Saatnya PDIP Adalah PDI Pengayoman
Bila sebuah organisasi politik sebesar dan semapan PDIP membutuhkan pemikiran baru akan peran dirinya di masa mendatang, maka Cak Nun telah memberikannya pada kesempatan Sinau Bareng “Kebangsaan dan Kenegarawanan” di Masjid At Taufiq Lenteng Agung Jakarta malam itu. Salah satu yang kiranya paling pas dan relate adalah ketika Cak Nun menyampaikan saatnya kini PDIP sudah bukan Perjuangan lagi tetapi Pengayoman.
Dalam pandangan Cak Nun, PDIP sudah jaya, sudah lega hatinya, dan sudah menang berkali-kali sebagai partai politik. Fase membangun dan memperjuangkan eksistensi diri boleh dikata sudah terlewati, dan sekarang saatnya menjawab: what’s next?“ Menurut Cak Nun, jawabannya adalah pengayoman. “Sekarang saatnya PDIP adalah PDI Pengayoman. Semua rakyat Indonesia diayomi oleh PDIP,” kata Cak Nun. Semua yang hadir menyetujui, dengan memberikan aplaus. Mbak Puan pun juga mengamini.
Menariknya, Cak Nun bercerita tentang sisi bagaimana datangnya ilham ‘pengayoman’ untuk PDIP ini. Sejak tiga tahun silam Bu Mega mengharapkan Cak Nun bisa datang dan baru bisa tercapai malam itu. Sebelum sampai pada malam di mana Cak Nun benar-benar bisa memenuhi undangan Bu Mega, ada perjuangan dan perjalanan batin yang ditempuh Cak Nun. Beliau melakukan shalat istikharah dan wiridan, sampai kira-kira seminggu sebelum acara beliau bermimpi.
Dalam mimpi itu, beliau pergi keliling dunia dan kemudian pulang ke Indonesia bertemu dengan cakrawala di senja hari. Pada cakrawala itu terhampar kain sangat panjang bertuliskan: PDI Pengayoman. Bagi Cak Nun, apa yang dilihatnya ini menjadikan cukup jelas bahwa bila dimintai pendapat tentang PDIP beliau akan menyampaikan bahwa sesudah melewati masa perjuangan dan pembangunan diri serta tercapai posisi mapan, agenda selanjutnya bagi PDIP adalah mengayomi, mengayomi masyarakat.
Secara ilmu kemudian Cak Nun menjabarkan kepada seluruh hadirin dan khususnya Mbak Puan beserta jajaran DPP PDIP konsep pengayoman ini berdasarkan teori surat An-Naas. Di dalam surat penghujung Al-Qur’an ini, Allah memperkenalkan diri dan fungsinya melalui tiga karakter: rabbinnas (pengasuh, pengayom manusia), malikinnas (raja atau penguasa manusia), ilahinnas (Tuhannya manusia). Bagi Cak Nun, sebagaimana sering disampaikan dalam Sinau-Sinau Bareng, urutan rabb-malik-ilah dalam surat An-Naas ini adalah ilmu gamblang bagi manusia mengenai rumus kepemimpinan.
Berdasarkan surat An-Naas ini dan berdasarkan khasanah bahasa Arab, maka bahasa Arabnya pengayoman adalah rububiyah. Tiga fungsi tersebut harus urut dalam penerapannya. Dalam konteks ini, ketika seseorang atau suatu organisasi telah sampai pada posisi memimpin, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah fungsi pengayoman. Mengayomi warganya, mengayomi orang lain, mengayomi sekeliling. Maka Cak Nun mengatakan, “PDIP sudah sampai pada puncak kewajiban untuk rububiyah, untuk mengayomi semua yang lain. Jadi wis ojo petita-petiti neh. Ojo nantang-nantang neh kepada siapa saja karena sudah pasti menang. Nah, sekarang saatnya mengayomi.”
