CakNun.com

Sastra Hutan & Sastra Pohon

Tulisan ini dimuat dalam majalah Refleksi edisi 02/REFLEKSI 06 Juli 1985
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit

Dunia Hutan

Dengan menggunakan metafora ‘dunia hutan’ dan ‘dunia pohon’, saya berharap agar pembicaraan kita bisa lebih terasa ‘sehari-hari’.

Pada mulanya kita adalah “orang hutan” yang hidup menyatu dengan dunia hutan sebagai suatu keseluruhan. Kemudian diperkenalkan orang kepada kita suatu kesadaran atau jarak, yang membuat kita terhenyak bahwa sementara kita satu dengan hutan, kita juga punya jarak dengannya. Bahwa sementara hutan adalah ‘bagaikan’ diri kita sendiri ternyata kita juga mengamatinya — sebagai sesuatu yang berada di luar diri kita. Bahkan lantas kita juga menyadari bahwa dengan kesadaran baru ini kita bisa juga sesungguhnya sedang menatap diri kita sendiri, memandang mripat kita sendiri, mencium dengus hidung sendiri serta mengunyah mulut kita sendiri.

Tiba-tiba kita pun menjumpai bahwa dunia hutan bukanlah satu-satunya, sebab ada juga dunia pohon, dunia kembang, dunia daun, dunia tanah dan kapur. Dan akhirya kita bertumbuh masing-masing sebagai orang yang memilih menggeluti dunia pohon saja, atau dunia air saja, bukan sekedar sebagai bagian dari hutan, melainkan pohon dan air sebagai dunia-dunia tersendiri.

Ada Fakultas Pohon yang mempelajari dunia pohon dengan suntuk, ada fakultas Kembang yang menggeluti dunia kembang secara eksklusif. Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Benalu mendalami dunia benalu dengan suatu metode dan disiplin keilmuan kebenaluan menurut sumber tertentu yang berasal dari hutan di seberang pulau. Dan kata orang, mendalami adalah sebuah dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia memperluas, dan perluasan bisa melupakan pendalaman. Kalau kita suntuk di Laboratorium Pohon, perlahan-lahan kita bisa kehilangan kontak dengan kemenyeluruhan hutan, sehingga luput nggraita dan nyurasa dimensi-dimensi tertentu dari pohon dalam hubungan dialaktiknya dengan dunia hutan. Tapi sebaliknya juga kalau kita terlampau banyak ronda keliling di seantero hutan, kita bisa kekurangan pengetahuan dan intensitas hubungan dengan dimensi-dimensi khusus dari pohon-pohon.

Persoalannya sekarang kita hendak menjadi ‘orang hutan’ yang bagaimana? Mungkinkah kita mampu merangkum sekaligus kedalaman dan keluasan, ataukah keduanya itu sebenarnya bukan dua dimensi yang sama sekali berlainan, melainkan merupakan suatu mekanisme ganda yang dialektik sifatnya: misalnya kalau kita hendak memperdalam Chairil Anwar, kita tidak bisa mengabaikan keluasan-keluasan latar belakangnya, watak manusianya, setting sosial politik zamannya, dan seterusnya. Atau kalau kita hendak memperoleh keluasan pandangan tentang pelopor Angkatan 45 itu, kita jangan melupakan kedalaman dunia sajak Chairil yang menembus hampir semua dinding kehidupan, dari rasa diri tersembunyinya sampai religiositas dan sikap budayanya. Terserahlah.

Mungkin dengan metafora lain. Hendak menjadi apakah kita: Orang yang tahu banyak tentang sedikit hal, atau orang yang tahu sedikit tentang banyak hal (sebab kita bukan Genius yang tahu banyak tentang banyak hal). Orang yang tahu banyak tentang pohon dan tahu sedikit tentang hutan, atau orang yang tahu banyak tentang hutan dan tahu sedikit tentang pohon.

Proyeksi: Sastra Pohon

Sastra barangkali adalah sebuah pohon di tengah pepohonan yang lain di hutan kehidupan. Dan Sastra Indonesia modern adalah suatu jenis pohon baru, hasil cangkokan baru, dengan rabuk baru, serta bertumbuhan di atas ladang tanah yang lama tetapi sedang mem-baru.

