suaminya terhadap Pak Kodrat. Tapi di depan tetangga tentu saja tak baik ia bertanya sesuatu.
Sementara Suhar menurunkan pasir itu dari truk, Pak Gondo masuk rumah. Istrinya mengambilkannya minuman. Pak Gondo menghempaskan tubuhnya di kursi. Nafasnya tersengal-sengal. Istrinya muncul lagi dan meletakkan gelas minuman di atas meja dengan agak kurang hati-hati, “Mau mbangun dengkul ya!” ia bersungut-sungut dan kemudian duduk. Sekarang jelas bahwa ia menahan sesuatu. Nyonya Gondo Laksono itu mbrabak wajahnya. Kemu- dian airmatanya tak bisa dibendung lagi.
Gondo meminum tehnya, seteguk. Kemudian ia meneruskan nafasnya yang berat.
“Dapat order tadi, Pak?”
Gondo tak menjawab.
“Saya sudah menduga,” kata istrinya lagi sambil setengah terisak, “Pasir itu kau beli dengan sebagian besar sisa uang kita yang kau bawa tadi. Tapi pasir ini mimpimu yang tak bisa saya pahami lagi!” “Kenapa! Aku mau bangun rumah kita dan kalau kau tak perbolehkan uang itu saya pakai beli pasir, saya akan ganti!”
“Ganti dengan gundulmu apa!” Nyonya Gondo meledak, “Kau hanya sibuk bikin rencana dan sibuk berlagak pada tetangga. Aku tahu betul kau pulang bawa pasir hanya untuk memberi kesan kepada tetangga seolah-olah kita ini makmur dan akan kaya, justru ketika kau pulang kerja tanpa membawa hasil. Aku sudah tak kuat lagi dengan mimpi-mimpimu itu Pak. Kita makin jatuh terperosok. Dari miskin kita makin jatuh miskin. Dan makin jatuh miskin makin besar nafsumu untuk menunjukkan kepada tetangga seolah-olah kita ini berkecukupan. Sudah kubilang apa gunanya semua itu. Kau jual mesin jahit dan perabot-perabot rumah kita hanya untuk beli TV agar kita tak kalah dengan Pak Leman. Padahal kita memang kalah. Dia pegawai negeri. Anak-anaknya banyak yang sudah jadi dan sudah kerja. Sedang kita ini apa. Kau suruh bemo-bemo rusak itu kemari untuk kau perbaiki secara gratis, hanya untuk menunjukkan bahwa cuma kaulah montir ahli di antara kawan-kawanmu. Dan hanya untuk menipu tetangga- tetanggamu seolah-olah kita ini gagah kaya karena penuh bemo-bemo di depan rumah kita. Dulu kusarankan kau kerja harian saja dengan truk itu. Karena gajinya pasti, meskipun cuma sedikit. Tapi kau pilih borongan, yang belum tentu dapat order, sementara setorannya banyak, sekadar untuk supaya di depan rumahmu ini ada nongkrong truk yang gagah setiap hari. Kau sudah kecelakaan dua kali, truk rusak, kau yang harus membiayai perbaikannya karena kau bukan pekerja harian, lantas TV kau jual lagi untuk itu, barang-barang makin habis, tapi kau tetap juga bandel. Dan sekarang kau makin mimpi lagi dengan pasirmu itu. Tahun dal nanti kau baru bisa membangun rumah. Nanti malam hujan akan turun dan pasirmu itu sedikit-sedikit akan merata dengan tanah kemudian tetangga-tetangga akan tertawa melihatnya. Tapi kau tetap pasang aksi di depan mereka. Aku tak kuat lagi! Anak-anakmu ini, lihat, anak-anakmu ini! Mereka butuh nasi dan masa depan, tak butuh pasir dan mimpi…..”
Nyonya Gondo berlari ke kamar. Menghempaskan diri di atas dipan sambil memeluk anaknya yang kemudian menangis.
Gondo Laksono tersengal-sengal di kursi.