Itulah salah satu sumbangan pemikiran Cak Nun yang disampaikan dalam Sinau Bareng “Kebangsaan dan Kenegaraan” malam itu menyangkut arah ke depan yang sebaiknya dilakukan PDIP. Cak Nun mengajak PDIP untuk mentransformasi diri menjadi beyond PDIP itu sendiri dengan mau menjalankan fungsi dan misi pengayoman kepada masyarakat luas.
Indonesia Pusat Kemakmuran Dunia
Cak Nun tidak hanya menyumbangkan pemikiran tentang apa yang ke depan perlu dilakukan PDIP, tetapi juga mengajak Mbak Puan dan warga PDIP untuk memiliki vision yang kuat mengenai Indonesia. Dalam hal ini, Cak Nun menunjukkan bahwa Indonesia adalah pusat kemakmuran dunia. “Itu takdir Allah. Indonesia adalah pusat kemakmuran dunia. Bilang kepada Rusia, bilang kepada Cina, bilang kepada Amerika, dan semua yang merasa negara-negara super power. Kalian boleh mentang-mentang hari ini, tapi akan datang hari di mana Indonesia yang akan memimpin kemakmuran seluruh dunia,” tegas Cak Nun.
Untuk memahami hal ini, Cak Nun kemudian mengajak hadirin untuk memperhatikan Candi Borobudur yang ada di Magelang dan dibangun pada abad yang sama Nabi Muhammad dilahirkan. Di puncak Borobudur yang melambangkan level-level kehidupan dan nilai manusia, terdapat antena bernama Cattra. Antena ini berfungsi menyerap rezeki dari Allah, alam semesta, dan langit. Artinya, antena untuk rezeki dari langit itu ada di Indonesia.
“Kalau Indonesia tidak jadi super power, pemimpinnya yang salah. Kalau Indonesia tidak makmur melebihi negara-negara lain, berarti yang salah adalah kepemimpinan nasional. Mulai sekarang, kalian harus cerdas dalam menentukan pemimpin kalian. Kalau dua kali nggak bisa, jangan sampai tiga kali,” kata Cak Nun. Para hadirin bertepuk tangan, bahkan suitan panjang terdengar saat Cak Nun menyampaikan korelasi kepemimpinan dan posisi Indonesia sebagai pusat kemakmuran dunia tersebut.
Selanjutnya Cak Nun menuntaskan penjelasan mengenai Candi Borobudur menyangkut arah gerakan ketika orang mengelilingi Borobudur dikaitkan dengan arah jamaah haji ketika berthawaf mengelilingi Ka’bah dan apa makna semua arah gerakan di dua tempat ini. Salah satunya Cak Nun mengatakan, “Jadi, Candi Borobudur itu dulu diciptakan atau dibangun oleh nenek moyang kita dengan kesadaran bahwa Allah memang mentakdirkan negeri ini menjadi pusat kesejahteraan alam dan dunia. Maka, pemimpinnya harus punya kecerdasan ketuhanan dan kecerdasan keduniaan.”
Itulah salah satu makna gerakan ke kanan saat mengelilingi Borobudur yang berarti menyerap energi dari langit tadi. Sedangkan saat thawaf arahnya sebaliknya yang berarti mengembalikan semua rahmat itu kepada Allah. Semua terangkum dalam inna lillahi wa inna ilaihi raji’un</em. >Menurut Cak Nun, ketika kita berhaji, tujuannya adalah mensyukuri dan mengembalikan semua rahmat milik Allah kepada-Nya supaya kita diterima di surga-Nya.
Dari paparan mengenai pengayoman dan Indonesia sebagai pusat kemakmuran dunia, terasa sekali Cak Nun menyiratkan pesan bahwa terdapat korelasi tegas antara fungsi pengayoman dengan fungsi penyejahteraan. Kepemimpinan yang mengayomi hendaknya atau tidak lain adalah yang mampu mengolah rahmat Allah di negeri ini menjadi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (bersambung).