Pohon Politik atau Pohon Agama adalah sesuatu yang lain dari Pohon Sastra — setidaknya demikian menurut pemilik peladangan baru Sastra Indonesia. Akar mereka berbeda, warna kayunya berbeda, daun-daun dan buahnya juga berbeda. Galih Pohon Sastra kabarnya adalah estetisme, galih Pohon Agama adalah kebaikan, sedang untuk Pohon Ilmu ialah kebenaran. Ukurannya berbeda antara indah-buruk, baik-jelek dan benar-salah.

Kesadaran ontologis (ingat Van Peursen) yang memilahkan ketiga galih itu merupakan pupuk utama tetumbuhan sastra Indonesia modern serta cara kita memandangnya. Sedemikian rupa sehingga kritik sastra kita dewasa ini amat didominasi oleh estetisme. Tolok ukur estetika menjadi satu-satunya pegangan dalam mendekati karya sastra sehingga muncul persoalan, pertama, estetika apa atau mana yang kita pakai (estetika barat Rene Wellek said atau according to Burton Raffel…..) ataukah kita punya estetika Indonesia yang berdasar rasa dan psikologi manusia Indonesia.

Kedua, benarkah cipta sastra kita merupakan suatu mekanisme kreatif yang linier-eksklusif dalam lorong dunia estetika, dan tak memiliki keterkaitan integral tertentu dengan keutuhan kehidupan — yakni, misalnya, dengan moralitas, kebenaran ilmu, dan seterusnya?

Kita bisa berembug panjang tentang hal itu, tetapi kedua pertanyaan itulah yang sesungguhnya merupakan pangkal tolak dari fenomena bangkitnya ‘sastra yang bertanggung jawab’, ‘sastra yang terlibat’, ‘sastra yang membebaskan’.

Bahkan juga munculnya suatu alternatif kritik sastra yang memperhatikan jaringan strukturalism posisi karya sastra dalam persoalan-persoalan masyarakat.

Kalau kembali ke metafora semula: kini kita berada di antara dua kemungkinan anggapan. Satu, apakah kita melihat sastra sebagai sesuatu yang mandiri, sebagai pohon yang dunianya lingkung pohon itu sendiri. Atau, dua, kita melihat bahwa pohon itu adalah tetembuhan dari suatu kemenyeluruhan hutan, yang tumbuh dan membesarnya juga ditentukan oleh sifat tanah, unsur-unsur kimiawi naturalnya, posisi geografis wilayahnya, bahkan juga ditentukan oleh datangnya makhluk-makhluk tertentu yang merubahnya menjadi ladang dan taman-taman.

Itu semua terserah pilihan kita masing-masing.

Dalam hal ini kita sering mendengar adanya kateori kritik akademis dan kritik non-akademis. Ini menyangkut cara bagaimana kita memperlakukan buah dari pohon sastra: kita kuliti, kita bedah, kita cuil-cuil, kita kunyah atau telan begitu saja. Kritik yang pertama biasanya dianggap bersifat terlalu teknis, terlalu analitis, kering dan kurang menghargai jiwa-utuh sebuah karya. Sedangkan yang kedua sering disebut sebagai pendekatan yang lebih, polos, dialogis dan membuka diri bagi setiap kemungkinan yang ditawarkan oleh dunia sebuah karya sastra.

Benturan antara dua pendekatan tersebut berlangsung sengit hingga saat ini. Dan agaknya kita tak perlu mengharap konflik itu ‘akan terselesaikan’, sebab mungkin kita justru butuh melihatnya sebagai suatu perimbangan.

Tetapi jelas bahwa perbedaan antara keduanya itu dilahirkan oleh sejarah. Kritik akademis berasal dari suatu ‘‘komoditi import’ yang diterapkan ke dalam suatu aktivitas domestik meskipun tidak sepenuhnya memakai cara-cara ‘inlander’, berlaku pada lapisan teras dari struktur masyarakat, dan karena itu ia memiliki (selalu) semacam ‘legalitas formal’ dan wibawa sebagai metode kritik yang dipercaya.

