CakNun.com

SastraLiman Mangayubagya Buku Simon HT

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Arul (Dok. Progress)

Ungkapan bahasa Latin homo homini lupus — manusia menjadi serigala bagi sesama — agaknya menggarisbawahi paparan Simon Hasiholan Tambunan Rabu malam (05/01) lalu di Pendopo Rumah Maiyah, Kadipiro. Simon HT, panggilan akrabnya, menegaskan perangai manusia yang gemar mengancam satu sama lain.

“Dengan orang tua kita terancam. Dengan guru terancam. Dengan siapa pun kita mengancam dan terancam,” ujarnya saat menguak benang merah isi buku terbarunya berjudul Secubit Sakit, Sekulum Senyum, Amboi! (2021).

Ancaman itu berakar dari ketidakseriusan setiap orang dalam membangun relasi sosial. Setiap individu acap membangun tempurungnya masing-masing. Berbeda pendapat sedikit lantas dianggap sebagai ancaman.

Menurut Simon, modal dasar manusia yang condong saling menyerang tersebut berlangsung berabad-abad. Menunjukkan kekhasan tertentu pada periode zaman. Ia membabar setiap pola dalam kurun waktu sejarah.

“Dari era Hindhu lalu datang ancaman dari Buddha. Terus datang Islam. Dia dianggap mengancam periode Hindhu-Budha. Nggak lama setelahnya kita kedatangan kolonialisme sampai sekarang yakni neoliberalisme,” terangnya. Peristiwa itu mendorong satu kesimpulan: hidup yang berhubungan dengan orang lain selalu mengerikan. Relasi sosial penuh dengan tipu muslihat.

Premis ini membawanya pada kegelisahan dalam melihat hubungan bilateral negara-bangsa. Simon meyakini hubungan antarnegara yang sekilas “baik-baik saja” tersebut hendaknya tak lekas dipercaya seratus persen. Selalu menyeruak berbagai kepentingan tersembunyi pada setiap relasi internasional. Genealogi kecurigaan itu Simon tempatkan semenjak pergeseran perang suku menjadi perang antarnegara.

“Kan perang antarsuku itu masih bisa kita rasakan dalam perang dunia kedua. Meski di dalam suku yang memiliki ikatan darah konfliknya amat kecil. Kalau di tingkat individu saja tidak saling percaya, apalagi di tingkat yang lebih luas. Ada nggak yang tulus,” tanyanya lebih lanjut.

Foto: Arul (Dok. Progress)

Alih-alih memberikan kesimpulan final, paparan dan isi buku Simon cenderung kaya akan pertanyaan, suatu ajakan agar pembaca berefleksi lebih mendalam. Jika ada anjuran hanya satu pokok yang disampaikan salah satu dedengkot Teater Rakyat Indonesia (KTRI) itu. “Saya mengajak agar kita membentuk satu kelompok kecil yang produktif. Barang tiga sampai lima orang yang pokoknya dari kelompok itu kita saling memproduksi media berpikir secara mandiri,” ucapnya.

Malam itu dua narasumber lain, Cak Nun dan Toto Rahardjo, turut menyambut buku teranyar Simon. Toto Rahardjo, salah satu sahabatnya sejak era 80-an, mengapresiasi atas terbitnya kumpulan tulisan itu. Ia juga mengamini paparan Simon sebelumnya. “Saya kira Simon tadi sudah memberikan sandiwara. Sandi berarti tanda dan woro artinya berita. Tanda-tanda yang disampaikannya tadi merangkum banyak hal,” tuturnya.

Buku setebal 747 halaman tersebut, sambung Pak Toto, sangat mudah dicerna. Beliau merangkum dua pokok yang ingin ditegaskan Simon: pengaruh pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan konsep andragogi sangat kental. Menurutnya, Simon melalui bukunya itu hendak melawan feodalisme di dalam pertautan antara interaksi manusia dan dunia pendidikan. Pertanyaan atau gugatan yang diwedarkan Simon mengajak pembaca melakukan autokritik.

“Misalnya di andragogi yang melibatkan orang dewasa kan ada daur belajar. Simon mencoba merekonstruksi, mengkaji, mengurai, dan di buku ini ada semacam silabus yang memandu pertanyaan-pertanyaan. Jadi kita harus membaca buku ini. Kalau tidak ya tidak memasuki pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalamnya,” ungkap Pak Toto.

Melanjutkan paparan itu, Cak Nun menambahkan kalau membaca buku Simon memerlukan kesediaan melapangkan ruang berpikir seluas-luasnya. “Banyak hal yang disampaikan Simon dan mungkin akan berbenturan dengan asumsi-asumsi yang Anda pahami selama ini. Sebab Simon itu super human, seorang insan kamil,” jelasnya.

Foto: Arul (Dok. Progress)

Berbeda dengan paparan sebelumnya yang menukik semata pada isi buku, Cak Nun diminta Eko Winardi (moderator) untuk merespons Simon sebagai sahabat lama. Bagi Cak Nun, Simon adalah orang yang membawa wacana filsafat kepadanya. Simon memang jebolan Jurusan Filsafat UGM. Pertemanan Cak Nun dengan Simon bahkan telah dimulai semenjak 70-an awal. Dari periode Bulaksumur, Patangpuluhan, sampai sekarang. Jamak peristiwa seni, teater, ataupun sastra yang mereka kerjakan bersama.

Ada satu catatan yang Cak Nun tanggapi soal akar kecurigaan antarmanusia sampai kecenderungan pertumpahan darah di antara mereka. Ia menjelaskan sejak rencana penciptaan Adam, Iblis pun telah mafhum perangai manusia yang gemar menumpahkan darah. Persoalan itu menarik satu depan pertanyaan kritis: apakah pengetahuan Iblis ini merupakan prediksi masa depan atau hasil pengamatan empiris sebelumnya.

“Bahkan kalau kita ambil kosmologi wayang sebagai sumber kearifan saja ujung-ujungnya keputusan perang Bharatayuddha kok,” wedar Cak Nun, “apalagi kondisi sekarang yang semakin subtil.” Beliau menilai ancaman sesama manusia kini merubah bukan hanya soal fisik. Melainkan juga nilai seperti keculasan politik, kebusukan budaya, dan lain-lain.

20 menit sebelum acara berakhir, banyak gayung bersambut berupa tanggapan atau pertanyaan yang diajukan audiens kepada para narasumber.

Lainnya

Lingkungan Terkembang Jadi Buku

Lingkungan Terkembang Jadi Buku

“Keingintahuan bertemu serangkaian proses penelitian mampu menghasilkan novelet. Kendati usianya belum genap sepuluh tahun, anak ini membuktikan betapa ekosistem belajar di SALAM sungguh memerdekakan kreativitas”

Satu, dua, dan tiga anak bermain kejar-kejaran.

Rony K. Pratama
Rony K.P.