Sedangkan kritik non-akademis lebih bertumbuh secara ‘tradisional’, artinya mengalur dari suatu sifat paguyuban dan sosio-psikologi yang lebih appresiatif kecenderungannya.

Sebab itu ia nampak lebih hangat, basah, dan memungkinkan sebanyak mungkin greget-greget pergaulan/dialog antara karya sastra dengan pembacanya.

Mungkin saja kritik akademis terlampau suntuk mengitari dan membelah kayu pohon sambil kurang mengingat hutan; sementara kritik non-akademis terlampau asyik dengan keluasan belantara beserta seribu abstraksi-abstraksinya, tetapi mengabaikan detail-detail tertentu anasir pohon.

Seorang penyelidik pohon yang penuh disiplin memang akan terperangah membaca sajak Sutardji:

katanya kau keturunan pisau
katanya kau keturunan pisau yang terengah
katanya kau keturunan pisau yang terengah
katanya kau keturunan pisau
katanya kau keturunan pisau yang terengah
katanya kau keturunan pisau yang terengah
                                      dan
                        mengucurkan darah

atau:
                ... kawin
                      ka
                    win
                  ka
                win
              ka .....

Mungkin ia berimpressi: Lho, ini pohon jambu kok berbuah manggal Ini duren kok halus kayak semangka!

Tapi seorang pengembara di hutan bisa merespons: Ada anak berusia 3 tahun, ditanya dalam Pemilu milih apa? la jawab PDI. Lantas PPP, dan ditanya lagi kok menjawab Golkar. Lho, yang paling baik mana dong? Sabrang, anak itu, menjawab

Yang paling kamu
Yang paling atap
Yang paling langit
Yang paling angin
Yang paling mendung
Yang paling tembok
Yang paling kursi
Yang paling palu
Yang paling pintu
            gemboknya
                gede-gede

Mirip puisinya Sutardji Calzoum Bachri. Kita mungkin tak bisa berkesimpulan bahwa Sutardji itu ‘kayak’ anak kecil, tapi mungkin suasana penciptaan sajak Sutardji adalah sebening dan se‘trance’ dunia kanak-kanak.

Kritik akademis sering dituduh membikin kering karya sastra dan hanya menyisakan kerangkanya. Tetapi kritik non-akademis tak jarang juga terlampau cenderung mendramatisir makna sebuah karya. Misalnya dari sajak di atas, Sabrang bisa disebut menyindir para Diktator yang punya sifat tembok (yakni suka menangkap dan memenjarakan sifat kursi (dengan segala cara mempertahankan establishment, sifat palu (asal tuduh), sifat pintu (suka melarang dengan gembok yang gede-gede.

Sastra Hutan

Kadangkala sebuah puisi ‘sekedar’ merupakan sebuah pintu masuk. Sesudah kita memasuki pintu itu kita akan berada di dalam kehidupan ini sendiri yang kompleks dan mungkin remang. Tetapi seorang ahli pintu tertentu tak jarang termangu-mangu dan mengerutkan dahi saja di depan pintu tersebut sambil bergumam diam-diam: — O, ini terbuat dari kayu jati, berbentuk empat persegi panjang, dihiasi ukiran model pesisir, penggarapan pertukangannya kurang rapi, pewarnaannya juga ‘ndesa’, dan paku-pakunya tidak cukup kuat.

Semoga kita tidak menjadi Ahli Pintu yang kurang beruntung itu, karena meskipun bisa berhasil baik sebagai penilai pintu, tetapi gagal terlibat dalam suatu dunia pengalaman yang ditawarkan eleh pintu tersebut.

Memakai metafora di atas: terkadang sebuah karya sastra memang hanya sebatang pohon, tetapi kedalamannya bisa menawarkan pengalaman dunia hutan itu sendiri. Seperti juga misteri dunia kata: ia adalah suatu rumusan yang mungkin mempersempit dunia yang hendak diucapkannya, tetapi sekaligus, ketika sebuah kata disebut: ia tetap menawarkan suatu dunia yang tak terbatas. Tergantung sikap kita terhadap ‘pintu’ yang terbuka itu. Baca misalnya Allen Ginsberg ini:

Amerika aku sudah kasih segalanya dan kini aku
        bukan apa-apa
Amerika dua dollars dan dua puluh tujuh sen 17 Januari 1956
        Tak bisa aku bertahan pada pikiranku
Amerika kapan kita stop perang manusia?
Pergilah setubuhi dirimu sendiri dengan bom atom
Aku mual kamu jangan hina aku
Takkan kutulis lagi puisi sampai otakku sehat
Amerika kapan kamu bisa sedikit sopan Kapan kamu copot pakaianmu
Kapan kamu bercermin di tanah kuburmu nanti.......

Baris pertama sudah menuntut kita untuk bisa ‘menghitung’ apa saja kemungkinan hidup penyair dalam lingkungan komunitas sosial budaya dan politik seperti Amerika “Aku sudah kasih segalanya…” — apa saja itu? Dan baris-baris selanjutnya menawarkan kepada kita suatu konteks Sejarah yang musti kita ketahui untuk coba paham lebih dekat puisi itu. Bahkan mungkin lebih dari itu karena bahkan pun hanya sekotak pintu: ia bisa menyediakan kelahiran dunia-dunia baru dalam impressi kita. Itu tergantung pada daya hidup kreatif kita dalam melangsungkan dialog dengan puisi. Perilaku kritik memerlukan tak kalah banyak perangkat kreativitas dibanding proses penciptaan karya itu sendiri.

Atau mungkin bagaimana kita ‘nyurasa’ gelombang sikap religi Chairil dalam “Isa”: Tatkala Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah/rubuh/patah/mendampar tanya: aku salah?/ — kita barangkali menangkap suatu nuansa tragedi, suatu pengorbanan yang sakit. Tape mungkin juga tidak: beberapa ‘Nasrani Sejati’ melihatnya sebagai semacam subordinasi, sebab Tuhan tak mungkin menderita. Gusti Yesus hanya berungkap dalam/secara bahasa manusia. Dan engkau, sesudah aku berkaca dalam derah/terbayang terang di mata masa/bertukar rupa ini segera/mengatup luka/aku bersuka…. — menjumpai suatu dimensi yang lain dari yang nampak sebagai tragedi itu.

Itu terserahlah – saya harus berkata begitu sebab terhadap sajak Chairil itu saya tak punya pengalaman otentik lengkap seperti halnya para ‘Nasrani Sejati’. Tetapi yang penting di sini ialah bahwa karya sastra bisa lebih dari sekedar sebatang pohon.

Kita menyebut sesuatu itu sastra, berangkat dari suatu tindak nomenclatuur ontologis, dan terkadang kecenderungan begini bisa menjadi tirani. Misalnya beberapa khazanah kebudayaan yang tiba-tiba disebut sebagai sastra atau seni keagamaan, sebenarnya harus kita akui pada mulanya ia tidak berangkat dari proses cipta yang sadar membikin suatu sastra atau seni. Ia tumbuh dari semangat ketuhanan, mengungkap lewat idiom-idiom kultural tertentu yang akhirnya mengandung ciri-ciri kesastraan. Jadi, meskipun ia punya unsur  pohon yang kuat, namun kita harus lebih melihat kandungan hutannya.

Alternatif.

Mendekati sastra, dengan demikian, tidak bisa dengan melupakan keterkaitan dialektis dan kemenyeluruhan (keutuhan) antara dunia pohon dengan dunia hutan.

Disiplin non-akademis yang biasanya bersosok sebagai ‘petualang bebas’ yang meng-grambyang hutan, perlu melengkapinya dengan wawasan-wawasan yang mungkin bisa diperoleh lewat referensi-referensi formal, namun sebaliknya juga disiplin akademis yang terlampau kaku dan ketat di dalam suatu mekanisme yang eksklusif, perlu memperkaya diri dengan membuka ruang-ruang kreativitas yang lain, dengan menguak cakrawala yang membuka diri dari berbagai dimensi kemungkinan.

Lainnya

Belajar Manusia Kepada Sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik